BAB I

5 2 0
                                    

Siapa Yang Peduli?

Tak perlu menjelaskan tentang dirimu pada siapapun. Karena, yang menyukaimu tidak butuh itu. Dan yang membencimu tidak percaya itu

~Ali bin Abi Thalib

_____

"Langsung dipotong yang tadi aja Mang, tadi aku beli roti ini satu," gadis kecil mungil berambut pendek menunjuk rak yang berjejer roti-roti.

"Jadi, lima puluh ribu dikurangi dua ribu..."

"Empat puluh delapan ribu ya!?" Lanjut penjaga toko. Tangannya begitu sibuk menghitung-hitung ulang uang.

"Iya... Mang!" Tangan mungil itu meraih berlembar-lembar uang dua ribuan. Tidak banyak, cuma empat puluh delapan ribu.

"Terima kasih banyak Mang!" Gadis mungil itu beranjak pergi begitu saja. Melambaikan tangan kanannya sebagai simbol perpisahan antara dirinya dengan Mamang penjaga toko. Tangan kirinya sibuk meneteng keranjang.

"Maria, besok bawalah lagi kuenya...!"

"Laris Manis...!" Mamang berseru.

Maria menghentikan langkahnya lalu menolehkan kepala ke arah Mamang. Maria hanya membalasnya dengan senyum bahagia.

Matahari panas menyengat. Terasa membakar kulit. Keringat menetes dari dahi Maria. Ia menyekanya. Bel pulang sekolah sudah sedari tadi berbunyi. Tapi, Maria harus pergi ke kantin untuk mengambil uang hasil dari ia menjual kue-kue yang sudah Maria buat dari rumah. Sekolah berubah menjadi sepi. Hening. Hanya suara-suara desir angin yang membuat cuaca berubah sedikit tidak panas. Setidaknya angin itu dapat meringankan rasa panas akibat keringat yang keluar dari tubuh Maria.
Di saat ia tengah melangkahkan kakinya menuju gerbang untuk keluar dari sekolah,  ke dua matanya menangkap sekilas seorang mengenakan baju putih berjalan agak jauh di depannya. Maria mengenalinya. Sejenak kemudian ia teringat Laila sahabatnya.

"Oh ya, Laila!"

"Bagaimana keadaannya?" Maria berbicara dengan dirinya sendiri. Kemudian  berjalan melanjutkan langkahnya.

Kini dihadapan Maria telah berdiri sosok yang mengenakan baju serba putih. Wajahnya tertutup masker. Di lehernya terdapat alat pendeteksi detak jantung terkalung di sana. Bulu mata lentik yang tehalang kacamata bening sedang menatap Maria yang datang menghampirinya.

"Jangan mendekat!" Belum juga Maria angkat bicara, tiba-tiba ia mengatakan sesuatu yang Maria sendiri tidak mengerti.

Maria hanya mengerutkan kening. Memperhatikan dirinya sendiri. Apakah ada yang salah? Apakah dirinya begitu kotor? Apa yang sebenarnya terjadi? Maria bingung.

Maria hendak angkat bicara. Tapi, dipotong lagi olehnya.

"Kenapa kamu belum juga pulang?"

"Cepat pulang dan segera mandi bersihkan badanmu, anak kecil! Karena, vi---" belum juga selesai laki-laki itu berkata tiba-tiba,

*jduaaakk...

Keranjang kue Maria persis mendarat di muka laki-laki di depannya. Maria begitu marah karena dia menyebut diri Maria sebagai anak kecil.

"Bukankah kau sendiri juga anak kecil?"

"Dasar, kecil..."

"Dekil..."

"Gak tau diri!" Maria mengacung-acungkan jari telunjuknya pada laki-laki yang tersungkur di depannya. Laki-laki itu berdiri. Membenahi kacamatanya yang sedikit tergeser.

Bukan Sekedar Kata (Surat Dari Maria) Sekuel Langit biruTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang