Prolog

1.5K 114 19
                                    

•••

     Lalisa Hwang, begitu mendengar namanya tempo lalu aku langsung menoleh—pada ibuku—yang sibuk berbincang dengan telepon genggamnya.

Kami tidak seakrab itu hingga ia pantas dijuluki "Teman", dan bukan pula seorang asing. Dia adalah satu diantara beberapa orang yang sering kami temui sedari kecil. Mungkin sudah 20 tahun kami saling mengenal? Dan apa lagi yang akan bocah-bocah lakukan setiap bertemu bocah lainya kalau bukan bermain? Benar, Lalisa Hwang membuatku bermain denganya, ia membuatku selalu mengikuti perintahnya, dan ia membuatku selalu menangis setelahnya. Yang jelas, itu bukan kenangan baik. Namun, ia akan menghubungiku kurang lebih tiga kali dalam setahun hanya untuk berkeluh kesah mengenai hari 'Buruk' yang menimpanya, lantas kembali menghilang.

Hari ini, kami bertemu. Dengan tajuk pertemuan yang tidak ingin kujabarkan. Aku hanya akan sekali menemuinya, dan selesai. Ia membuatku jauh-jauh menghampirinya ke pedesaan, atau mungkin lebih pantas dijuluki Hutan? Karena sepanjang jalan menuju kemari aku tidak melihat apapun selain pohon. Dan ia membuat sepatu Louis vuitton kesayanganku dipenuhi tanah lengket sekarang. Ia bilang sedang mencari seorang penulis, ia mengatakan bahwa ia bekerja sebagai Editor buku sekarang—tentu saja itu perusahaan ayahnya—dan Lalisa Hwang mengatakan embel-embel tak masuk akal seperti ia telah tersihir dengan naskah yang ia baca sehingga ia merasa harus bertemu penulisnya. Tentu saja aku bosan mendengarnya bicara perihal sesuatu yang tidak aku mengerti—aku masih duduk di bangku kuliah—dan sepertinya ia menyadari hal itu lantas meminta maaf dan membelikan-ku Coffee sebagai tanda penyesalanya.

"Hyak, ayo menikah!"

Tentu saja aku tidak ingin tersedak saat minum Coffee, ketika mendengar Lalisa Hwang bicara. Aku sudah menduga sebelumnya saat nama Lalisa Hwang disebut, lantas menyadari bahwa ini bukanlah kencan buta yang mudah kugagal kan.

"Kau menyukaiku?" aku bertanya, separuh berharap ia akan menggelengkan kepalanya, dan itu benar. Seketika aku melenguhkan nafas lega.

"Lantas kenapa kau ingin menikahiku? Bahkan kudengar kau yang mengusulkan kencan buta ini?"
"Ibuku berkata demikian," ujarku menjelaskan.

Lalisa Hwang tidak menjawab, ia hanya tersenyum tipis, namun masih menatapku lekat-lekat. Keheningan ini membuatku menyadari bahwa udara mulai terasa dingin di pukul tiga sore ini. Aku melirik Lalisa yang masih menelaah wajahku sekarang, "Bicaralah," ujarku kikuk.

"Kau tampan," ujarnya tanpa malu-malu. Ia mengatakanya tanpa beban sambil menyeruput Coffee-nya yang tak lagi panas.

"Aku tahu," jawabku asal.
"Kau tidak boleh menikahiku hanya karena aku tampan," ujarku menegaskan. Lagi-lagi Lalisa tidak menyahut dan itu membuatku sedikit tertekan kalau-kalau ia tidak sependapat denganku, "Mengerti?" tanyaku memastikan.

"Dengar, aku punya kekasih," ujarku kikuk.

"Aku tahu," ujar singkat mulut Lalisa.

"Hyak, jika kau menyuruhku untuk meninggalkanya, biar ku beri tahu, dia seseorang yang tak mudah untuk ditinggalkan, dia—"

"Aku tahu kau mengencani seorang idol, Roseanne Park bukan?" ujar Lisa. Aku sedikit terkejut mendengar penuturanya, pasalnya tidak ada yang tahu perihal kami berkencan.

"Aku tidak tahu perihal kau mendengarnya dari mana, tapi sekarang kau mengerti bukan? Tentang Aku yang sangat menyukainya dan tidak ingin menikah denganmu?" ujarku hati-hati, kalau-kalau Lalisa tidak mengerti.

"Hyak Jung, apa aku tidak menarik?" tanya Lalisa—mendongkakan kepalanya dengan mimik wajahnya yang menurutku sedikit lucu? Tampak Seperti ia sengaja memasang mimik itu untuk membuatku goyah. Tentu saja ia menarik, lihatlah sepasang mata bulat kecoklatan dengan lipatan mata ganda yang cantik itu. Ia bahkan memiliki wajah yang kecil dengan mata, hidung, dan mulut yang besar, membuatnya tampak menyerupai boneka.

Her Gaze'Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang