Kadangkala, aku berpikir, bahwasannya, memang lebih baik aku sendiri saja. Tak perlu ragu, "apa dia benar-benar mencintaiku?" Pun kau tak perlu repot menghadapiku. Tanpaku bebanmu berkurang, bukan? Tetapi, kau tak pernah mau. Kau benar-benar mencintaiku, ya? Maaf, kalau sering membuatmu berprasangka perihal aku yang tak menginginkanmu karena aku yang ingin sudah. Aku hanya, tak tahan. Penderitaan tak berkesudahan yang hadir dan tak bisa dipendam lagi seperti sebelumnya, membuatku ingin melindungi diri, aku tak ingin sakit lebih parah. Juga tak ingin menyalurkan derita kepadamu.
Kupanggil Kembali malam ketika kita ada di warung tenda. Bintang-bintang itu masih terpatri di benakku. Ada kabut putih yang seperti awan yang- bukankah itu nebula? Menatap mereka di musim penghujan bagai anugerah. Ternyata tidak selalu mendung, tak selalu berawan. Kasihan tanah, tak bisa bercinta dengan hujan yang basah malam ini. Kuganti dengan roman kita yang sedang jatuh-jatuhnya. Tengah malam tergellincir, lekas kita pulang. Di perjalanan, aku masih ternganga memperhatikan bintang yang begitu banyaknya, ibarat titik-titik air bercahaya di permukaan kaca, indah sekali. Aku memelukmu diboncengan motor pinjaman, agaknya kita tak tahu diri. Tapi buncahan cinta memang selalu tidak punya malu.
Sudah di depan kosku, aku masih ingin denganmu. Waktu itu, aku belum bisa merengek agar kau tak pergi. Lagian, kenapa kita tak kesemsem sejak maba, jadi bisa menulis banyak kenangan di setiap sudut kota? Aku selalu tak puas karena sebanyak-banyaknya temu, aku tetap ingin lebih. Tentu kau pulang, aku membuka garasi, mengulir kunci di lubangnya, membuka pintu, lantas terduduk. Hampa.
Engkau tahu aku selalu terjaga setiap malam karena tidak bisa tidur. Sudah banyak sekali cara aku lakukan. Bahkan aku sempat mengonsumsi obat tidur, tapi tak ada hasilnya. Di banyak tengah malam, aku memanggilmu, keluar menemaniku entah ke mana. Ke warmindo belakang MIPA, mengantarkan temanku ke kosnya di belakang Richesee, menemani teman kita yang menjemput saudaranya di stasiun, sekadar ngobrol di ora umum, bahkan kita pernah duduk di teras BK tengah malam sampai subuh karena hujan deras bak badai sambil menjilati eskrim, itu aku, kau- kau minum kopi lalu menghisap rokok yang menghitamkan bibirmu. Tapi BK pula mengingatkanku pada malam kau membatalkan menonton film sedang aku sudah berdandan rapi. Aku kesal, lalu pergi makan dan duduk di sana sampai dini hari. Senangnya, minggu kemarin kita menonton The Batman dan pulang dalam keadaan saling diam.
Adanya hal manis karena hal lain terasa pahit. Begitulah, memang harus berdampingan. Kita tak bisa bertahan kalau hanya tentang kebahagiaan. Mungkin rasa sakit dan pertengkaran justru yang menguatkan kita. Atau ya, karena kitanya saja yang tak ingin berpisah. "Kau sering meminta putus." Ucapmu kemudian. Aku akan menyalahkanmu, Adam, berhenti mengungkitnya walau aku tak pernah mau berhenti mengungkit kecemburuan yang akan kubahas mungkin selamanya. Entah mengapa, itu seperti bentuk pertahanan bagiku kalau kau salah tak mau disalahkan, atau aku.
Terkadang, aku bingung, kenapa kau tak pernah marah. Kau selalu di sisiku, walau aku protes akan tindakanmu yang entah iya atau tidak suka kepadaku. Waktu di stasiun Purwokerto, setelah bergerimis ria, saat menunggu keretaku datang, dengan sengut di wajahku yang pucat, kau berkata, "Aku takut."
"Takut tapa?" tanyaku.
"Takut kau pergi, meninggalkanku."
Dengan begitu aku tertawa, terbahak-bahak. Bukan karena sedang mempermainkan perasaan takutmu. Aku senang karena artinya kau menginginkanku, untuk ada, selalu di sampingmu.
Beberapa jam sebelum kau pulang ke Pondok Tanah Mas. Aku, "Kalau ada seseorang yang bertanya, kau siapaku dan aku siapamu, harus kujawab apa?" Karena memang pertanyaan itu datang berkali-kali sebab kita berdua yang menempel ke sana ke mari bagai cahaya dan bayangan. Jawabanmu di luar ekspektasiku, "Kamu Titanya Adam, aku Adamnya Tita." Merinding! Tentu saja aku terbahak-bahak lagi. Ada yang lebih membuatku tertawa, saat kita duduk berdua di atas kasurmu yang butut, tiba-tiba kau serius.
"Kalau ada yang bertanya, kau siapaku, maukah kau jawab kau adalah kekasihku?"
***
Pada dini hari, di jalan Soeparnosetelah simpang GOR Satria, kita yang kedinginan terkagum-kagum pada langitselatan yang bagai lukisan semesta ruang angkasa. Kita terus berjalan ke barat,pelan-pelan, dan aku tetap mengoceh di boncengan, memelukmu dari belakang. Apakau menyukainya? Apa kita bisa selalu berdamai seperti saat kita melaju dihadapan lanskap bintang gemintang di langit hitam dengan kabut merah muda,ungu, dan kebiru-biruan? Atau kita akan tenggelam bersama senja di baratlautlangit pantai Sodong?
KAMU SEDANG MEMBACA
Hujan Bintang Tengah Malam Hingga Embun Dingin Dini Hari
Lãng mạnHujan Bintang Tengah Malam Hingga Embun Dingin Dini Hari adalah karya yang apa adanya karena tulisan ini aku sulam untuk ulang tahun kekasihku, Adam. Juga, begitu istimewanya tulisan ini, aku menulisnya sebagai Tita Fidyana Qisti (kekasihnya Adam).