ekstra: berdiri di hamparan gurun, menggenggam pasir di tangan

814 159 30
                                    

Ketika Ayaka terlahir ke dunia, Ayato adalah bocah 5 tahun yang hanya tahu cara bersenang-senang dan berbuat jahil. 

Setiap hari, ia memperhatikan gerak-gerik Ayaka dengan ketertarikan luar biasa, seperti mengamati serangga menakjubkan yang belum ia ketahui namanya.  Terkadang, Ayato iseng mendekatkan jari telunjuk ke telapak tangan sang adik. Ketika jemari mungil Ayaka perlahan menggenggamnya, Ayato akan mendongak pada ayah dan ibunya, seakan baru saja menemukan harta karun paling berharga di seluruh semesta.

Saat Ayaka mulai tumbuh dari bayi yang tak berdaya, menjadi balita yang membuat semua orang ingin mencubit pipinya, Ayato menginjak usia di mana ia harus berkecimpung dalam pendidikan tentang seni, tata krama, filsafat, dan pengetahuan umum.

Tuan muda, amat polos dan murni, matanya bulat dan berbinar tulus, tidak pernah melewatkan pelajarannya. Ia ingin, ketika adiknya besar nanti-- ketika Ayaka mulai belajar sepertinya-- ia dapat menjadi kakak yang dapat diandalkan. Dengan begitu, jika Ayaka tidak memahami sesuatu, ada Ayato yang akan mengajarkannya.

Waktu berlalu, banyak hal yang berubah, tapi tidak dengan rasa sayang Ayato untuk adiknya.

Meskipun begitu, tidak jarang ia mengerjai Ayaka dengan kekanakan.

Ayato, 11 tahun, "Ayaka, ini enak sekali," Ia memamerkan segelas teh susu yang menggoda, "Ayaka mau coba?"

Ayaka, 6 tahun, "Mau, mauu!"

Ayato mengangguk paham; menyesap teh susu yang tersisa, lalu memberikan gelas kosong melompong, "Tapi sudah habis! Hahahahaha!"

Lantas ia melarikan diri. Tinggallah adiknya yang berkaca-kaca meratapi teh susu yang bahkan belum sempat ia cicipi.

Di tahun berikutnya, Nyonya Kamisato meninggal dunia.

Di usia 12 tahun, Ayato telah mendapat guru terbaik dari semua bidang. Seni, tata krama, bela diri, bahkan pemerintahan. Namun, dari semua itu, tidak ada yang mempersiapkannya untuk kepergian sang ibu.

Tak ada yang mengajarinya bagaimana harus menyisir rambut Ayaka yang kian hari semakin panjang, tak ada yang memberitahunya bagaimana nyanyian sang ibu ketika Ayaka terbangun tengah malam dan tak dapat kembali terlelap.

Kehidupannya seperti terbagi dua: sebelum dan sesudah kepergian sang ibu.

"Apa Ayaka tidak mau makan lagi?" tanya Ayato saat melihat seorang pelayan berdiri di luar kamar adiknya, cemas dan khawatir mewarnai ekspresinya.

Pelayan itu mengangguk, "M-mohon maaf, Tuan Muda.. sebenarnya Nona Muda tidak mau makan sejak tadi pagi."

Ini sudah lewat tengah hari.

Ayato tersenyum paksa pada pelayan itu, mengambil alih nampan di tangannya, "Biar aku saja, Bibi."

"Aku tidak akan makan," Ayaka merengek, meletakkan sendok dan garpu ke nampan, bibirnya melengkung ke bawah.

Dulu, Ayato akan menganggapnya lucu. Namun sekarang, hanya kesedihan yang mendera hatinya.

Ia membongkar isi kepala dan mencari data tentang 'cara membujuk anak kecil yang tidak mau makan' di sana.

"Dan kenapa Ayaka tidak mau makan?" tanya Ayato, dengan kesabaran yang bahkan membuat dirinya sendiri terkejut.

Seharusnya, ia tahu dasar-dasarnya.

Tidak lapar? Biarkan saja-- nanti juga makan saat perutnya mulai meronta.

Ingin makanan yang manis? Janjikan ia cokelat dengan syarat harus menghabiskan hidangan utama.

"Ibu..." gumam Ayaka, menunduk dan menatap tangan di pangkuannya.

Tapi 'Ibu'? Ayato tidak tahu harus berbuat apa.

i read you 3000 times || kamisato ayatoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang