02. Semesta Redup

48 11 2
                                    

Jangan lupa di vote dulu baru baca. Selamat bersemesta 

***

            "Kalau kamu nggak percaya sama siapapun, coba untuk menulis, Sena. Saya dengar, menulis bisa buat perasaan seseorang jadi lebih baik."

Begitu kata salah satu teman Sena. Si Wistara pun sadar bahwa selama 3 tahun terakhir ini, eksistensi dirinya hanya berupa raga tanpa tuan. Seolah dia hanyalah sebuah boneka yang tengah dimainkan semesta, menjalani lakon sebagai manusia yang baik sampai ajal menjemputnya kelak.

Meskipun, kerap sesekali Sena mengharapkan hal tersebut terjadi. Setidaknya, dia tidak akan sendiri, setidaknya dia bisa kembali dan bertemu Arjani.

Namun tentu tidak. Sena lagi-lagi menampar kesadaran dirinya, bersyukur dia masih memiliki satu-dua orang yang peduli terhadapnya. Mereka yang mengingatkan Sena bahwasanya Arjani pasti tidak akan senang jika Sena mati konyol begitu saja. Masih ada banyak hal-hal indah di dunia ini, begitu kata mereka.

Nawasena tersenyum miris. Ingin sekali berkata pula bahwa apa gunanya hal-hal indah ini jika hanya bisa dinikmatinya seorang diri? Tanpa ada Arjani, tanpa ada sahabat kesayangannya yang bisa ia bagi banyak hal-hal menyenangkan seperti biasa.

Lalu kemudian kehidupan Nawasena berlalu begitu saja selama 3 tahun ini. Semuanya terkesan begitu datar, suram, dan tidak ada hal yang spesial. Dia hanya berusaha keras bertahan dan menyibukkan diri untuk menghidupi dirinya sendiri. Sebatas itu, minat Sena tentang hidup agaknya turut pergi bersamaan dengan Arjani yang meninggalkannya.

"Kerja bagus, Sena. Saya selalu suka hasil editanmu seperti biasa. Khas Nawasena sekali," Pipit, ketua tim mereka, mengomentari dengan senyum puas yang tercetak di wajahnya.

Sena membalas senyumnya, "Makasih, Mba Pipit."

Sebuah rangkulan tiba-tiba diterima Sena, "Yo, Sena! Kamu mau kemana habis ini? Kita mau makan-makan, lho. Klien kemarin karena tajir dan kerjaan kita bagus, jadi lumayan dapet bonus," Arya mengajaknya.

Sena tersenyum, ia menghela sejenak, sebelum akhirnya menggeleng pelan, "Maaf, saya nggak bisa ikutan. Ada acara sore ini," katanya.

"Wah, iya? Acara apa? Jangan-jangan kamu mau kencan, ya?" Arini menyambung sembari memasukkan barang-barangnya dalam tas.

"Nggak juga, Rin. Bukan kencan," balas Sena kalem.

"Padahal kamu ganteng, lho, Na. Ku pikir modelanmu udah jadi buaya macam Arya. Eh, nyatanya kamu yang justru belum ada gandengan sampai sekarang. Hilal menuju sana pun nggak ada."

"Dih! Aku kenapa yang dijadiin sasaran?!" Arya protes.

Sena hanya tertawa kecil menanggapi ocehan mereka, "Nggak apa-apa, Ar. Nikmati masa muda mumpung masih bisa ke sana-sini."

"Iya!" Arya tersenyum lebar mumpung ada yang membelanya, "Makasih banget, lho, Na. Nanti kapan-kapan aku kenalin kamu sama temenku."

"Dasar para lelaki sama aja," Arini geleng-geleng.

Sena masih mempertahankan tawa kecilnya, ia lantas mengangguk, "Oke, ku tunggu."

Kemudian semuanya berpisah. Menuju tujuan pulangnya masing-masing. Begitu pun Sena. Pria tersebut tersenyum simpul, tahu bahwa ia akan mengunjungi seseorang yang menjadi tempat pulang si Wistara selama ini.

Dengan lincahnya, tanpa membuang banyak waktu, Sena mengunjungi satu toko bunga yang menjadi langganannya selama ini. Membeli satu tangkai bunga matahari seperti biasanya yang dirangkai cantik, kemudian membawa motornya membelah kota Mataram sore itu.

Lalu Kembali PulangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang