Ia melangkah menjauh. Siluet raganya terbentang nyata di depan mata. Seorang diri, lelaki itu berjalanan menenteng novel romansa sejarah di telapak tangannya. Dibalik punggung 3 remaja perempuan, tubuh tegapnya bergerak hilang dari ekor mataku.
"Ra, haus banget gue. Beli minum, yuk." Rani menyeka peluh di dahinya, sambil menarikku yang masih terduduk nyaman di tepi taman. "Iya bentar, jangan buru-buru."
"Besok lagi kita harus ajak Hana, jogging ternyata nggak semelelahkan yang gue pikir, asik lagi. Lumayan, itung-itung nurunin berat badan." Ujarnya.
"Kalau udah kaya gini aja, lo bilang suka. Kemarin-kemarin gue ajak, siapa yang nolak mulu?" aku membenturkan pundakku padanya, membuat Rani sedikit oleng dan sekali lagi mencibirku.
"Ya lo nya juga nggak kerja keras ngajak gue. Masa sekali dua kali gue tolak, nggak dicoba lagi." Ujarnya dengan cengiran lebar.
Sambil menaikkan nada suara, aku memelototinya tajam diikuti tawa keras Rani. "Tau gitu kayaknya tadi sore nggak perlu jemput lo. Mending jogging sendiri."
Masih dengan larian kecil, kami terus berbicara, saling menyahuti. "Ngomong-ngomong, lo paham nggak sih, sama materi frasa yang minggu kemarin dikasih guru?"
Dia mengerutkan dahi, "Lo bisa nggak, kalau lagi main atau santai-santai tuh tolong banget jangan ngebahas pelajaran. Gue tahu lo rajin, tapi gue males kalau yang lo tanyain pelajaran mulu."
"Lo yang bisa nggak sih, nggak usah merendah terus. Orang nilai ujian sastra kita aja sama mulu, kalau nggak 6 ya 7, syukur-syukur dapat 8 apalagi 9." Sahutku balas menggerutu.
"Duh, lah, bentar deh. Stop dulu bahas sastranya. Perasaan supermarketnya cuma sana-sini doang, kenapa kita nggak sampai-sampai? padahal udah ngebahas soal Norwegia sampai Argentina."
Aku kembali tertawa renyah. "Hiperbola banget lo. Jangankan Norwegia, Kalimantan aja belum kita lewatin. Eh tapi asik, tuh. Main tebak ibukota negara, yuk."
Menghentikan tawanya, Rani kembali berujar, "Susah ngomong sama lo, main aja pake mikir."
Kami akhirnya berbelok, bernapas lega ketika merasakan hawa dingin AC bersentuhan dengan tubuh yang dilumuri keringat. Setelah membayar di kasir, aku mendahului Rani untuk duduk di kursi depan supermarket.
"Nanti kalau mau jogging lagi, jangan lupa ajakin gue ya. Asik deh, serius." Rani masih nyengir, mungkin senang dengan suasana jogging di area taman rumah.
"iya, dari tadi lo udah ngomong kok, Ran." Balasku tersenyum.
"Tapi sekarang gue udah capek. Yuk, pulang."
Gadis dengan hoodie abu-abu itu membuang botol minumnya di tong sampah, kemudian sekali lagi menarik tanganku untuk kembali ke rumah.
---
Haloo semuanya!
Makasih ya, udah sempetin baca cerita ini. Aku bakal dengan senang hati menerima saran/kritik dari kalian. Jadi, feel free buat klik tombol komentar ya. Kalau semuanya lancar, mungkin aku bakal update cerita ini satu atau dua minggu sekali. See you!
YOU ARE READING
Catmint
Teen Fiction"Lo serius, dia yang nyapa duluan?" Rani melebarkan matanya, antusias bertanya. Aku hanya tersenyum tipis. Lelaki yang terus kutatap di taman 2 tahun terakhir, kemarin sore mengajakku berbicara lebih dulu. Dengan untaian kata hangat yang dikeluarka...