Langit sudah sepenuhnya gelap saat Arkala sampai di rumah. Lelaki itu langsung membuat seluruh anggota keluarga heboh. Winda bahkan sampai histeris karena putranya yang pamit untuk kencan malah pulang dengan wajah babak belur.
"Berantam di mana, Bang? Siapa?" tuntut Arvan yang berdiri dengan tangan di pinggang.
Arkala menggeleng. Ia berpura sibuk dengan ponsel. Mengabaikan pertanyaan dan tangisan ibunya, juga desakan Arvan. Arkala tak ingin menjelaskan dan membuat keluarganya pusing hanya karena masalah sepele seperti ini.
"Ibu jangan nangis. Aku nggak pa-pa. Luka kecil doang." Arkala melirik pada Luis yang sedang memeluk ibu mereka. Memberi isyarat lewat mata agar adiknya itu membawa ibu mereka tidur atau apa pun, asal jangan di ruang tamu.
Luis memutar mata. "Dia nggak akan jawab jujur kalau bukan sama Kak Sera. Nanti aja, tunggu Kak Sera bangun."
Pandangan Arkala berpindah dari layar ke Luis. Memicing ke sana, seolah sedang menuduh adiknya tengah berbohong. Sera di rumahnya? Kapan datang? Kenapa tidak mengabari?
Winda mendekat pada putranya. Mengusap bahu pria itu pelan. "Kamu kenapa, Kala? Berantam sama siapa?"
Arkala berdecak. Ia balas menatap ibunya. "Ini nggak pa-pa, Ibu. Nggak parah. Ibu nggak usah cemas, apalagi sampai nangis gini." Ia hapus air mata ibunya.
"Kamu pulang dengan luka-luka, apa Ibu nggak pantas khawatir?" Winda menyeka air mata. Luis benar. Arkala tak akan mau menceritakan masalahnya pada mereka.
Wanita itu beranjak dari duduk. "Ibu tunggu Sera saja yang cerita," katanya dengan nada sedikit jengkel.
Mata Arkala melebar mendengar itu. "Sera di sini?"
Ibu dan adik-adiknya pergi tanpa menjawab, Arkala semakin dilanda penasaran. Tak tahan dengan perasaan ingin tahu, lelaki itu pergi ke kamar. Benar saja. Tempat tidurnya tidak kosong.
Selimut yang biasa Arkala pakai tampak menggembung. Sera pasti di dalam sana. Bergelung dalam posisi meringkuk, seperti anak kecil tidur.
"Sera!" panggil Arkala dari pintu. Aturan dari Winda. Jika Sera memakai kamarnya, Arkala dilarang masuk.
"Sera!"
Ada gerakan kecil di bawah selimut itu. Melihatnya, Arkala tanpa sadar menarik senyum. Pedih di ujung bibir tak terasa.
"Sera! Bangun, ah! Lo ngapain datang nggak bilang-bilang?" Arkala berdiri di ujung jemari kaki. Ia gemas karena tak bisa langsung masuk saja dan membangunkan si gadis dari jarak dekat.
"Sera! Bangun, Bos!"
Selimut bagian atas bergerak turun. Pelan, sampai akhirnya kepala Sera tampak menyembul. Gadis itu mengerjap bingung padanya, Arkala memamerkan gigi.
"Bangun. Keluar. Obatin muka gue. Babak belur ini."
Arkala melihat gadis itu duduk. Turun dari tempat tidur dan berjalan mendekat. "Ambil kotak obat dulu," perintah Arkala sembari mengacak rambut Sera yang sedikit berantakan.
Sera menurut. Gadis itu pergi ke kamar Winda. Mengambil kotak obat, setelah dimintai Winda tolong untuk mengorek informasi.
"Minum dulu." Arkala menaruh segelas air di meja saat ia bergabung dengan Sera di ruang tamu.
"Lo kenapa?" Pertanyaan itu Sera suarakan saat mulai membalurkan alkohol di luka Arkala.
Si lelaki bungkam. Sampai seluruh luka di wajahnya selesai diobati, Arkala masih saja tak bersuara. Ketika ia bicara pada akhirnya, yang dikatakan malah pertanyaan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Second (Take Your Heart)
Любовные романыArkala pusing. Kepalanya mau pecah. Kelimpungan. Bukan karena ketahuan selingkuh. Bukan pula karena ejekan Budi yang mengatainya akan jomlo sampai sepuh. Namun, karena sahabat baiknya, Sera, dijodohkan. Sera berkata akan menolak perjodohan. Yang i...