Aku tertegun setelah melihat bangunan besar di depanku—terlihat sangat modern dan mengikuti jaman. Ah benar, aku harus mewajarkan semua hal yg ada di kota meskipun culture shock itu nyata.
Bagi seseorang yg terbiasa di hidup di pertengahan kota dan desa emang agak membingungkan, untuk menghapal jalan dan melihat berbagai macam jenis manusia lainnya.
Namaku, serena dan park adalah margaku. Tipe cewe dengan tampang pas pasan lebih tepatnya biasa saja. Suka ngeluh, tidur dan malas malasan.
Bukan spesies cewe yg nyengin dan bukan spesies cewe spesial juga. Sewajarnya cewe biasa aja tapi pengen pendamping spek dewa. Becanda.
Hari pertama di sekolah baru emang harus kasih kesan yg bagus—tapi apesnya malah nabrak cewe dengan gaya agak tomboy sedikit nyentrik.
"Bisa ga jalan pake mata?" Katanya, nadanya agak nyolot dikit. Matanya manatapku dari atas kepala hingga kaki.
Aku hanya membungkukan kepala, "Maaf." Apalagi yg bisa di lakukan selain kata maaf untuk anak baru yg bahkan belum tau manusia manusia seperti apa yg ada di sekolah ini?
"Buta ya?"
"Kalo buta gabisa baca dan sekolah," Balasku agak ketus.
"Woah," Ujarnya dengan nada sedikit nyeleneh, bisa di lihat ia keliatan sekesal itu.
"Maaf." Aku kembali membungkukan kepala, ayolah aku tidak ingin berakhir di bully. Hidupku bahkan sudah terlalu runyam jangan nambah masalah deh.
"Sorry, kenapa ya jess?" Tanya seseorang dari belakangku, sontak aku pun menoleh.
"EEEH—" Lelaki itu menunjukku dengan raut tidak percaya.
"Kamu?"
Aku hanya mengangguk, "Iya?"
"Sorry, bisa lupain kejadian waktu itu?"
Aku hanya menatap lelaki di depanku tidak percaya, dia seorang ketos anak populer yg katanya si jenius dan si paling friendly.
"Beban kamu ternyata banyak ya? Enak gasi jadi anak kebanggaan?" Pertanyaan yg langsung to the point buat mark.
Yaps. Lelaki itu namanya mark lee. Kebanggaan sekolah dengan masa depan secerah matahari katanya.
Cukup mengagetkanku pastinya, dengan semua prestasi yg tertempel dengan rapih di mading—ternyata di balik itu semua dia berusaha untuk tidak mengeluh dari semua tanggung jawabnya.
"K-kenapa nanya gitu?"
"Penasaran aja." Jawabku asal.
Mark menatapku gusar, "Bisa kamu lupain ga kejadian itu? Aku gaenak—"
"Sama?" Benar. Salah satu hobiku adalah memotong omongan orang lain. Meskipun aku tau itu tindakan kurang ajar tetapi lelaki di depanku terlihat sangat gugup, aku berinisiatif mencari jalan pintasnya.
"Semuanya, terutama temen temenku."
Aku hanya mengangguk anggukan kepala lalu menyender di tembok, aku sama mark lagi ngobrol di lorong lho.
"Dih, masa temen kamu gatau sekacau apa kamu."
"Mereka gaboleh tau, cukup aku—sama kamu."
Mark menatapku seperti memohon, biarpun aku sedikit menyebalkan tapi aku tetap memiliki rasa kasian.
"Oke deh,"
"Maaf ya?"
Aku menoleh, "Buat?"
Mark tersenyum. "Semuanya, kamu mau dengerin keluhan aku di saat gaada yg mau denger."
Ternyata masih banyak orang yg bahkan memilih memendam semua rasa di dadanya sendirian—daripada menceritakan dan tidak pernah di dengar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Another life
Fanfic"Kehidupan ini akan terus berjalan meskipun tidak ada kamu di dunia ini." ©makeuland2O22