20 tahun lalu.
Helen pikir dia seharusnya bermain bersama teman-temanya. Dia sudah punya janji akan bermain monopoli di rumah Silvi. Kemudian mereka akan saling bertukar kertas binder. Kemarin Ayah baru membelikannya satu set kertas binder Kero Keroppi. Silvi punya set Sailor Moon dan mereka bersedia saling bertukar.
Tapi alih-alih melakukan hal itu, Bibi Titi menjemputnya dari sekolah. Helen tidak tahu apa yang membuat Bibi Titi terlihat begitu ketakutan dan panik, juga menangis. Sewaktu bicara dengan gurunya di depan kelas, Bibi Titi yang biasanya tenang, sekarang terlihat kusut. Pakaian Bibi Titi yang biasanya rapi, sekarang kusut.
Helen masih bengong di mejanya sewaktu gurunya berbalik. Mata mereka bertemu. Ada kesedihan di wajah gurunya juga. Ada apa?
Seisi kelas hening sewaktu Bu Guru menghampiri meja Helen. Beliau berjongkok di samping meja Helen. "Helen, sekarang kamu boleh pulang ya. Bibi Titi udah jemput."
Pikiran pertama Helen adalah dia senang karena diperbolehkan pulang lebih dulu. Biasanya kalau mau pulang cepat, dia harus duduk paling rapi atau bisa menjawab pertanyaan Bu Guru. Sekarang Helen tidak perlu melakukan apa-apa dan gurunya mengizinkannya pulang.
Dengan gembira Helen membereskan buku dan alat tulisnya, memasukannya ke dalam tas yang dikunci dengan magnet. Hanya sedikit anak yang memiliki tas ini dan Helen bersyukur Ayah mau membelikan tas ini untuknya.
Di luar kelas, Helen masih terlihat ceria saat menghampiri Bibi Titi. "Ayo Bi. Yuk pulang." Helen mengulurkan tangan dan memegang tangan bibinya. Bukannya berjalan, Bi Titi malah menangis lebih keras, lalu berjongkok dan memeluk Helen. Helen tidak tahu apa yang terjadi, kenapa bibinya menangis dan bukannya pulang. Helen juga tidak tahu apa yang harus dilakukan. Ketika Bu Guru menghampiri, memegang pundak Bibi Titi, barulah beliau berhenti menangis dan mereka pun menuju mobil Bibi Titi. Ada supir yang sudah menunggu.
"Demi belum pulang juga ya Bi?" Helen menanyakan sepupunya. Demeter, atau Demi, lebih muda dua tahun darinya tapi kelasnya hanya satu tahun di bawah Helen.
"Belum," jawab Bibi Titi dengan susah payah.
Helen kembali diam. Dia jarang naik mobil, apalagi mobil Bibi Titi dan Om Hasan. Mobil yang katanya terbaru ini. Helen selalu pergi dan pulang dengan kendaraan umum kalau ke sekolah sendirian atau diantar Ibu. Tapi kalau Ayah bisa mengantar, barulah Helen bisa naik mobil Kijang.
"Ngomong-ngomong, yang jemput Helen kok bukan Ibu ya, Bi?" tanya Helen lagi.
Bukannya menjawab, Bibi Titi malah menangis lebih keras. Helen semakin bingung dengan sikap bibinya yang sedikit-sedikit menangis.
"Bibi sakit? Bibi jatuh? Bibi ada yang luka? Helen bawa plester. Bibi mau pakai?" Helen merogoh tasnya, mencari kantong kecil di dalam tas tempat dia menyimpan barang-barang penting. "Ini."
Helen mengulurkan sebuah plester. Bibi Titi menerima, mengucapkan terima kasih lalu mengelus rambut Helen. Helen merasa ada yang aneh.
Begitu sampai di rumahnya, Helen malah diam di depan mobil. Rumahnya tidak pernah seramai ini. Rumah mungil yang ditempati bersama Ayah dan Ibu ini biasanya sepi. Kenapa sekarang banyak orang? Berpakaian hitam pula?
Helen menoleh kemudian menyadari mobil Kijang milik Ayah sudah ada. Artinya Ayah sudah pulang. Tapi kenapa malah diparkir di luar?
"Bibi?" Helen mulai merasa takut. Maka dia memegang tangan Bibinya semakin erat.
"Yuk pelan-pelan," ujar Bibi Titi.
Helen mengangguk. Satu tangannya memegang rok seragam berwarna merah. Perasaan Helen makin diliputi rasa takut. Semakin ke dalam rumah, orang-orang menghujaninya dengan pandangan prihatin, ada yang memalingkan muka, dan tidak sedikit yang menangis. Semakin masuk ke rumah, tangisan itu semakin kencang terdengar. Tubuh Helen semakin tidak nyaman. Dia mau pergi dari sini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Between Two (Play)Boys - ON PROGRESS
Roman d'amour18+ ! -- Helen menyukai Alex. Ralat, mencintainya sejak lama. Namun ada seseorang yang mencintai Alex jauh lebih lama dan Helen tidak mungkin merebut Alex dari orang itu. Sayangnya, Helen tidak bisa menahan perasaannya dan tetap berhubungan dengan...