Siang itu begitu terik. Jalan-jalan seolah meleleh dengan pembiasan sinar matahari, bergelombang seperti air mengalir. Namun hanya ilusi semata. Mobil Uber berhenti di depan sebuah rumah bercat biru, berada di tengah permukiman kecil. Anjing golden retriever menyalak dari rumah tetangga, seakan minta diguyur air hanya untuk meredam panas. Sedikit menyapu pandang, Rigel—yang baru turun dari mobil—telah bersua dengan padang sabana.
Hamparan kecoklatan luas dengan sedikit air, ditumbuhi rerumputan tandus, berdiri pagar kayu bersanding dengan pagar jaring besi. Rigel hampir menyamankan diri dengan salju di Amerika, dan ia harus kembali ke perkampungan tempat ia dilahirkan. Baru menginjak tanah coklat itu saja, Rigel seakan bisa mendengar jeritan gitar yang dipetik bergemuruh seperti dalam film-film.
Burung Hering bertengger di puncak rumah biru tersebut. Mungkin kenyang setelah memakan bangkai ternak warga. Celotehan kecil ia dengar dari sebelah, orang-orang dengan kaus oblong putih—yang biasanya gemuk dan memiliki humor sangat tinggi—tengah menikmati bir bersama di halaman rumah. Bercanda seperti pria tua yang kelebihan komedi.
"Hey!" pekikan itu muncul membuat Rigel hampir terlonjak dan menjatuhkan koper beratnya. Rigel menoleh ke arah sumber suara, pria-tua-yang-kelebihan-humor dengan rekannya mengacungkan botol bir. Masih tersenyum ramah dalam pesta kecil-kecilan, atau apapun itu yang tengah mereka lakukan.
"Terimakasih, Tuan." Rigel hampir masuk sebelum ia memgingat sesuatu. Ia memundurkan langkah dan kembali pada sekelompok pria di halaman rumah tetangganya. "Permisi, apa ibuku ada di rumah?" tanya Rigel agak mengeraskan suara.
Namun, pendengaran pria itu sepertinya sudah agak berkurang dari normal. Ia menaruh gelasnya dan berjalan ke arah pintu pagar, berniat menghampiri Rigel dan mungkin melakukan percakapan singkat. Rigel hanya bisa menunggu pria itu sampai dengan menumpukan beban tubuhnya pada satu kaki, dan kaki lainnya terlihat mengetuk-ngetuk pada lantai kayu depan rumah.
"Tunggu, tunggu. Apa kau Abigail Lauren? Astaga, kau sudah sangat dewasa dan sangat cantik. Berapa usiamu? Sudah menikah?" Pria itu seolah memeta tubuh Rigel dari bawah sampai atas, pakaian fancy Rigel sempat mengambil perhatian. Apalagi dengan boots beludru hitam semata kaki yang menyatu dengan ujung jeans biru. Menganggap bahwa Rigel gadis kota yang tersesat.
"Maaf, Tuan Stephan. Namaku Rigel. Dan, yah. Aku sudah memiliki sesuatu untuk dibanggakan sekarang. Juga, aku belum menikah." Rigel membalas dengan senyum lebar. "Aku hanya bertanya, di mana ibuku? Bukan seharusnya dia di rumah?"
Pria itu nampak berpikir sejenak sebelum membawa perut buncitnya pada jalanan dan luasnya sabana. Ia menunjuk satu bangunan—yang juga berdiri berkat susunan kayu—di seberang jalan sebelah kanan. Tidak terlalu jauh. "Biasanya Lauren mengurus nenek tua di rumah itu. Ah! Dan cucunya yang sedang hamil besar. Suaminya pergi ke kota, dia hanya mengirim uang lewat pos seolah dia tidak dibutuhkan. Cek saja, ibumu orang yang sangat baik."
"Terimakasih, Tuan."
"Bukan masalah. Kami mengadakan acara pensiunan pekerja tambang di rumahku. Ada daging, sosis, dan semacamnya di sana. Kalau kau bisa, datanglah. Kami juga mengajak Lauren, jika dia mau." Pria yang sama menunjuk kerumunan di halaman rumah sebelah, beberapa dari mereka melempar senyum lebar membuat pria itu mengayunkan tangan dan mengacungkan jempol dari depan Rigel. Lalu kembali pada Rigel.
"Terimakasih atas tawarannya, Tuan Stephan. Tapi sepertinya tidak. Sebelum berangkat, aku sempat makan. Dan aku kenyang sekali. Biar nanti kusampaikan pada ibu. Lagipula, aku juga sangat lelah. Perjalanan dari New York sangat jauh."
Stephan menggaruk perut buncitnya tiga kali, dan mengangguk. "Yah ... kau pasti sudah belajar banyak di sana. Manfaatkan itu dengan baik. Aku akan kembali. Jika kau butuh sesuatu, bilang saja padaku atau Sarah. Dan, datang atau tidak, kami menunggumu di acara. Istirahatlah, Carel." Pria itu berjalan pergi, kembali ke habitat aslinya. Halaman rumah tetangga yang sangat riuh dengan beberapa orang, menenggak bir atau makan daging setelah membakarnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
SCP : Protected Asset #1
Science FictionRigel Lauren akhirnya berhasil menjadi reporter siaran berita, setelah berjibaku dengan dunia podcast dan siaran radio. Hingga suatu hari, Stevan datang membawa kutukan. Ia telah ditandai oleh sebuah entitas mengerikan untuk dibunuh. Kejadian itu se...