5. Puncak Perang

258 33 6
                                    

Hi!

Aku sangat berterima kasih kepada kalian yang sudah memberi semangat ke aku agar update cerita ini.

Well, sebenarnya aku udah susun alurnya sampai ending. Cuma... nyari niat buat nulisnya itu sulit. Huhuhu...

Oke!

Selamat membaca. Jangan lupa vote dan comment. Terima kasih <3

- • • -

MANIK abu-abu itu menatap lurus ke arah kegelapan berada. Jiwa pemuda itu tenggelam dalam lautan kelam, dimana tak satupun orang dapat menggapainya menuju daratan. Menariknya keluar dari perasaan ingin lenyap dari dunia yang tak pernah memberikan keadilan- keluar dari perasaan bahwa hidupnya tak lagi layak untuk dipertahankan.

Rasa dingin yang dirasakan Draco di lehernya menyadarkannya dari lamunan. Dia melepaskan benda itu dan membawanya sejajar dengan mata. Benda itu ia amati. Warna emasnya memantul akibat cahaya bulan yang masuk melalui celah atap, dan Draco menyadari sesuatu. Dia seharusnya tidak kabur. Seharusnya dia ikut mati bersama Astoria- menyusul sang ibu ke surga. Mereka akan menciptakan kebahagiaan tanpa seorang pun yang dapat mengganggu mereka.

Tetapi... semua dosa yang telah Draco lakukan seumur hidupnya, mungkinkah ia dapat mencium surga sekalipun? Draco sadar dia tidak pantas mendapat keajaiban itu.

Alat pembalik waktu itu ia lempar ke sudut ruangan- mengisi kesunyian dengan bunyi gemerincing.

Punggung Draco bersandar pada dinding dingin di belakangnya. Uap mengepul melalui lubang hidungnya tiap kali dia menghembuskan napas. Sekarang dia tidak tahu terdampar di waktu kapan, dan dia tidak tahu harus melakukan hal apa selanjutnya. Dia juga baru sadar meninggalkan tongkatnya di masa depan.

Draco menatap kedua telapak tangannya yang sangat pucat. Dalam dua puluh empat jam tangan itu telah memeluk dua tubuh tanpa raga orang tercintanya.

Itu sangat sakit...

Dengan frustasi Draco memukul wajahnya sendiri. Bahkan dia telah menangis tanpa suara.

Persetan dengan dunia. Persetan dengan Voldemort. Persetan dengan diri sendiri karena menjadi pengecut yang tidak bisa menyelamatkan mereka berdua.

Tiba-tiba ruangan itu bergetar dengan hebat, menciptakan reruntuhan kecil dan mengenai kepala Draco. Seketika dia tersadar dengan aksinya.

Perlahan Draco bangkit menatap sekeliling. Terdapat meja kerja di sisi kiri ruangan. Tangga berbentuk spiral dapat membawanya ke bawah ruangan itu. Serta rak buku besar berada di balik meja itu. Bentuk ruangan itu masih sama dengan terakhir kali dia meninggalkan masa depan. Akan tetapi tidak ada pintu lain dan-

Kedua netra Draco menangkap dua lukisan bergerak tepat di samping kabinet, dan draco mengenal dengan baik siapa mereka yang berada di dalam bingkai-bingkai itu. Dia terpaku.

"Draco, jangan sakiti dirimu sendiri. Saverus pasti akan mencekikmu." Lukisan berjenggot itu berbicara.

"Kau tahu dengan baik, Albus. Lucius akan menyerangku jika tidak dapat menjaga anak beban ini. Ya... tentu saja jika aku masih hidup."

Draco melangkah mendekati kedua lukisan itu.

"Hi, Draco. Lama tidak bertemu sejak... di Menara Astronomi?" sapa pemilik kaca mata bulan separuh dengan tersenyum.

Draco menggertakan gigi. Dumbledore baru saja mengingatkannya akan kegagalan Draco yang mengerikan kala itu. Lubang hitam seolah menyedot Draco, membawanya ke dalam memori dua tahun yang lalu jika dihitung dengan waktu keberadaan lelaki itu sekarang. Kini ia tiba-tiba berada di tempat yang memiliki ketinggian puluhan kaki. Angin kencang berhembus menerpa rambut Draco, sehingga menutupi pandangannya. Langit begitu gelap oleh awan mendung, menandakan petaka segera datang. Dia sontak ketakutan ketika menyadari sedang mengarahkan tongkat Hawthorn-nya ke arah pria tua tak berdaya.

SwitchedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang