PART-1 ARESTYA DWIRAGATA

2 2 0
                                    


    Asap rokok mengepul di udara terbuka dengan kaki bersilang dan tangan kanan memegang secangkir kopi yang baru saja diteguk meninggalkan bekas hitam di ujung bibir. Bola mata yang menatap samar-samar di depan gerbang seakan menunggu seseorang untuk datang tetapi sudah tiga jam lebih, pria berrkumis tebal itu tidak mendapati seseorang datang ke rumahnya.

    Merasa kesal dan lelah, akhirnya Pak Sandoro berdiri dari kursi berukiran batik bercat coklat itu untuk segera pergi ke dalam rumah. Namun, belum sempat langkahnya menjauh dari depan pintu. Suara mesin mobil terdengar berhenti di depan gerbang.

    Pak Sandoro memasang wajah kesal dan kedua tangan dia lipat di pinggul menambah rona wajahnya semakin garang.

    "Darimana aja kamu?" tanya Pak Sandoro, suaranya begitu tegas.

     "Darimana aja bisa," jawab Arestya datar dengan wajah tidak bereskpresi sambil menutup pintu mobil.

    "Kamu kalau ditanya, jawab yang benar!" bantah Pak Sandoro.

     "Jawab yang benar gimana maksud Pak Sandoro?" tanya Arestya sambil mengusap rambut jambulnya.

     "Keterlaluan kamu, kemana aja kamu sampai larut malam?" tanya Pak Sandoro mengikuti langkah Arestya.

     "Kenapa kamu peduli, biasanya bersikap bodo amat," sahut Arestya.

    Pak Sandoro mencekal lengan Arestya.

    "Dengar ya Res, papa menyekolahkan kamu buat belajar yang serius bukan malah ikut tawuran gak jelas," jelas Pak Sandoro.

     "Pah, papa gak usah nglarang-nglarang Restya mau ngapain aja diluar sana. Toh, papa gak peduli sama Restya dan gak usah sok peduli karena Restya gak bakal berubah pikiran," ungkap Arestya seraya menatap Pak Sandoro.

     "Lagian, Restya gak pernah menganggap Pak Sandoro sebagai papanya Restya jadi urus saja urusanmu dan biarkan Restya terbebas dari brogol aturan yang kamu buat sendiri, bikin gak nyaman." Arestya sengaja menepis tangan Pak Sandoro dan ucapannya begitu meyakiti Pak Sandoro.

     Pak Sandoro menatap jam yang sudah menunjukkan pukul 02:30 WIB dan dia semalaman tidak tidur hanya mengkhawatirkan Arestya. Namun, Arestya tidak pernah menghargai dia sebagai papanya.

    Arestya masuk ke kamar lalu mengunci rapat dan tertidur pulas tanpa menganti seragamnya dan melepas sepatu. Dia sudah terlalu capek dan lelah karena baru saja pulang dari party.

     Bu Yuni terbangun akibat mendengar keributan antara Pak Sandoro dan Arestya. Dia benar-benar tidak menyangka akan sikap Arestya yang begitu berubah setelah mendapatkan papa tiri.

     "Huft ..., gimana lagi papa menasehati Arestya," ucap Pak Sandoro seraya mengusap wajahnya yang kusut karena mengantuk.

     "Papa yang sabar ya, mungkin Restya butuh waktu buat menerima kamu sebagai papanya, meskipun Restya beranggapan kamu tidak peduli dengannya tapi mama yakin kok, kamu sangat memperhatikan Arestya." Bu Yuni mengusap pundak Pak Sandoro.

     Pak Sandoro mengangguk lantas merebahkan tubuhnya di atas ranjang.

     "Papa akan senang saja bila Arestya bisa akur sama Vita kalau masalah papa gak terlalu dipedulikan pun tidak masalah," ucap Pak Sandoro, kini dia tidak bisa berbuat apapun lagi.

    Bu Yuni mengangguk, dia juga merasa bersalah dengan pernikahannya dengan Pak Sandoro tetapi dia tidak bisa lagi melakukan apapun selain menerima sebagai takdir jalan hidup.

****

     Suara musik terdengar keras dari dalam kamar Vita, dia sudah terbiasa menyalakan musik dengan loundspeaker tetapi pagi ini suaranya begitu menganggu kenyamanan tidur Arestya. Arestya yang sedang asyik bermimpi langsung mengkerjap-kerjapkan mata sambil bersunggut-sunggut keluar menuju kamar vita.

ARESTYATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang