Hilang

8 0 0
                                    

       Matahari yang mulai masuk ke dalam kamarku melalui jendela dengan gorden yang terbuka dan alarm yang berbunyi membangunkan aku di pagi hari. Setelah kulihat jam di layar ponselku ternyata sudah jam 6 pagi. Aku harus bersiap-siap untuk bekerja hari ini.

       Tapi kali ini terasa berbeda, seperti ada yang hilang. Benar, kali ini aku terbangun tanpa ada pesan dari Lea, bahkan pesanku yang kukirim semalam belum kunjung dibalas olehnya. Tidak seperti biasanya ia seperti ini, banyak sekali pesan yang aku kirim namun dia seperti tidak ingin membalas pesanku sama sekali, seakan-akan aku ini adalah seorang pengganggu baginya.

       Selesai sarapan kemudian aku bersiap-siap untuk berangkat bekerja. Seperti biasa, aku menyempatkan untuk menyesap kopi hitam dan menghisap beberapa batang rokok. Namun aku tidak menikmati kegiatanku kali ini, pikiranku selalu saja tentang Lea. Kenapa dia berubah secepat ini, ini salah satu hal terumit yang masuk ke dalam pikiranku.

“Kamu kemana dan kenapa, sih, Lea?” Ucapku dalam hati dan mematikan rokok yang sudah hampir habis kemudian pergi berangkat bekerja.

“Aku berangkat ya, bu.” Kupegang tangannya seraya mengarahkan ke hidungku untuk aku cium punggung tangannya.
“Hati-hati di jalan ya, nak.” Balas ibu perhatian.
“Iya, Bu. Assalamu’alaikum.”
“Wa’alaikumussalam.” Berangkatlah aku dengan sepeda motor kesayanganku yang sudah menemaniku bertahun-tahun

Tempat kerjaku memang tidak terlalu jauh dari rumahku, sekitar 15 menit dari rumahku. Diperjalanan pun aku tidak fokus mengendarai motorku, bahkan aku hampir menabrak seorang bapak-bapak yang menyebrang karena ketidakfokusan ku. Bagus saja aku masih bisa menghindarinya, kalau tidak bisa menghindari mungkin aku dan bapak tersebut bisa sampai rumah sakit, bukan tempat kerja.

Sesampainya di tempat bekerja aku langsung berjalan menuju meja tempat biasa aku mengerjakan pekerjaan.

“Lesu amat itu muka, bos.” Kata temanku yang bernama Rian seraya mengamati wajahku
“Nggak tahu, nih. Hari ini nggak ada semangat-semangatnya.” Balasku.
“Waduh, sudah ngopi belum lu, bang?”
“Ngopi mah udah.”
“Kayaknya lagi nggak punya duit nih.” Kata Rian sambil tertawa disebelahku. Karena memang Meja Rian bekerja persis di sebalahku.
“Bukan itu juga, jangan sok tahu wahai slampe kenek.”
“Lagian nggak biasanya lu kayak gini, bang.”
“Udah, ah, lu ngomong mulu. Ada kerjaan nih gue, jangan sampae gue makan lu.” Ucapku mengancam.
“Ett dah serem bener lu, bang.”Balas Rian menutup percakapan kami.

Pikiran dan hatiku selalu bertanya-tanya ada apa dengan Lea. Apa aku melakukan kesalahan yang fatal semalam? Bukankah aku menepati janji untuk mengajak nya makan? Ya ampun, kenapa seperti ini, sih. Lea kamu membuatku menjadi pemikir hebat hari ini, bukan pemikir seperti filsuf, namun karenamu aku berpikir keras tentang apa kesalahanku padamu.

“Vin.”
“Kevinnn.” Seseorang memanggilku dan menepuk pundakku yang sedang melamun di depan layar komputer.
“Eh, Ibu Dina, kenapa, bu? Maaf bu nggak denger saya.” Balasku pada Ibu Dina. Ibu Dina adalah atasanku di tempatku bekerja. Jabatannya adalah kepala gudang di tempatku bekerja.
“Kamu ini masih pagi sudah melamun. Nanti laporan hari ini kamu taruh saja di meja saya, ya. Saya ada urusan hari ini, mungkin sampai jam pulang kerja saya tidak ada disini. Atau kamu bisa kirim lewat email saya aja.” Perintahnya kepadaku yang adalah bawahannya.
“Baik, bu. Nanti saya akan taruh laporannya di meja Ibu setelah selesai saya kerjakan.”
“Yasudah kalau begitu. Jangan melamun terus, kerjaanmu nggak selesai nanti.”
“Baik, bu.” Ucapku singkat.

~

Jam istirahat pun tiba. Malas sekali rasanya untuk mengangkat bokongku untuk pergi ke kantin. Aku merasa dunia hari ini sangat tidak bersahabat denganku. Perutku memang sudah terasa lapar walau sedikit. Tapi entah lah, aku sangat tidak berselera untuk memasukkan makanan ke dalam perutku. “Bang, ayok ke kantin, nggak lapar memangnya?” Ajak Rian kepadaku.

“Lapar sih, tapi nggak nafsu makan gue. Tapi, ayo deh ke kantin, gue cuma mau ngerokok sama ngopi palingan.”
“Mau jadi zombie lu, bang, nggak makan.”
“Bawel deh, lu.”
“Iya, maaf. Ayok berangkat, bang. Cacing di perut gue sudah teriak-teriak ini.” Ajak Rian sembari bangkit dari kursinya dan berjalan beriringan dengan ku.

Terlihat kantin sudah ramai dengan para pekerja disini. Sebenarnya aku tidak terlalu suka dengan keramaian, namun karena hari ini pikiranku sedang bekerja keras, sepertinya tidak apa-apa untuk menghilangkan sedikit keresahan yang aku rasakan dengan pergi ke kantin bersama temanku.

Kopi yang kupesan sudah datang, makanan teman-temanku pun sudah ada dimeja. Hanya ada gorengan saja di depanku, karena untuk makan seperti nasi aku tidak nafsu. Kami pun makan dan bercengkerama di meja makan ini.

“Vin, lu sudah tahu belum gosip yang baru.” Tanya Siska, temanku yang juga bekerja di tempat yang sama denganku.
“Iya, bang, sudah tahu belum?” Tambah RIan.
“Nggak tahu, gue. Gamau tahu juga, sih, gue.”
“Dih, gosip hangat nih, Vin.” Kata Sita yang baru saja datang dengan membawa makanan dan langsung ikut masuk dengan obrolan kami.
“Itu loh, si Pak Rudi kabarnya mau nikah lagi.” Lanjut Siska. Pak Rudi adalah atasanku juga di tempatku bekerja.
“Ya biarin aja. Bagus toh kalau Pak Rudi mau menikah lagi. Kan sudah lama juga dia menjadi duda.” Balasku.
“Tapi, bang. Si perempuan ini kayaknya cuma mengincar harta Pak Rudi aja, bang. Iya, nggak, Sis?” Tanya Rian ke Siska mencari pembenaran akan opininya.
“Iya bener.” Jawab siska membenarkan.
“Lu laki-laki kok demen banget gosip, sih, Yan. Lagipula jangan su’udzon aja sama orang. Sekalipun orang itu kita kenal baik.”
“Kalau nggak ada gosip kayakya nggak asik, bang.” Kata Rian terkekeh.

Di tengah-tengah obrolan kami, ada wanita yang tiba-tiba untuk mencoba duduk disampingku, menggeser Rian yang ada disebelahku.

“Hai, Kevin sayang. Pasti nungguin aku, ya.” Kata Selvi percaya diri dan melingkarkan tangannya ke tubuhku. Selvi ini adalah wanita yang selalu saja merusak acara kami ketika sedang makan di kantin. Siska, Sita, dan Rian hanya menertawaiku tanpa melakukan apa-apa. Karena bagi mereka ini adalah hiburan, dan bukan rahasia kalau Selvi selalu seperti ini padaku jika bertemu, semua orang ditempatku bekerja sudah tahu hal ini.

“Aduh, apasih, Sel. Jangan peluk-peluk gini dong. Malu tahu dilihat banyak orang.” Kataku sembari melepaskan tangannya dari tubuhku.
“Ih, ayang jangan kayak gitu, dong.”
“Pliss, Sel lepasin.”
“Nggak mau.”

Aku pun bangkit dari tempat duduk agar tangannya terlepas dari tubuhku. Selvi ini memang sangat centil, terlebih lagi denganku. Setelah lepas dari pelukan Selvi, aku pun kembai ke ruangan aku bekerja dengan masih merasakan kesal. Niat hati ingin memberikan sedikit jeda untuk pikiran, malah jadi semakin pusing.

Setelah sampai ruangan aku pun mengecek ponselku. Barangkali Lea membalas pesan yang sudah aku kirimkan yang dari kemarin belum ia balas. Tapi ternyata nihil. Tak ada balasan apapun dari Lea walau hanya satu huruf. Aku pun kembali mengirimkan pesan kepada Lea berharap ia mau membalasnya.

“Lea, kenapa kamu kayak gini, sih? Apa salahku?”
“Kamu bisa menjelaskan apapun, namun jangan seperti ini, menghilang tanpa ada kejelasan. Bahkan aku tidak mengerti dengan perubahan sikapmu yang tiba-tiba.” Isi pesanku yang aku kirimkan pada Lea.

Terus saja aku mengirimkan pesan-pesanku yang isinya hanya pertanyaan-pertanyaan yang harus dia jawab. Ketika aku melakukan panggilan telepon pun tidak diangkat olehnya, hanya ada suara nada dering diujung telepon. Bagaimana pikiranku bisa tenang jika seperti ini?

“Lea, jangan buat aku menunggu seperti ini. Kamu hanya perlu menjelaskan apa yang sedang terjadi, agar aku mengetahui itu, entah itu menyakitkan atau tidak biarlah menjadi urusan nanti. Yang aku butuhkan saat ini hanya sebuah penjelasan. Itu saja.” Ucapku dalam hati.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Mar 24, 2022 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Sebuah TemuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang