#1. Marah, Merah?

227 11 4
                                    

Muadzin mulai terdengar mengumandangkan Adzan. Ayam jago mulai bernyanyi seolah hafal liriknya. Surya mulai sedikit demi sedikit menampakan sinarnya. Dingin; sejuk; udara menusuk hingga ke tulang rusuk. Terdengar sayup-sayup orang yang mungkin bergegas untuk melakukan aktifitasnya. Tetapi, tidak dengan ku.

"Mau sampai kapan gini terus? Hah?".

Sebutlah dia perusak pagi. Ya. Ia merusak pagi ku. Lihatlah. Ia masuk. Tanpa mengetuk pintu. Membangunkan ku. Kalah Candil, kau tahu? Candil bisa memainkan 8 octave. Sedangkan ia? 10 octave ia mainkan setiap pagi.

Dan, apa ini? Surya datang lebih cepat. Tuhan, apakah ini kiamat?

"Kau masih disitu rupanya. Cepat bergegas!".

Hanya berharap semoga pagi ku ini lebih indah diiringi surya yang memerah. Entahlah, mungkin surya bosan dengan warnanya yang hanya itu-itu saja. Ia mencoba untuk merubah warnanya menjadi sedikit memerah.

Sebaiknya aku segera bergegas. Kalau tidak, perusak pagi ku akan muncul lagi dan mengomeli ku dengan nada suara 20 octave-nya.

***

"Baiklah. Berarti kita sepakat ya untuk mengirimnya ke Bandung."

Baru saja aku ingin menuruni anak tangga. Terdengar Ayah ku dan beberapa orang di sekitarnya; aku tak mau menyebut mereka keluarga ku. Biarkan kau akan mengetahuinya sendiri kenapa aku tak mau memanggil mereka keluarga ku.

Jadi, Ayah akan mengirimku ke Bandung?
Oh. Aku salah. Bukan ayah. Wait, oh ayah. Bukan ayah? Jadi? Oh ternyata kemauan mereka, dan menghasut ayah sehingga ayah sepakat. Seperti itu, kan?

Jadi, aku memang salah. Ternyata, surya yang memerah ini bukan pertanda baru yang baik. Tapi, malah semakin buruk.

"Hei. Kau disitu rupanya. Sini, sarapan. Kami sudah selesai sarapan tinggal kau yang belum."

Apa ini? Si perusak pagi bersikap manis padaku? Bahkan nada bicaranya tidak lagi 20 octave. Tetapi 1 octave. Bahkan kalau di transpose di keyboard, down -14. Dan lembut sekali tutur katanya, serta kecepatan bicaranya. Tidak lagi allegro. Sangat pelan metronome-nya.

Neraka.

"Kamu kenapa, nak?

Aku tak apa-apa, yah. Jangan menatapku seperti itu. Jangan.

"Kamu tidak mendengar ucapan ayah? Kamu ini kenapa? Jawab!"

Plak.

Satu tamparan kena pipi ku pagi ini.

Hei, jangan tertawa kau surya. Kau berhasil memberiku satu harapan palsu lagi.

Apa lagi ini?

Lentera 13Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang