Maaf aku sempat unpublish chapter ini soalnya aku merasa terlalu pendek, dan banyak kekurangan.
Sekarang kalian bisa membaca versi yang udah aku revisi.
Jangan lupa vote dan comment!
Terimakasih <3
— • • —
ABRAXAS MALFOY sebentar lagi bangun dari kuburnya dan melayang memburu Draco. Penyihir darah murni itu mungkin tidak pernah menyangka jika salah satu pewarisnya suatu hari akan mengemis kepada seorang darah lumpur. Jika saja Draco tidak dapat berperan dengan baik, lelaki platina itu yakin akan muntah setelah mengucapkan kata maaf kepada Granger. Tetapi kala wajah Astoria dan Narcissa muncul di benak Draco, dia bertekad untuk melakukan apapun demi keselamatan hidup mereka. Meskipun dia harus menciptakan distopia bagi dunianya sendiri.
Dia telah mempersiapkan kemungkinan yang akan terjadi untuk menghadapi gadis liar itu, dan ternyata itu cukup menguras tenaganya. Namun dia tidak heran mengingat bagaimana sejarah mereka yang dipenuhi kebencian. Bahkan tanpa mendengar teriakan Granger yang mengutuk interaksi mereka, Draco dapat melihat percikan api melalui ekspresinya. Granger tidak ingin melihat wajah Draco. Draco pun tidak sebaliknya. Mendengar nama kelahiran muggle itu saja dapat membuat Draco mengerutkan hidung. Namun melihat keadaan mereka yang hampir putus asa seperti ini Draco bersumpah persekutuan harus diciptakan.
“Sepertinya kita perlu membahas sindrom likantropimu.”
Draco dapat melihat iris hazel itu membulat. Namun itu tidak berlangsung sampai lima detik karena Granger kembali menetralkan ekspresinya menjadi datar. Tidak ada reaksi tercekat, takut, dan cemas pula dari diri Granger. Hal itu membuat Draco tertarik mengamati bahasa tubuh gadis singa itu. Apakah Granger tidak khawatir atas kondisinya? Mengapa dia terlihat seperti sesuatu tidak pernah terjadi padanya? Gadis itu sangat ahli mengontrol ekspresi.
“Aku pikir kau adalah penyihir paling cerdas pada masanya, yang mengetahui hal-hal apa yang perlu diperhatikan ketika bertarung dengan manusia serigala,” cemooh Draco.
Draco pikir Granger akan mencaci makinya karena tersinggung sebelum gadis itu berujar dengan suara bergetar, “hanya singkirkan saja suara itu, Malfoy.”
“Meskipun harus melenyapkan kumbang tak berdosa ini?” Draco menyeringai. “Aku kira kau memiliki hati selembut lendir cacing flobber,” ejek Draco.
Granger memutar matanya. “Selamat! Kau telah menyinggungku lagi, Malfoy,” balasnya seraya mendekati Draco. Dia kemudian mengambil acak buku di nakas untuk memukul serangga kecil itu. “Perang telah merubah semua orang, Malfoy. Termasuk aku. Kau tidak akan menemukan lagi si gadis rambut semak dan gigi kelinci cengeng, yang selalu menangis di rumah Hagrid setelah mendapat ejekan darimu.”
Draco mengamati bagaimana Granger menekan buku pada kumbang sekarat itu sampai hancur.
“Aku telah mengantisipasi hal ini ketika melawan Greyback. Kematian Harry membuatku hilang arah, dan sesaat membuatku menyerah pada hidupku. Kemenangan rezim Voldemort telah menjelaskan tidak akan ada tempat bagi status darah yang aku miliki. Aku pikir dengan kondisi yang lemah, tubuhku tidak akan mampu menghadapi infeksi ini kemudian mati. Tetapi saat aku terbangun dan merasakan gejala sindrom itu seketika aku takut. Aku mencoba melawan fakta itu.” Dia berhenti sejenak untuk menyeka air matanya. “Lalu aku melihatmu dan kau menjelaskan semua bahwa kau tidak ingin menyakitiku. Aku mencoba menenangkan diri tentang bagaimana aku bisa sesehat ini. Mungkin reaksi aneh tiba-tiba ini karena efek setelah kau menyembuhkanku. Karena di sekolah kau adalah ahli ramuan.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Switched
Fanfiction[ SLOW BURN ] Semua berawal ketika perang sihir dimenangkan oleh Voldemort, dan golden trio mati tanpa adanya jasad yang ditemukan. Draco Malfoy- sosok yang sangat setia dengan Pelahap Maut-pun mendapat kekuasaan tertinggi di bawah satu tingkat peny...