Malam yang Kelam

24 7 2
                                    

Aku tak ingin menikah. Menikah menurutku hanya menjadi budak pria. Rela dibentak-bentak, bahkan harus patuh apa adanya. Bagiku, semua pria sama saja. Namun, aku bisa apa bila Ayah menjodohkanku dengan lelaki pilihannya? Oh, Bunda ... benarkah kau bahagia bersama Ayah yang kasar padamu setiap harinya? Aku benci Ayah!

Aku menangis sejadi-jadinya. Bantal basah oleh air mata. Aroma melati dan mawar putih yang menghias kamar, tak mampu meredakan tangisku kali ini. Malah ingin kurusak saja semua hiasan yang menjijikkan ini.

Di luar, semua orang ribut karena hujan. Meski tenda sudah terpasang, mereka masih ribut menyiapkan beberapa hal. Kilat menyambar-nyambar. Petir menggelegar. Angin begitu kencang. Aku menjerit dalam dekapan bantal. Tak percaya jika esok akan menikah dengan orang yang tak kukenal.

Lama termenung, aku malah ingin kabur. Meninggalkan rumah yang tak pantas kusebut rumah. Namun, jika kabur, bagaimana dengan Bunda? Pasti beliau akan dimarahi Ayah. Dibentak-bentak di depan semua keluarga.

"Tidaaaaaak!" teriakku sembari menggebrak meja rias. Vas bunga pun jatuh dan hancur. Serpihannya mengenai kakiku yang telah terhias henna. Darah mengalir semerah henna.

"Meisya!" Bunda mendorong pintu kamar yang memang tak terkunci. "Ada apa, Nak?"

Aku tak menjawab. Mata ini masih memanas menahan amarah. Napas masih tak beraturan menahan gemuruh di dada. Ingin meluapkan segala amarah, tetapi melihat Bunda rasanya tak tega jika harus membentaknya karena hal yang bukan kesalahannya.

Bunda meraih tubuh kurus ini ke dalam pelukannya. "Sabar, Sayang. Ada apa?"

Aku menangis dalam pelukan ternyaman di dunia. "Astaghfirullah, Mey! Kakimu terluka." Refleks Bunda melepas pelukannya.

"Biarkan saja, Bund. Luka itu tak sesakit luka di hatiku karena terpaksa menikah. Bunda tahu, kan? Aku tak ingin menikah. Aku tak mau jadi budak pria. Aku tak mau menangis hanya karena dibentak-bentak pria macam Bunda. Aku tak mau menikah, Bund."

Bunda memelukku semakin erat. Berkali-kali beliau menghujaniku dengan ciuman penuh sayang. "Nak, enggak semua lelaki sama seperti Ayahmu. Kau tak boleh membenci Ayahmu. Bagaimana pun dia Ayahmu."

"Ayah yang tak mengerti kebahagiaan istri dan anak perempuannya. Ayah yang berkuasa. Ayah yang tak pernah mendengarkan anaknya. Ini budaya patriarki, Bunda! Izinkan aku untuk kabur dari sini sekarang juga."

Plak!

"Jangan coba-coba untuk kabur, Mey! Bunda tak pernah mengajarimu untuk membenci Ayahmu. Mana hormatmu, mana adabmu!"

Bunda meraung-raung. Sementara aku memegang pipi yang terasa panas akibat tamparan Bunda. Petir menggelegar. Kilat menyambar-nyambar. Bersama derasnya hujan, Bunda berlutut di depanku. Memohon agar aku legowo menerima perjodohan. Tidak kabur atau pun melakukan hal nekad lainnya.

"Maafkan Bunda, Mey. Untuk kali ini saja, Bunda mohon kepadamu, jangan permalukan Bunda dan Ayah. Doa Buda umtukmu agar kau bahagia nantinya. Menikahlah, Nak. Demi Bunda. Demi nama baik keluarga. Bunda mohon, jangan kabur, Sayang."

Aku terenyuh. Kaki ini terasa lunglai hingga merosot ke lantai. Memeluk Bunda, menghapus air matanya. Bundaku tak boleh menangis. Sudah banyak air mata dalam hidupnya. Lalu, apa aku akan tega membiarkan dia menagis menanggung malu dan lara. Tidak. Aku harus membuatnya tersenyum. Ayah, kenapa kau tak mati saja. Kau lah sumber air mata Bunda.  Aku benci Ayah.

"Mey, Bunda tahu bagaimana perasaanmu. Terserah kau anggap Bunda egois, silakan. Tapi Bunda tak mau kau kabur dari sini. Kau harus menikah, Nak ...."

Aku memeluk Bunda. Bunda yang rapuh dan pura-pura tangguh. Tak tega jika harus melukai hatinya.

"Aku akan menikah, Bunda. Aku tetap di sini sampai esok hari. Sekarang, Bunda pergilah. Dan biarkan aku sendiri. Bunda harus tersenyum tak boleh nangis lagi."

Bunda mengurai pelukan. Beliau menghapus air mataku yang berjatuhan. "Pengantin tak boleh menangis. Pamali."

Aku mencoba menyunggingkan senyum untuk Bunda. Lagi-lagi, Bunda menghujaniku dengan ciuman. Air mata masih menetes di sudut matanya. Aku tahu, Bunda pasti tak rela melepasku dengan keadaan seperti ini, tetapi beliau harus nurut apa kata suami.

Bunda keluar. Aku mengunci pintu kamar. Menangis lagi meratapi takdir yang tak kuinginkan. Dalam tangis tak karuan, hati kacau berantakan, ponselku bergetar. Kuraih ponsel, melihat sebuah nama yang terpampang. "Gus Dhifan"

Hatiku bergetar. Tiba-tiba sejuk tetapi ketakutan. Kenapakah dia menelepon di malam yang kelam? Kenapa dia hadir saat akan tiba orang lain mengucapkan ikrar? Gus, aku merindukanmu. Sungguh. Tapi, apa pantas jika aku mengangkat teleponnya? Apa pantas jika aku mengadu dan menangis untuk terakhir kalinya kepada dia?

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Mar 05, 2023 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Tangga yang RapuhTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang