5. KENANGAN

9 5 0
                                    

       Kendaraan beroda empat berwarna merah itu mendarat dengan sempurna dipelataran rumah yang tadi malam telah ia kunjungi. Sesuai perjanjian, Sean akan menjemput Jessi jam delapan pagi. Namun bukannya segera masuk, laki-laki dengan setelan baju golf itu malah membuka ponselnya, mencoba menghubungi wanita yang sebenarnya masih bingung memilih pakaian yang hendak ia pakai.

Sambungan pertama tak terjawab, kedua pun masih sama, hingga ketiga kalinya suara Jessi terdengar dari seberang sana.

"Lama banget si angkatnya" gerutu Sean setelah telepon mereka tersambung.

Diseberang sana Jessi menghela nafas, hendak balas menggerutu namun ini masih terlalu pagi untuk berkelahi dengan Sean.

"Gue bingung mau pake baju apa"

"Udahlah pake baju apa aja, nanti kita kesiangan. Takut pak Bian nunggu lama"

"Iyadeh. Lagian lo kenapa nggak masuk si?"

Sean menelan ludah kasar, "Ada bokap lo"

Jessi yang hendak memoleskan bedak tipis diwajahnya terhenti seketika, lalu tertawa terbahak-bahak membuat Sean mendengus kesal.

"Ayah lagi ada tugas negara, lagian masa sama ayah gue doang ketar-ketir"

"Udahlah cepet kesini!" ucap Sean segera mengakhiri telepon.

Mengingat kejadian semalam membuat Sean lebih mencari aman. Menghindari Andi memang bukanlah keputusan yang tepat sebab mau cepat atau lambat, ayah Jessi pasti akan kembali mengingatnya sebagai mantan kekasih anaknya yang juga seorang pembawa onar.

Sean menjatuhkan kepalanya disetir kemudi, kembali menyelam dalam pikiran-pikirannya. Saat itu pintu mobil tiba-tiba terbuka membuatnya berjingkat kaget.

"Nggak om, saya bukan siapa-siapanya Jessi" Sean berucap latah sembari mengangkat kedua tangannya.

Hening beberapa detik sebelum tawa menggelegar dari Jessi terdengar, tersangka yang membuat Sean terkejut. Perempuan cantik dengan setelan olahraga yang melekat ditubuhnya itu segera duduk, masih menertawakan keterkejutan bosnya.

"Lucu?" tanya Sean sinis setelah tawa Jessi sedikit mereda.

Jessi menepuk pundak Sean berkali-kali, benar-benar kebiasaan buruk seorang wanita saat tertawa.

"Bisa-bisanya ayah gue lo sebut-sebut pas latah" ucapnya masih dengan tawa yang menggantung diwajahnya.

Sean hendak marah, tetapi melihat tawa cantik dara disebelahnya, ia jadi ikut tersenyum. Tangannya hendak menahan pukulan-pukulan kecil Jessi dipundaknya, tetapi hal itu malah mengakibatkan tangan mereka dengan tanpa sengaja saling menggenggam.

Keduanya terpaku merasakan kulit yang saling bersinggungan. Tawa Jessi menghilang saat mata mereka saling berpandangan. Beberapa lama mereka terdiam tetap dalam posisi itu, kenangan mereka seperti datang silih berganti merayakan sebuah adegan klimaks dalam romantisme yang terjadi secara tiba-tiba.

Jessi sebagai pihak yang terlebih dahulu mendapatkan kesadaran segera menarik tangannya, kemudian diikuti oleh Sean. Selanjutnya kecanggungan yang datang berganti, membuat keduanya saling membuang muka demi menyembunyikan wajah memerah bak tomat segar.

"Kita berangkat sekarang, kayaknya pak Bian udah disana" ujar Sean yang diangguki oleh Jessi.

Perjalanan yang sebenarnya hanya memakan waktu sepuluh menit terasa seperti satu jam. Keduanya sibuk menata perasaan yang berantakan.

      Setelah sampai ditempat yang dituju, Sean dan Jessi segera masuk. Mereka diarahkan oleh seorang karyawan yang menuntun jalan mereka ke tempat dimana takdir perusahaan Sean akan didapat.

JALAN PULANG Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang