"Yang ini ngerjainnya gimana? Udah sesuai rumus, tapi hasil hitunganku tetap nggak ada di pilihan jawabannya." Hana menghela napas berat, menyalurkan kebingungan atas pertanyaan yang tidak bisa dijawab bahkan setelah kami menghitungnya satu per satu.
Rani terus menggerakkan ujung pena miliknya, membuat banyak coretan di kertas kosong yang kini penuh angka. "Nggak tahu. Udahan aja, capek." Dia mendaratkan punggungnya pada ujung kursi, bersandar sambil meluruskan kaki.
"kita kenapa gini banget, sih? Udah ada rumus, masih aja nggak ketemu jawabannya. Cuma ngehitung 5 soal ekonomi, capeknya kayak habis lari 45 menit. Ingat umur, masih belum 18 tahun, nih." Aku terus tertawa sendirian, sementara mereka berdua menatapku tidak peduli.
Kelas semakin ramai karena guru bahasa inggris tak kunjung memasuki kelas. Kami memutuskan mengerjakan latihan soal untuk seleksi mandiri milik Hana, sedangkan lainnya memainkan ponsel dan berbicara melingkar. Sebagian lagi keluar kelas, entah ke kantin atau pergi kemana.
Rani mengangkat kepalanya, memutar badan, kemudian berujar, "Nanti ke kafe biasa, yuk. Yang di belakang komplek sekolah."
"Ayo! Jam berapa? Sore aja." Hana menyahuti dengan semangat, dia tersenyum antusias. "Gue ngikut aja. Kalau bisa jangan malam."
"Jam setengah 4 ya. Na, tolong bawa buku latihan soal ini ya nanti, yuk coba kerjain bareng lagi." Rani sedang semangat-semangatnya mengejar materi yang akan diujikan saat tes masuk perguruan tinggi nanti. Buku tebal dengan rincian soal ujian tersebut dijual dengan harga yang membuat kami harus mengikhlaskan uang jajan 2 minggu jika ingin membelinya. Itulah mengapa, Hana yang memang dibelikan buku-buku tersebut oleh orang tuanya dengan senang hati terus membaginya dengan kami.
Dia mengangguk ke hadapan Rani, "Iya. Nanti aku bawa juga yang satunya."
Selang beberapa menit, guru sejarah memasuki kelas. Satu persatu murid kembali ke kursinya masing-masing. Pelajaran dimulai, riuh rendah teman-temanku berangsur hilang.
"Berapa lama Aceh dikuasai Penjajah? Apakah sama dengan seberapa lama Nusantara dijajah?" Bu Eli berjalan mondar-mandir, menunjuk ke arah LCD yang menampakkan peta Negara.
Faldi, ketua kelas berkacamata mengacungkan tangan, "Bu, pada zaman itu, sebenarnya komoditas apa dari Negara kita yang paling besar menarik minat penjajah?"
Percakapan dua arah mulai berlangsung. Penjelasan bu Eli menarik banyak mulut untuk bersuara. Sejarah merupakan salah satu pelajaran yang menyedot perhatian murid-murid kelasku. Meskipun tentu tidak semua murid seperti itu, satu dua lainnya dengan tenang memejamkan mata di bangku paling belakang.
Guru sejarah masih terus memberikan materinya, dan pertanyaan silih berganti keluar dari mulut-mulut kami.
"Bu, kalau minggu depan tetap melanjutkan materi ini saja, tidak bisa, ya?" Bahkan Hana yang biasanya menguap saat pelajaran geografi, kini memohon untuk tetap belajar materi ini minggu depan.
Entah karena cara penyampaian bu Eli yang menyenangkan atau memang materi ini dengan mudah menarik atensi kami, detik berjalan begitu cepat. Jam pelajaran sejarah habis, buku-buku pelajaran ditutup.
Bu Eli yang masih membereskan laptopnya menoleh sambil memberi senyum, "Nanti kalau semua materi sudah selesai, kita bisa membahas kembali materi ini."
Setelah mengucap salam, bu Eli meninggalkan kelas diikuti yang lainnya.
"Kalian langsung pulang?" Hana yang lebih dulu selesai beres-beres bertanya.
Aku menjawab sembari terus memasukkan barang-barangku ke dalam tas. "Iya. Kenapa?"
Hana membulatkan mulutnya. "Rani juga?"
Rani memang tipikal orang yang tidak banyak bicara saat melakukan sesuatu. Setelah menutup resleting ranselnya, dia baru menjawab pertanyaan Hana. "Kenapa emangnya?"
"Kalau nggak langsung pulang, ikut aku yuk beli burger. Kamu nggak ingin jajan?"
Aku memotong, lebih dulu membalik pertanyaan Hana. "Lah, kan, nanti sore mau ke kafe?"
Dia menunjukkan cengirannya, "Ya nggak papa, sih, lagi ingin jajan aja. Gimana Rani, ikut nggak?"
Rani akhirnya mengangguk. "Ikut deh, jadi pengen juga gue. Ra, tetap nggak ikut?" tanyanya lagi.
"Nggak, gue langsung balik aja. Selamat makan burger kalian, gue balik dulu ya!" aku melambaikan tangan, melangkah keluar menuju parkiran sekolah.
Setelah menyalakan mesin motor, aku bergegas pulang dengan kecepatan sedang. Matahari bersinar terik, lebih dari cukup untuk membuatku merasa ingin langsung mandi akibat kegerahan. Jalanan sedikit padat, baru membaik saat memasuki daerah rumahku.
Melewati taman, kecepatan motorku berkurang. Aku kembali melihat tubuh tegap itu. Siang bolong di bawah pohon rindang, lelaki berkaos hitam itu sedang memainkan bola basket bersama 2 orang temannya. Tawanya mungkin sanggup membuat senyum terus terpatri di wajahku hingga esok pagi.
"Bisa bisanya main basket jam setengah 11 siang." Gumamku dengan senyum tipis.
Tanpa persiapan, masih dengan tawa di wajahnya, ia menoleh ke belakang. Mata kami bertemu. Aku beberapa kali mengerjapkan mata, salah tingkah. Tidak lebih dari 2 detik, aku membuang muka. Kembali menatap lurus sambil terus menambah kecepatan motor.
---
See you!
YOU ARE READING
Catmint
Teen Fiction"Lo serius, dia yang nyapa duluan?" Rani melebarkan matanya, antusias bertanya. Aku hanya tersenyum tipis. Lelaki yang terus kutatap di taman 2 tahun terakhir, kemarin sore mengajakku berbicara lebih dulu. Dengan untaian kata hangat yang dikeluarka...