#4. Dinding yang Rapuh.

50 6 1
                                    

Aku tahu akan satu hal. Bahwa aku tidak seperti anak yang lainnya. Aku bisu.

Tidak. Aku tidak bisu. Aku hanya tidak bisa berbicara banyak. Bahkan aku masih bisa mendengar. Aku bisa berbicara. Hanya selama ini aku berbicara menggunakan bahasa tubuh. Orang-orang yang bilang kalau aku cacat. Entah. Mengapa aku tak seperti anak yang lainnya. Yang berlarian menarik layangan, yang melompat dari batu besar ke laut, yang bermain benda bulat dengan sepatu berwarna-warni di lapangan.

"Semua itu punya kelebihan dan kekurangan masing-masing, Jo."

Apa? Dania? Untuk apa ia kesini?

"Coba kau denger ini, Jo."

Oh Tuhan. Lagu apa ini. Menangkan. Tidak. Sangat menenangkan hati ku.

"Ini lagunya Mr. Big, Jo. Enak, ya."

Sial. Kenapa Dania selalu tahu apa yang ada difikiran ku? Apakah ia peramal? Ia bisa membaca fikiran?

"Jo, aku pulang dulu, ya. Papa udah jemput. Hehe. See you."

"Hmm, Dan...."

"Iya, Jo?"

"Hati-hati."

Dania tolong jangan tersenyum di depanku.

**

Beberapa waktu yang lalu, aku ke tempat ini. Tempat dimana aku menulis sebuah kisah klasik dalam hidup ku. Konstan. Dan tak ada perubahan. Kata pak Yus, perubahan adalah sunnatullah. Sampai sekarang, aku belum merasakan perubahan dalam hidup ku. Aku. Ya aku. Tetap seperti aku biasanya.

"Bagaimana kamu mau berubah. Kamu saja masih takut."

Aku merasa seperti ada yang berbicara di samping ku. Dia mengatakan bahwa aku takut. Mungkin itu hanya halusinasi.

"Bukan halusinasi. Ini nyata. Aku yang berbicara."

Hah. Siapa dia? Laki-laki sebaya dengan ku, berjaket hitam. Yang dapat membaca fikiran ku.

"Kau bingung? Kenal kan, aku Fazel. Alfazel Wiryatama."

Sungguh, aku takut.

"Aku bukan orang jahat. Aku juga sama seperti mu."

Maksudnya?

"Aku juga dulu merasakan apa yang kau rasakan sekarang."

Shit. Kenapa dia bisa tahu apa yang aku fikirkan?

"Mata mu. Mata mu berbicara. Maka dari itu aku tahu apa yang kamu fikirkan."

"A-aku Jo-jo..." Jawab ku gugup. aku takut.

"Joandre. Nama mu Joandre. Sebaiknya kau pulang, Jo. Ayah mu mencari mu dirumah. Semoga hari mu menyenangkan. Aku pergi dulu. Semoga Tuhan mempertemukan kita kembali. Sampai jumpa."

Fazel. Dia bilang apa tadi? Dia pernah merasakan apa yang aku rasakan? Benarkah? Memangnya dia tahu apa yang aku rasakan? Mungkin iya. Mungkin juga tidak.

Benar kata Fazel. Sebaiknya aku pulang ke rumah ku. Hmm, maksud ku, rumah ayah. Aku tak berhak mengatakan itu rumah ku, sebab surat dan aset lainnya atas nama ayah, dan membelinya menggunakan uang ayah.

Iya kan?

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Oct 18, 2015 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Lentera 13Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang