Amara?

1 1 0
                                    

Yourword
_

"Amara, kau kah itu?" Seorang wanita berbaju putih mendekati Dina.

"Apa kabar nak?" Ucap wanita itu sambil tersenyum senang.

Dina menoleh ke kanan dan ke kiri, mencari-cari orang yang dimaksud oleh wanita berbaju putih itu. Namun, nihil. Ia hanya menemukan dirinya sendiri dan wanita itu. Dina heran, kenapa ada wanita malam-malam berjalan sendirian di malam hari, tapi pikirannya segera ia tepis, mengingat dirinya sendiri seorang gadis yang berjalan sendirian di kegelapan malam.

Dina menunjuk dirinya sendiri, sambil berkata, "Saya?"

Wanita itu mengangguk. "Iya, kamu nak, kamu sudah besar sekarang." Ucapnya sambil melihat dari atas ke bawah tubuh Dina.

"Saya baik Bu, tapi saya bukan Amara. Ibu siapa?" Tanya Dina sopan, sambil menampakan senyum kecil.

Wanita itu tersenyum lagi, kali ini lebih manis daripada sebelumnya. "Tidak penting siapa aku nak, yang penting, kembalilah, kedua kakakmu mencarimu kemana-mana." Ucapnya kemudian.

Dina hanya mendengar wanita di depannya, pandangannya ia alihkan pada lampu jalanan. Ia berpikir kemungkinan lain, bahwa wanita di depannya kurang waras. Karena semakin lama perkataannya semakin aneh. Mangkannya ia berjalan seorang diri di malam hari. Tapi kenapa, pakaian yang dikenakannya menggambarkan bahwa ia adalah seseorang yang sehat akal? Tidak lusuh, tidak kotor, dan tidak koyak.

Dina tidak tahu, yang ia tahu, setelah ia hendak kembali fokus menatap wanita di depannya, wanita itu sudah menghilang. Dina lagi-lagi memutar badannya, melihat ke atas, ke depan dan belakang, ke kanan dan ke kiri. Hilang, benar benar tak ada.

Hati Dina mulai resah dan tubuhnya merinding. Ketakutan di bawah sinar lampu jalanan yang menguning redup. Dina mulai berlari tanpa arah, tapi kakinya selalu berhenti di tempat yang sama. Berulang kali ia mencoba berlari ke lain arah, langkahnya terbawa di jalan yang sama. Takut, sedih, bingung, bercampur menjadi satu, air matanya sudah mengalir deras tanpa suara sedari tadi.

Menyerah, Dina menyerah, di bawah lampu jalan di gelapnya malam itu, Dina meringkuk, menangis sesenggukan. Ia membatin, "aku ingin pulang."

"Tolooooong!" Suara seraknya ia paksa berteriak.

"Tolong aku hiks."

"Toloooong!"

"Tolooong..." Suaranya melemah. Tangisannya membasahi mukanya, hidungnya sedikit tersumbat, wajahnya memerah.

"Mbak..mbak.. mbak, bangun mbak."

Dina mendengar suara sayup-sayup. Namun makin lama suaranya lirih dan menghilang. Dina menoleh ke kanan dan ke kiri, mencari suara itu.

"Siapapun disana! Tolong aku!" Teriak Dina serak.

Angin dini hari menembus kulitnya, badannya mulai bergetar kedinginan.

"Mbak..mbak.. bangun.."

Dina mendengar suaranya makin dekat sekarang. Hingga sebuah sentuhan tangan di ibu jari kakinya mengagetkannya. Badannya tersentak, terduduk dengan kaget, degup jantungnya masih sangat cepat. Dina menyentuh dadanya, berusaha menenangkan diri.

"Minum dulu mbak." Suara lelaki itu menyadarkan Dina yang masih setengah sadar.

Pandangan Dina menyapu sekeliling, diingatnya bahwa semalam ia sedang bermalam di warung.

"Mas, tadi saya mimpi?" Tanya Dina.

Lelaki itu menggelengkan kepalanya tanda tak tahu.

"Ya Tuhaaaan...makasih mas, hiks." Dina kembali sesenggukan.

"Eh, kenapa mbak? Tadi mbaknya nangis, jadi saya bangunkan, saya jadi parno sendiri dengar suara mbak nangis." Terang mas mas berambut sepundak itu.

Dina menggelengkan kepalanya. "Enggak tahu mas, mimpi buruk, buruk sekali."

Angin dingin menyapa kulit Dina dan mas mas itu. Seketika Dina membulatkan matanya. Tampak mas mas itu sedang mengusap tengkuknya lalu menyatukan kedua tangannya bersilangan di depan dada.

Dina menoleh ke mas mas itu. "Mas mas..." Panggil Dina sambil sedikit berbisik.

Mas itu segera menanggapi dengan fokus matanya.

"Di sini ada penunggunya?"

-o0o-

Seorang pria paruh baya dengan setelan jas nya menduduki kursi kantornya. Ia baru saja sampai di ruangannya, menghela nafasnya, melihat jam digital yang berada di mejanya. 07.00. Masih terlalu pagi untuknya, tapi inilah dia, Adi Nugraha. Baginya menunggu lebih baik daripada terlambat, walau itu kantornya sendiri.

Ia membuka aplikasi perpesanannya di smartphonenya. Matanya berbinar ketika ada pesan dari anak gadisnya. Mengetahui bahwa pesan masuk sedari semalam, ia jadi merasa bersalah. Dengan segera ia mengetikan balasan untuk putri tercintanya itu.

"Halo Putri ayah, selamat pagi, maaf ya baru balas, semalam ayah sudah tidur." Send.

Tak berapa lama, ia mendapat pesan baru lagi dari putrinya.

"Pak, silakan kopinya."  Sila Pak Dadang, Office Boy senior yang selalu setia datang paling awal dan pulang paling akhir.

Adi mendongakan kepalanya, mengalihkan atensinya dari handphone ke arah Pak Dadang lalu tersenyum.

"Makasih Pak Dadang." Balas Pak Adi dengan hangat.

"Iya, pak, permisi." Pak Dadang pamit kembali mengerjakan tugasnya yang lain.

My Princess ❤️

"Hehe, hai juga ayahnya Dina, iya nggak papa kok, sudah ku duga, ayah pasti sudah tidur. Ayah, aku boleh ke kantor ayah?"

Adi sudah bisa menebak bahwa putrinya pasti sedang ada masalah dengan ibunya.

"Baiklah, katakan, dimana ayah harus menjemput tuan putri yang cantik ini?" Send.

"eh tidak usah yah, aku mau naik ojek saja." 

"Jadi, tuan putri tidak mau naik kereta kerajaan?" Send.

"My Princess ❤️ share location"

"Baiklah tuan putri, kereta kerajaan akan segera datang." Send.

Adi segera bangkit, menyeruput kopinya sedikit, kemudian berangkat menyusul putrinya.

"Semoga Dina baik-baik saja." Ucapnya dalam hati.

-
Tbc.


Arung (Ovalia ft. Alfan)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang