Jika embun yang dingin menangkapku saat dini hari, kau akan memelukku, kan?
***
Lupa apa alasannya, tetapi saat ini kita berdua. Tak menggenggam, memeluk, apalagi bercumbu. Hanya berjalan bersisian di tengah kota, di alun-alun yang gelap namun remang, yang tak bercahaya namun terang. Engkau duduk di pinggiran, di atas rumput yang basah, aku mengikuti. Bokongku lembap, tapi apalah arti lembap kalau dibayar bersamamu. Kita berkisah tentang kucing yang sudah hilang seminggu dari kontrakan sampai saat kau mengatakan, "Aku suka kamu, Ta." Lalu kutertawakan. Kabar cheesecake kesayanganku almarhum, di makan olehmu yang dendam atas tawaku, di rerumputan, di warmindo depan apotek Wijaya, sejujurnya di mana pun saat bersamamu. Aku puas. Aku sudah berpuas diri atas pengakuanmu. Tidak mengharapkan apapun yang lebih dari itu.
Kakiku terasa ringan, melompat-lompat tak berkesudahan. Macam-macam pembuat kesal tak bisa menembus rasa senang yang menguburku. Potret-potret wajahmu dalam ingatan, kusatukan dalam amplop cokelat, lalu kurekatkan agar kau tak ke mana-mana. Ada kau yang tertawa, biasa saja, melongo, meringis, gemas—asal tak menggigitku, aku tak masalah—kepadaku, kebingungan, sebentar, seingatku, kau tak seekspresif itu. Kalau kuminta supaya kau ungkapkan perasaanmu, kau selalu bilang, "Terlihat keren, aku ingin terlihat cool. Tenang di segala keadaan." Sejujurnya, aku tak butuh itu, Adam. Kau yang seperti apapun, kau yang apa adanya, adalah Adam yang ingin aku benar-benar cintai.
Malam ini, aku yakin, aku tak akan bermimpi buruk. Ajaib. Aku ingin menyuarakan, woro-woro kepada dunia kalau barusan, laki-laki yang aku sukai, yang sempat menghantui selama sebulan penuh mondar-mandir di kisi-kisi otakku, menyatakan perasaannya. ADAM MENYUKAIKU! Wahai dunia, lihatlah anak manusia yang gila karena cinta.
Kita berpisah di warmindo. Senyumku masih menyeruak di tengah kantuk lambaian tangan. Ragaku ingin istirahat, tapi jiwaku meronta untuk terjaga sepanjang malam, menikmati kupu-kupu dalam perut yang tengah menari-nari sejak pernyataan sukamu kepadaku. Akhirnya, kau menyatakan perasaan sebelum pulang, berpisah denganku. Sialan, kenapa jadi menyedihkan? Kenyataan akan ditinggalkan membuat sendu setiap tempat di mana aku berada. Di trotoar, di teras, di garasi kos-kosan, bahkan di koridornya, semua mengabu. Aku masuk ke kamar, bunga-bunga layu, buku-buku menguning dalam sekejap, semua menua selain aku karena derita yang tak terpengaruh oleh waktu, bagai kulit yang membungkusku.
Berusaha hadir dalam momen saat ini hidupku ketimbang lari-lari di selaras ketidakpastian masa depan. Aku membuka buku, mencari topik untuk skripsiku. Walau kau selalu mau menemani mengerjakan tugas akhir yang tak kunjung berakhir, aku tak pernah bisa berpikir. Fokusku selalu buyar karena tua bangka bajingan yang menginjak-injakku, karena masa lalu yang tak mau beranjak atau aku yang begitu, dan hal-hal ruwet yang duduk bersama dalam kepalaku. Tuhan, ini bukan salahku, kan? Sudah begitu banyak rasa bersalah, aku tidak ingin lagi. Tapi kau, kau Adam, pula menyalahkanku atau aku yang merasa begitu. Akhirnya aku tetap terjaga, tidur tanpa mimpi buruk hanya imagi. Ku corat-coret kertas kosong persis seperti kepalaku, lalu membaca tulisan yang tak pernah mau terekam dalam memori, menangis, kelelahan, dan tidur.
Masih belum, masih bukan hari ini. Pagi-pagi kau bertanya, apa aku datang ke kampus. Tentu tidak. Tadinya iya, tapi aku belum menadapatkan apa-apa. Jadi aku pergi, makan, lalu ke Baturaden hanya untuk menghirup udara yang sejuk. Hujan sepertinya tak sabar untuk berciuman lagi dengan tanah yang belum kering seluruhnya. Mereka sering bercinta di bukit-bukit, di pegunungan, di tempat-tempat yang kemarau tak ingin singgahi. Aku iri. Kapan aku punya tempat pulang seperti hujan dan tanah, menjalin kasih sepanjang siang, malam, bahkan pagi, mereka tak kenal waktu. Persetan dengan romantismenya, aku hanya ingin pulang, yang aku tak tahu di mana tempatnya.
Lagi-lagi aku ada di kontrakanmu. Duduk menunggumu pulang. Kenapa lama sekali? Aku ingin bertemu, melihat wajahmu, mendengar omelanmu yang memekakan telinga. Kenapa aku begitu jatuh? Dan kenapa pula tak menyakitkan? Apa karena aku jatuh di tempat yang tepat? Memang, tepat itu seperti apa? Tolonglah, cepat datang. Dan, ya, kau berlarian memasuki halaman rumah kontrakan. Gigimu berderet dipamerkan. Suaramu terdengar. Lucunya, aku merasa pulang.
Malam menyapa, kita pergi ke warung tenda, menyantap indomi rebus dan susu jahe sambil melihat bintang-bintang yang menggantung di langit. Kira-kira bintang yang kita lihat butuh berapa juta tahun cahaya sampai tertangkap mata kita? Mereka seperti potongan kecil kertas emas yang di tabur di atas kain beludru warna hitam. Keindahannya hanya bisa dirasakan oleh mata, tak akan sama saat dihalangi lensa kamera. Sudah lama sekali sejak terakhir aku menikmati langit yang cantik seperti ini, stargazing. Padahal setiap waktu, ia di atas kepalaku, tapi aku acuh tak acuh. Malah lebih sering menikmatinya di layar gawai. Memang harus seperti itu, ya? Lelaki yang bersamaku ini, engkau Adam, sangat dekat denganku keberadaannya. Tapi butuh lebih dari lima tahun untuk mataku tangkap, untuk akhirnya kita berjalan di lintasan yang sama—persoalan asmara.
Tiba-tiba aku teringat saat aku marah sebab ketidakjelasan darimu. Aku kesal lantaran bak film yang sedang ditonton, buku yang sedang dibaca, radio yang sedang didengar, olehmu. Hubungan yang kita jalin beberapa bulan seolah-olah hanya aku yang berperan, hanya aku yang bergerak, hanya aku yang berbicara. Bahkan, sampai saat ini, aku sering merasa begitu. Selalu aku yang menggamit tanganmu dahulu, aku yang menggandengmu, aku yang meminta pelukan, aku yang menatapmu, aku, aku, aku. Bukankah kau seseorang yang egois? Kenapa tidak kau, lalu kau, kau lagi, dan kau lagi, saja? Pula, setiap aku mempertanyakan itu, kau kembali memprotes, apa aku tak percaya dengan perasaanmu. Kalau kau sudah bertindak layak dipercaya, kenapa aku masih mempertanyakannya? Apa kau sama saja dengan yang lain? Apa kau sama-sama ingin melindungi diri agar terlihat kau baik? Dan aku ditinggalkan sendiri dengan kekejian omongan orang yang menuduhku dengan banyak caci.
Menjadi perempuan itu sulit. Laki-laki bermain perempuan, diwajarkan. Sedang perempuan yang berduaan sekali saja, langsung dicap rendah, difitnah seenak jidat. Dasar bajingan! Bangsat! Ingin sekali aku menjambak rambutnya, merobek mulutnya yang jelek, menginjak-injak tubuhnya yang kurus kering, pendek, hitam, dekil, babi kau! Aku tidak bisa melupakannya. Aku tidak bisa lupa omongan itu. Aku mendendam, tak akan memaafkan. Dan kau, Adam, kenapa kau selalu menyuruhku mengalah karena kau tak ingin ada keributan? Kenapa kau memilih tenang sedang harga diriku dilecehkan? Laki-laki itu temanmu. Temanmu yang baik hati sekali yang membuat kekasihmu menangis berbulan-bulan.
Maaf, seharusnya ini menjadi tulisan yang manis.
Hari itu, hari saat aku marah, hujan gerimis, kau mengantarkanku ke stasiun. Tidak ada rencana pulang, tapi aku harus pulang. Menjauh darimu. Namun, tak pernah sekali saja, aku bisa lepas, hidup tanpamu. Takdir ini curang. Kalaupun aku trauma ditinggalkan, kenapa aku begitu menjengkelkan karena ketergantungan akan engkau? Karena kau pun, di suatu hari saat kita telah bersama, marah lantaran kau menjadi kehidupanku. Kau mendorongku keluar.
Sialan, kenapa akumenangis?
KAMU SEDANG MEMBACA
Hujan Bintang Tengah Malam Hingga Embun Dingin Dini Hari
RomanceHujan Bintang Tengah Malam Hingga Embun Dingin Dini Hari adalah karya yang apa adanya karena tulisan ini aku sulam untuk ulang tahun kekasihku, Adam. Juga, begitu istimewanya tulisan ini, aku menulisnya sebagai Tita Fidyana Qisti (kekasihnya Adam).