Nama Kak Rein muncul di layar ponselku. Dan yang aku tahu, saat Kak Rein menelepon, kemungkinannya hanya dua: Pertama, amanah dalam organisasi yang diberikan kepadaku belum diselesaikan atau perlu revisi. Kedua, aku akan diminta untuk menerima amanah baru.
Ah, kalau kamu bingung soal amanah ini, intinya adalah "proker langit" yang aku dan teman-temanku kerjakan selama bergabung dengan Lembaga Dakwah Kampus (LDK). Baik, biar kamu punya gambarannya, sepertinya aku harus mengangkat telepon dari Kak Rein.
"Assalamu 'alaikum, Kak Rein. Kenapa, Kak?" Aku bertanya langsung ke inti sebab tahu Kak Rein juga tidak suka berbasa-basi.
"Wa 'alaikumussalam warrahmatullah ... Sabtu ini kamu free?"
Oke. Hanya dengan sebaris kalimat itu, aku sudah tahu bahwa Kak Rein meneleponku karena alasan yang kedua. Kalau sudah mengawali dengan bertanya waktu kosong, sudah jelas Kak Rein akan menginformasikan agenda dakwah yang akan dilimpahkan kepadaku.
Aku melirik kalender pada buku jurnalku. Sejujurnya, Sabtu dan Ahad ini tadinya ingin aku jadikan sebagai pekan-paling-tenang-sebelum-ujian. Aku sudah merencanakan mengunjungi toko buku bekas dan membeli beberapa buku lama. Aku pikir, mampir ke kedai kopi setelahnya akan membuat akhir pekanku lebih rileks. Bahkan tadinya, aku sudah punya rencana untuk pulang! Mamaku sudah menelepon berkali-kali dan melempar kode supaya aku menyempatkan pulang ke rumah pekan ini.
"Zu?"
"Iya, Kak." Rentetan rencana di kepalaku menghilang seketika. Aku menghela napas pendek. Ini bukan waktunya untuk mementingkan diri sendiri. Sejak memutuskan untuk hijrah, aku sudah tahu sepenuhnya, bahwa diriku sudah dihibahkan untuk Allah saja--dan aku masih dalam proses mengupayakannya. "Free, Kak. Ada apa?"
"Alhamdulillah ... Sip. Jadi gini, Zu, kita dapat undangan dari Rohis Al-Amjad. Itu Rohis di salah satu SMA di Bandung, aku lupa SMA berapa, nanti aku shareloc, ya. Mereka minta perwakilan dari LDK kita jadi pemateri di acara keputrian yang mereka adain Sabtu ini. Kalau kamu yang ke sana gimana?"
"Aku? Jadi pemateri?" Aku bertanya memastikan.
"Iya ... kenapa kamu kaget begitu? Kayak baru pertama kali aja," jawab Kak Rein diselingi tawa kecilnya. Di waktu-waktu begini, aku cuma bisa diam. Aku selalu merasa belum siap dan tidak pantas berdiri di atas "mimbar", tetapi aku juga sadar betul kalau tidak ada alasan bagiku untuk mengatakan tidak.
"Zu? Gimana? Kamu bisa?" tanya Kak Rein. Aku tahu itu hanya pertanyaan formalitas. Kalau aku jawab tidak bisa, Kak Rein akan mengeluarkan jurus retorikanya yang membuatku tidak bisa berkutik.
Merasa suasana terlalu serius, aku akhirnya mengeluarkan satu pertanyaan--yang kuharap membuat Kak Rein mengeluarkan aku dari kualifikasi pengurus LDK yang layak menjadi pemateri kajian Islam. "Kak, daripada jadi pemateri ... aku boleh jadi duta sampo aja nggak?"
Kak Rein tertawa. Sedikit lebih kencang dari sebelumnya. "Kamu mau ngumbar aurat?"
"Sampo khusus perempuan berhijab, Kak."
"Zu, enggak usah ngajak bercanda, ya." Kak Rein kembali ke topik pembicaraan kami sebelumnya. Nada bicaranya serius lagi. Di waktu-waktu seperti ini, ucapan Kak Rein seperti memiliki magis: aku dipaksa tenang dan mendengarkan. "Kalau enggak bisa, bilang aja, tapi alasannya syar'i, ya."
Oh, kalimat terakhir yang keluar dari mulut Kak Rein justru terdengar lain di telingaku: kamu harus bisa, Zu.
"Kenapa nggak Kak Rein aja?" tanyaku, masih berusaha berdiplomasi alih-alih langsung menjawab tidak.
"Aku Sabtu dan Ahad full di ma'had, Zu. Pekan ini aku ujian. Aku nggak bisa izin sama Ustaz ...."
Itu alasan syar'i yang tidak bisa aku kritisi. Selain kuliah dan berorganisasi, Kak Rein juga mengikuti pembelajaran di ma'had. Di sana, Kak Rein belajar ilmu hadits dan sistemnya pun seperti kuliah--hanya saja dilakukan di akhir pekan: Sabtu dan Ahad.
KAMU SEDANG MEMBACA
Refereinsi
Spiritual"Kita itu bertindak sesuai dengan apa yang kita pikirkan. Dan yang kita pikirkan itu sesuai dengan referensi yang kita punya. You are more than what you eat. You are what you read. You are what you see. You are what you talk with. You are what your...