part 1

6.1K 473 22
                                    

Peringatan ❗

Adegan kekerasan, bahasa kasar, orientasi seksual. Dimohon untuk bijak dalam memilih bacaan.

Cahaya temaram menghiasi sudut ruang kamar Sosok pria berpinggang ramping, mata Hansel, hidung mancung tersebut. kini sosok itu menatap jendela kamar yang terbuka lebar. Menampakkan cahaya bulan yg nyaris purnama tersebut.

Tangannya memegang sesuatu. Sesuatu benda tajam yang selalu ia sembunyikan di balik kasur yang selalu ia tiduri. Sebuah cater yang selalu menjadi andalan arzan ketika dirinya merasa dunia tidak adil padanya.

Arzan memandang cater di tangannya tersebut, perlahan ia menyatakan pada pergelangan tangannya sendiri, Hingga kini Darah segar mengalir begitu saja di pergelangan tangannya. Namun sosok arzan tak sedikitpun merasakan sakitnya ketika benda tajam itu menyayat tangannya sendiri.

"Hahahaha..." Tawanya di keheningan gelapnya malam. Tawa itu bukan tawa karena ia bahagia, namun tawa itu karena ia merasa kesal. Kenapa dirinya harus terlahir seperti ini. Di mana dirinya tidak diharapkan oleh keluarganya sendiri.

***

Cahaya matahari menyilaukan sosok pria yang kini terbaring di atas brangkr ruangan serba putih tersebut. Sosok itu mengerjapkan matanya. Ia melihat seorang pria berbaju putih ala dokter berdiri di dekat jendela. Sepertinya pria itu yang membuka gorden jendela tersebut tadi.

"Selamat pagi?" Suara pria tersebut yang kini semakin mendekatinya.

"Saya dimana?"

"Tuan arzan anda tidak ingat apa yang terjadi semalam dengan anda?"pria itu balik bertanya.

Pria yang di panggil arzan tersebut mengingat-ingat kembali kejadian semalam. Saat ia mengingatnya iya malah merasa kesal.

Dokter tersebut yang melihat perubahan reaksi arzan berucap, "anda sudah mengingatnya? Kalo begitu saya minta? Jangan ulangi lagi. Itu tidak baik untuk anda tuan arzan."

"Saya sudah bosan hidup."

"Apa yang Anda katakan? Semua orang ingin hidup lebih lama lagi kenapa anda malah ingin mengakhiri hidup anda sendiri?"

"Anda bukan pisikiater."

"Apa anda ingin pisikiater? Saya akan menghubunginya kalo begitu--"

"Tidak usah." Arzan bangkit langsung mencopot selang infus yang berada di tangannya.

Dokter itu menatap arzan dengan helaan nafas. "Saya belum mengizinkan anda mencopot selang infus itu tuan arzan Ravindra Malik Narendra."

Arzan berdiri sambil memegangi tangannya yang terasa sakit. "Saya tidak apa-apa. Saya akan pulang sekarang."ucapnya. Lalu dirinya berjalan keluar dari ruangan itu, meninggalkan sang dokter yang menatapnya dengan menggelengkan kepala.

***

Arzan memasuki rumah. Terlihat sosok wanita paruh baya yang kini sedang duduk di sofa panjang sambil menonton TV beralih pandang menatapnya. "Masih hidup kamu?" Ujarnya. Ketika melihat arzan berjalan menaiki tangga. "Sok-sokan menyayat tangan sendiri! Mau mati kamu?"

"Siapa yang bawa aku ke rumah sakit?"

"Ck... Yang pasti bukan saya. Saya ma seneng kalo kamu mati." Ucapnya, lalu berdiri, berjalan melewati tubuh arzan yang menegang karena sesak didada atas perkataan wanita yang telah melahirkannya itu.

Mata arzan berkaca-kaca. Ia ingin menangis, menjerit, meluapkan segala sesuatu yang saat ini ia rasakan tapi apalah daya, ia tak punya seseorang yang bisa berbagi hati dengannya. Bahkan kakaknya sendiri pun tidak.

Arzan memasuki kamarnya. Mencari benda yang tadi malam ia gunakan untuk menyayat tangannya sendiri, namun ia tak menemukannya. Sampe seseorang menepuk pundak nya.

"Kamu mencari ini?" Sosok perempuan kisaran 25th berdiri, dengan menunjukkan cater berwarna merah di tangannya.

"Kakak..."

Wanita itu menarik tangan arzan untuk duduk di tepi kasur milik arzan. Tangannya mengelus luka sayatan di bagian tangan kanan arzan. "Jangan ulangi lagi." Suara wanita itu paruh, ada isakan dibaliknya.

Arzan menarik tangannya dari wanita itu. "Kakak nga usah khawatir. Aku baik-baik saja ko." Tukasnya. Jari ibunya menghapus air mata wanita tersebut dari pipi mulusnya.

Wanita itu menarik tangan arzan, menggenggam kedua tangan arzan erat. "Ikut kakak pindah ke rumah mas Dika. Maka kamu nga perlu lagi menghadapi sikap mamah yang kasar."

Arzan menggeleng. "Tidak ka... Aku tau kehidupan kakak dan mas Dika. Aku nga mau menyusahkan kalian, biarkan saja aku menghadapi sikap mamah yang tempramen asal dia bisa puas dengan semua itu."

"Kematian papah bukan salah kamu arzan. Semua sudah takdir. Jangan salahkan diri kamu sendiri atas kematiannya."

"Kalo saat itu aku tidak mengambilnya, maka papah pasti masih hidup ka."

••••••••

Kalo ada yang baca lanjut.

Kalo mau lebih detailnya silahkan tanya mba google

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Kalo mau lebih detailnya silahkan tanya mba google.

09/04/22

Arzan (Aku Bukan Kesalahan) MEWGULF// BL [LOKAL] // END✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang