3. Saingan

15 1 0
                                    

Johnny

Kata orang, cinta datang karena terbiasa. Ada juga yang bilang, cinta datang sejak pertama kali bertemu mata. Dan seperti yang aku alami, perasaanku pada Cherry dimulai dari tatapan pertama saat kami berjumpa. Lalu peresaan itu terpupuk oleh masa dan waktu yang kami lalui bersama.

Aku pikir, tujuh tahun bersama dapat menumbuhkan perasaan di antara kami berdua. Nyatanya aku salah. Rasa itu hanya tumbuh di hatiku, tidak di hatinya.

Namanya Jeremy Narendra, seorang pimpinan perusahaan swasta yang bergerak di bidan transportasi. Cucu dari Aaron Narendra pemilik Aaron Grup. Satu dari sepuluh perusahaan paling berpengaruh di Indonesia versi majalah bisnis yang sering di baca papaku setiap bulan.

Jeremy Narendra adalah putra tunggal dari anak ketiga Aaron Narendra. Kedua saudaranya juga menjadi pimpinan di anak perusahaan lain di Aaron Grup. Dan mereka tentu saja berada di level yang berbeda denganku, termasuk Jeremy. Anggap saja jika situasi ini diibaratkan dengan gedung, maka aku ini adalah lantai kelima sementara dia adalah lantai tertinggi. Sangat jauh berbeda.

Setahuku, gedung tempat kantor Jeremy berada jaraknya sekitar lima menit perjalanan dari kafe ini. Saat pertama kali datang ke sini, aku ingat betul dia memesan espresso. Dan sejak saat itu dia selalu memesan menu yang sama.

Kedatangannya di kafe ini seperti sebuah takdir yang tidak bisa aku hindari. Ia tiba-tiba muncul di antara aku dan Cherry, lantas ia memotong tali yang berusaha kurajut dengan gadis itu.

Jeremy seperti yang sudah biasa ia lakukan, akan selalu datang pada pagi hari sekitar pukul sembilan atau sepuluh saat kafe baru beberapa menit buka. Dia akan duduk di sudut kiri dekat pintu dan menunggu di sana sampai Cherry datang membawakan pesanannya.

"Hai," Cherry menyapa Jeremy dengan cara yang menyenangkan seperti biasanya. Cherry tersenyum padanya dan Jeremy dengan begitu lembut mengenggam tangan gadis itu.

"Hai, kangen aku gak?"

"Kangen," jawab Cherry yang masih dapat di tangkap oleh telingaku.

"Duduklah. Aku ingin minum kopi denganmu."

Cherry tersenyum lalu duduk di kursi kosong di hadapan Jeremy. Gadis itu lantas menoleh padaku dan memberikan isyarat dengan jari telunjuk dan jari tengahnya.

Aku pun mengangguk dan segera membuatkan pesanannya. Keduanya berbincang dengan begitu intim hingga aku tak lagi bisa mendengar percakapan keduanya.

"Satu coklat hangat, dan satu espresso," kuletakkan dua cangkir di atas meja mereka setelah selesai membuatnya. Aku menatap Jeremy dan Cherry bergantian kemudian pergi. Kembali ke dapur menghindari melihat kedekatan mereka. Rasanya tidak nyaman. Jadi lebih baik aku menyingkir.

"Bang John, ngapain di sini? Bukannya jaga depan. Kalo ada yang pesen gimana?" oceh Ten si anak magang. Kami menyebutnya demikian karena memang dia bukan karyawan tetap di sini. Dia bekerja paruh waktu sambil kuliah. Kebetulan Ten ini kuliah di kota ini dan sudah semester akhir. Karena sempat ada konflik dengan ibu kost tempatnya tinggal, Ten akhirnya di usir dan akhirnya dia tinggal di ruang istirahat yang ada di lantai dua kedai ini.

"Lu aja yang di depan. Kalau ada yang pesen, panggil gue. Atau si Miko aja."

"Lah! Kenapa? Oh, gue tahu. Ada Mas Bos?" sebutannya untuk Jeremy. Memang cocok di panggil demikian karena memang Jeremy adalah seorang bos.

"Udah, sana ke depan," sambar Mino dengan wajah datar. Membuat Ten langsung tidak banyak omong dan pergi ke depan. Menggantikanku menjaga kasir.

Mino mendekatiku kemudian mengajakku ke belakang dapur. Ke sebuah taman kecil tempat yang biasa kami gunakan untuk beristirahat.

"Kopi?" tawarnya menyodokan secangkir kopi padaku.

Aku tersenyum kecil dan menerimanya kemudian duduk di kursi rotan dekat pintu.

Ia menyusulku. Menyalakan rokoknya kemudian duduk di kursi lainnya sambil memandang bunga-bunga yang menghiasai taman kecil itu.

"Kenapa lu gak jujur aja, sih? Ribet kalau suka sembunyi-sembunyi gini."

"Siapa sih? Ngomong apa lu?"

"Alah, gaya lu!" katanya sambil tertawa mengejek. "Lu diem-diem ada perasaan gini, jadinya sakit sendiri. Mau pasang badan buat dia gak bisa karena terhalang status. Tapi kalau gak padang badan, si Cherry gue yakin bakal sakit hati sama kelakuan Jeremy."

"Sok tau, emang lu kenal Jeremy orangnya kayak apa? Jangan sembarangan nilai orang," ucapku berusaha santai dan bersikap netral.

"Gue tau. Dan lu pun bisa lihat sendiri gimana sikap Jeremy ke Cherry. Kalau dia emang suka dan serius. Harusnya gak kayak gitu, kan? Kasih kek kejelasan. Lu sendiri juga gak gerak cepat jadi laki-laki. Keburu kecewa nanti si Cherry," cerocos Mino tanpa henti.

Aku terkekeh saja. Tidak ada yang bisa kulakukan di situasi yang entah seperti apa harus kugambarkan. Di satu sisi aku tidak ingin merusak hubungan persahabatanku dengan Cherry jika aku mengungkapkan perasaanku. Tapi di sisi lain akan sangat terlambat jika nanti Jeremy yang lebih dulu bertindak. Entah memberikan efek yang baik atau tidak untuk Cherry kedepannya.

"Nanti gue pikirin lagi. Sekarang, anggap aja kita gak tau apa-apa. Jangan sampe bikin Cherry gak nyaman."

Mino mengangkat bahunya tak peduli. "Yau dah. Pokoknya udah gue ingetin. Kalo sampe nanti lu nyesel, jangan nyalahin gue."

Aku tersenyum lantas menggeleng. "Gak akan. Lu pikir gue si Miko, suka baper sendiri marah sendiri."

"Siapa yang tau, John. Kadang orang diam tuh lebih mengkhawatirkan daripada orang yang banyak ngomong."

Mino tertawa saja kemudian lanjut minum. 

"Tapi kadang diam itu lebih baik daripada banyak omong tapi ngerusak banyak hal," balasku.

Kami kemudian saling diam. Seperti sibuk dengan pikiran kami masing-masing. Aku dan Mino masih bertahan di sana sampai beberapa saat hingga Ten datang dan memberitahukan bahwa para tamu sudah mulai berdatangan dan pesanan mulai menumpuk. Dan hari itu kembali kami jalani seperti biasa. Seperti hari-hari sebelumnya.

_______ 

Hearing CafeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang