Jika hari ini mereka putus, esoknya mereka pasti balikan. Namun, setelah itu, putus lagi seolah menjadi siklus yang tak berujung.
Mirna mulai lelah menghadapi Bobby yang plin-plan. Dengan mudahnya Bobby mengatakan putus, lalu kembali mengemis cinta...
Mirna berjalan memasuki halaman kafe dengan langkah pelan. Ia memikirkan banyak hal sedari tadi. Kenapa Ikrami memintanya datang? Apakah pria itu akan memarahinya gara-gara Bobby kemarin? Sungguh, Mirna tidak tahu harus bagaimana.
Ia juga sedikit takut. Mengingat, ia tidak mengatakan apapun pada Bobby. Sebenarnya ini untuk kebaikan Bobby juga. Ia tidak mau Bobby salah paham dan lagi-lagi akan memukul Ikrami seperti kemarin. Bobby orangnya memang gampang marah. Tapi yang aneh itu, Bobby gampang marah jika bersangkutan dengan Mirna saja. Jika dengan yang lain, laki-laki itu akan menahan amarahnya.
"Udah nunggu lama, ya?" tanya Mirna saat dirinya telah memasuki bagian dalam kafe tersebut. Ia melihat Ikrami duduk di barisan terakhir di sudut ruangan. Ikrami menggeleng pelan. "Nggak kok."
"Mau pesan apa?" tanya Ikrami setelah Mirna berhasil menjatuhkan bokongnya di atas kursi. Gadis itu terdiam sebentar. "Terserah kamu aja," jawab Mirna kemudian. Jawaban basic ketika tidak tahu harus pesan apa.
Aku kamu-an???
Bobby menonton adegan demi adegan tersebut. Ya, dia belum pulang. Ia berniat melihat reaksi Mirna dan apa yang akan gadis itu jawab ketika Ikrami menyatakan perasaan. Walaupun, ia lumayan kesal dengan panggilan aku kamu-an yang Mirna pakai untuk memanggil Ikrami.
"Gimana?"
"Entahlah. Gue bingung." Bobby mengetuk-ngetuk meja dengan lebih kasar. Ia tidak tau harus menjawab apa. Lagi-lagi segelintir rasa ragu muncul membuatnya selalu merasa bersalah. Apakah ia memang harus meragukan Mirna?
"Kalau lo ragu, kenapa nggak izinin aja gue ngungkapin perasaan ke Mirna? Nanti lo bisa lihat jawabannya," ujar Ikrami.
Bobby tidak menanggapi. Tapi Perkataan itu ada benarnya.
"Oke, tapi duduk di dalam aja. Gue nggak mau kulit Mirna kebakar," jawab Bobby yang mendapatkan kekehan dari Ikrami.
"Tenang aja."
Ikrami menatap ke samping. Ia bisa melihat Bobby dengan tatapan kesal yang selalu diperlihatkan kepadanya. Ada rasa puas bisa membuat Bobby kesal seperti ini. Tapi Ikrami tidak harus senang dulu. Sekarang bukan waktunya menjahili Bobby.
Abang kelasnya itu duduk tidak terlalu jauh dari meja mereka sekarang. Kata Bobby, Mirna itu bukan tipe orang yang suka kepo terhadap sekitarnya. Yang menjadi objek fokus untuk Mirna hanya si lawan bicara. Dan ternyata perkataan Bobby memang benar. Mirna dari tadi tidak menatap sekeliling, ia malah menatap Ikrami yang sedari tadi belum mulai berbicara.
Pesanan mereka sudah sampai. Ikrami menghela napas, karena sekarang adalah waktunya untuk menyatakan perasaan. Gugup? Tentu saja! Lelaki mana yang tidak gugup saat akan menyatakan perasaan kepada gadis yang dicintai? Jika ada lelaki yang tidak gugup saat momen seperti ini, maka bisa dibilang, itu kaum-kaum buaya–seperti kata kakaknya. Walau sebenarnya tidak masuk akal. Kenapa lelaki yang suka bermain wanita itu disebut kaum buaya? Memangnya buaya suka bermain wanita? Mungkin ilmu Ikrami belum sampai ke situ.
"Kamu mau ngomong apa sih? Kok dari tadi nggak jadi-jadi?" tanya Mirna yang tidak sabaran. Bukannya bermaksud tidak sopan, mungkin cewek itu tidak kuat dengan situasi canggung ini.
"Umm, gue... suka sama, lo."
"HAH?"
"Kok langsung-langsung gitu?" tanya Mirna yang berhasil membuat Ikrami kebingungan. Ya, mungkin keduanya sekarang sedang sama-sama bingung.
"Katanya tadi suruh cepet ngomong, aku udah ngomong. Terus maksudnya?" tanya Ikrami dengan muka cengonya.
Goblok! batin Bobby di meja seberang. Ikrami yang menyatakan perasaan, dia yang malu! Apakah se-gaje ini cara menyatakan perasaan ala Ikrami? Sungguh tidak profesional! Besok-besok Bobby ingin membuka kelas 'Cara nembak cewek biar nggak malu-maluin'. Mengingat kaum Adam di luar sana yang masih banyak awam cinta seperti Ikrami, membuat Bobby sedikit iba.
"Aku minta maaf," ucap Mirna pelan.
Bobby menajamkan pendengarannya agar bisa mendengar kelanjutan jawaban gadisnya itu. Sepertinya, bau-bau penolakan.
"Kamu tau sendiri, aku udah punya Bobby. Dan aku nggak niat buat duain dia. Lagian, aku cintanya cuma sama Bobby, nggak bisa ke lain hati," jawab Mirna yang membuat Bobby tersenyum penuh kemenangan. Oke, oke Mirna, I Love you, really!
"Sekali lagi aku minta maaf."
Ikrami mengangguk-anguk mengerti. Sekilas ia melirik Bobby yang sedang tersenyum senang di sana. Tampaknya cowok itu benar-benar bahagia saat ini. Berbanding terbalik dengan hatinya yang bisa dibilang sedikit perih. Ya, walaupun ia sudah tahu ini akan terjadi. Tapi sakit hati memang sulit di kontrol.
"Nggak apa-apa, kok. Aku disini cuma mau ngungkapin perasaan aja. Setidaknya, aku sedikit lega," ujar Ikrami sembari tersenyum paksa. Ia tidak berbohong! Ucapannya tulus, sangat tulus malahan. Yang tidak tulus adalah senyuman itu. Senyuman palsu yang kini membuat Mirna menatapnya dengan tatapan bersalah.
"Aku nggak mau jadi pengganggu dalam hubungan kalian. Makanya aku di sini buat selesaikan masalah yang akhir-akhir ini cukup rumit. Aku baik-baik aja, kok. Aku harap, kalian bisa bahagia," ujar Ikrami kemudian.
Mirna mengangguk pelan. Gadis itu menggenggam tangan Ikrami berusaha memberi sedikit kekuatan. "Aku minta maaf sekali lagi. Semoga kamu juga bahagia nantinya," ucap Mirna lalu melepaskan genggaman tangan itu.
Ia mengambil tas dan juga ponselnya dari atas meja. "Aku pamit dulu."
"Hati-hati."
Bobby bangun dari duduknya saat siluet Mirna perlahan menjauh dari tempat ini. Kemudian, ia duduk di bangku yang tadi Mirna duduki. "Dia megang tangan lo, njir!"
Ikrami menggeleng-gelengkan kepalanya pelan. "Jadi, lo mau marah ke Mirna? Padahal tadi jelas-jelas dia nolak gue cuma gara-gara, lo."
"Yang sabar," ucap Bobby yang membuat Ikrami sedikit kesal.
"Nggak!"
"Lah lo marah sama gue? Yang nolak lo Mirna! Bukan gue," ujar Bobby tak terima saat Ikrami meresponnya dengan nada kesal. Cowok itu kemudian mengambil gelas di depannya lalu menyeruput minuman itu sampai habis.
"Pantas dia nggak minum, orang lo pesannya capuccino cincau." Perkataan Bobby membuat Ikrami mendongak sekilas. "Tadi lo nggak bilang apa-apa!" Kesal Ikrami yang makin menjadi-jadi.
Bobby tertawa sembari menggaruk tengkuknya yang tak gatal. "Ya gue nggak tau kalau lo bakal pesen kek ginian."
Ikrami menghela napas panjang. Cowok itu berusaha meredamkan kekesalannya terhadap Bobby. Entahlah, suasana hatinya seketika buruk setelah di tolak tadi. Padahal ia sudah siap-siap untuk di tolak, tapi tetap saja hatinya sedih. Bagaimana jika tanpa persiapan? Mungkin hatinya bisa dibilang hancur lebur seketika.
Ikrami kemudian menatap Bobby yang masih asik dengan minumannya itu. "Lo harus benar-benar jagain Mirna mulai sekarang. Berhenti seuzon mulu! Dia beneran cinta sama lo."
Bobby tidak menanggapi. Ia menatap Ikrami serius. Adik kelasnya itu masih saja kuat menasehati orang lain. Padahal jelas-jelas hati kecil itu sedang tersakiti.
"Kalau lo buat Mirna nangis, gue nggak segan-segan bakal muncul lagi, dan jadi tempat buat Mirna bersandar. Bodo amat sama yang namanya pelampiasan. Soalnya gue nggak mau lihat dia tersakiti cuma gara-gara, lo."
Masih bisa ngancam, ternyata, batin Bobby seraya tertawa dalam hatinya.
"Tenang aja, gue tau cara jagain Mirna dua ribu kali lebih banyak dari, lo."
***
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.