1. Pria Tanpa Nama

46 10 0
                                    

"Percayalah, yang Maha Kuasa selalu punya cara indah untuk mempertemukan kita. Itu semua hanya soal waktu, dan kita harus menunggunya dengan sabar."

Fatima baru saja merapikan buku yang ada di meja setelah murid-murid yang di didiknya itu keluar kelas. Ia menghela napas pendek, lalu tersenyum simpul.

"Eh Fika kok balik lagi?" tanya Fatima saat menyadari salah satu anak didiknya itu masuk kembali ke kelas. Anak itu diantar oleh teman sebangkunya.

"Botol minumnya Fika ketinggalan, Bu," katanya. Kemudian dia mengambil botol yang berada di kolong meja.

"Ada?"

"Ada, Bu," jawabnya dengan senyum yang semringah. Setelah menemukan apa yang dicari, kedua anak tersebut lalu berpamitan dan pergi kembali.

Sementara Fatima langsung kembali ke ruang guru dan mulai merapikan barang-barangnya untuk pulang. Fatima sebenarnya adalah guru baru di Sekolah Dasar ini, dia baru mengajar selama dua bulan.

"Bu Fatima mau pulang sekarang?" Tanya Bu Nia, salah satu guru senior Fatima di sekolah. Dipanggil senior karena dia sudah mengajar selama hampir 30 tahun, dan sebentar lagi akan segera pensiun.

"Iya, Bu." Jawab Fatima sopan.

"Tapi nggak ada acara penting, kan? Soalnya ibu mau ngundang guru-guru di sini untuk makan-makan. Ya, sekaligus buat perpisahan juga," katanya menjelaskan.

Fatima menggeleng pelan. "Mmm ... Nggak ada sih, Bu."

"Yang lainnya gimana?" Tanya Bu Nia pada guru yang lain.

Guru yang lain pun mengangguk setuju dengan ajakan Bu Nia. Mereka bergegas merapikan barang-barang untuk menuju restauran yang dituju. Restaurannya tidak terlalu jauh dari sekolah, hanya membutuhkan waktu kira-kira dua puluh menit saja.

Mereka pun langsung berangkat ke tempat yang dituju, hanya menyisakan Fatima yang memang sudah tak kebagian angkutan. Seandainya saja sepeda motor Fatima tidak mogok, dia pasti bisa langsung ke sana sekarang juga.

"Bu Fatima berangkatnya sama siapa?"

Fatima yang baru saja akan memesan ojeg online langsung menolah saat seseorang bertanya padanya.

"Eh, Pak Zidan. Mmm ... Mau pesen ojol aja, Pak, soalnya tumpangannya penuh," jelas Fatima seraya terkekeh pelan.

Pak Zidan adalah guru muda sama seperti Fatima. Dia sudah mengajar selama satu tahun lebih. Bahkan Pak Zidan juga lulus dari universitas yang sama dengan Fatima. Hanya saja dulu mereka tidak saling mengenal seperti sekarang.

"Kalau gitu, bareng saya aja, Bu. Lagipula tumpangannya masih kosong," ajaknya ramah dengan senyuman yang mengembang. Bahkan lesung pipinya sampai terlihat jelas.

"Mmm ..." Fatima terlihat menimang-nimang ajakan Pak Zidan. "Gak papa emangnya, Pak?"

"Ya gak papa atuh, Bu. Mari!" Ajaknya.

Fatima mengangguk lalu mengikuti Pak Zidan menuju parkiran. Sebenarnya situasi ini sungguh tidak nyaman bagi Fatima. Apalagi guru-guru di sekolah sering menjodoh-jodohkan mereka berdua yang memang masih lajang tersebut.

Dan saat mereka datang ke restauran nanti dengan berbarengan, pasti itu akan menjadi topik yang hangat diperbincangkan.

"Lain kali gak usah panggil saya Pak Zidan, ya. Panggil Zidan aja," kata Pak Zidan saat sepeda motor mereka sudah melaju di jalanan.

"Tapi kan Pak saya harus tetep sopan, nanti gimana kalau anak-anak denger saya manggil bapak cuma namanya aja," jelas Fatima.

"Ya udah, kalo di sekolah Bu Fatima bisa panggil saya Pak Zidan. Tapi kalau kita ketemu di luar, panggil saya Zidan aja. Saya belum tua dan bapak-bapak loh," katanya seraya tertawa lebar.

Cinta yang IkhlasTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang