5. Surat Curhat

11 1 0
                                    

Johnny

Sudah pukul sepuluh malam. Setengah jam lagi kafe tutup dan kami semua akan berkumpul di lantai atas untuk membaca surat dari pelanggan dan memberikan balasan. Biasanya kalau urusan membalas pesan pelanggan, Mino yang punya jawaban paling masuk akal. Walau penampilannya kurang meyakinkan, dia orang yang cukup bijak yang pernah aku kenal.

Kafe sudah mulai sepi. Aku pun sudah membersihkan peralatan kerjaku lalu menyimpannya di tempat yang seharusnya. Ten sedang merapikan meja yang sudah ditinggalkan oleh pelanggan. Sementara Mino dan Miko sudah lebih dulu naik ke lantai dua. Mereka memeriksa draf penjualan hari ini sambil beristirahat. Mereka bahkan sudah ada di sana sejak pesanan terakhir mereka kerjakan dan dapur selesai mereka bersihkan.

Aku lihat Cherry masih tampak sibuk menata surat-surat yang kami terima hari itu. Aku pun mendekatinya dan membantunya menyortir surat-surat itu.

"Banyak surat hari ini?" tanyaku sambil memeriksa surat yang masuk satu demi satu dilihat dari amplopnya.

Cherry mengangguk kemudian menyimpan surat yang terakhir kami dapat di kotak yang ia bawa sejak tadi.

"Lumayan. Kayaknya malam ini kita bakal seru-seruan bahas surat-surat mereka. Mumpung besok kita buka kafenya agak siang. Jadi bisa begadang sama-sama," ucapnya.

Aku pun tersenyum lantas membantunya membawa surat-surat itu. "Kamu naik duluan deh. Aku susul sama Ten setelah ngunci kafe sama matiin lampu."

Dia pun mengangguk setuju lantas naik duluan ke lantai dua menyusul Mino dan Miko.

Aku membantu Ten lebih dulu. Merapikan meja dan kursi kemudian megunci kafe setelah mengunci rolling door lebih dulu. Setelah itu kami berdua mematikan lampu kafe dan segera naik ke lantai dua untuk bergabung dengan yang lainnya.

Di lantai dua, Miko dan Mino tampak bercanda membahas surat yang mereka terima. Surat-surat yang selesai kami baca biasanya akan mendapatkan balasan yang kami tulis di selembar kertas lain atau jika si pengirim menyertakan alamat e-mail maka kami akan membalasnya lewat e-mail kafe.

"Seru banget kalian. Lagi bahas apa?" tanyaku bergabung duduk di sebelah Cherry sementara Ten memilih selonjoran di karpet dan langsung menyalakan laptop yang sejak tadi diam di atas meja.

"Ini, John. Bahas surat dari salah satu pelanggan kita. Sebuat saja Mawar," jawab Mino.

"Okey, terus?"

"Ya, gini ceritanya. Dia ini pacaranya udah dua tahun. Nah si cowoknya dia baru-baru ini ketahuan jalan sama sahabat si Mawar sendiri. Terus dia tanya, apa dia harus pertahanin hubungan atau engga. Soalnya dia sayang banget sama si cowok."

"Terus jawaban lu apa?"

"Gue suruh dia milih. Bertahan atau meninggalkan. Dengan konsekuensi kalau dia bertahan cowoknya mungkin akan tetap melakukan hal yang sama. Dan kalau dia memilih untuk meninggalkan mungkin akan sulit di awal, tapi seiring dia membuka hati kemungkinan dia bakal ketemu sama cowok lain yang lebih baik," ujar Mino.

Aku pun mengangguk setuju. "Itu cukup masuk akal. Kita sama-sama cowok. Tentu sedikit banyak tahu kalau kebiasaan kayak gitu selalu berulang. Meskipun ada kemungkinan sembuh, tapi sangat kecil."

"Nah, bener banget. Itu kenapa sejak awal jangan biasain ngelakuin sesuatu yang gak baik. Kalau udah keterusan, kemungkinan bakal susah sembuhnya." Ten menimpali.

Miko dan Cherry sama-sama tersenyum mendengar diskusi kami. Entah apa yang mereka pikirkan, aku pun jadi penasaran sendiri.

"Kalau menurut kamu bagaimana, Cher?" tanyaku.

Cherry menoleh padaku kemudian berpikir sejenak sambil meletakkan tangannya di dagu.

"Ini kalau dilihat dari posisi si cewek. Dia pasti sayang banget sih ama cowoknya, sampai cowoknya selingkuh dia bingung harus gimana. Mungkin saat ini dia lagi mikirin banget masalah ini secara si cowok jalan sama sahabat si cewek. Kalau udah di posisi kayak gini, susah buat kasih nasehat atau saran yang relevan dan masuk akal ke dia. Nanti kalau dia udah terbuka pikiran dan hatinya, dia akan bisa menentukan sendiri apa dia mau bertahan atau melepaskan. Saat ini dia butuh sendiri. Dia butuh untuk mikir secara logis dan tenang."

"Jadi kesimpulannya?"

"Kenapa gak nyaranin dia buat pergi liburan. Ngabisin waktu buat dirinya sendiri dan mencari ketenangan. Sambil nanti dia bisa mempertimbangkan keputusan terbaiknya."

Miko, Mino, juga Ten sepertinya mengerti maksud Cherry. Ten yang bertugas mengirim balasan pun segera mengirim e-mail ke alamat yang sudah pelanggan itu sertakan si suratnya.

"Emang perempuan sering gitu, ya? Galau berkepanjangan sampai dia lupa bahwa ada hal yang lebih berharga dan berguna untuk dia lakukan," kata Miko.

"Perempuan memang cenderung menggunakan perasaan. Gue rasa lu pun tahu soal ini. Memang gak semua, tapi sebagian besar cenderung sering diberatkan sama perasaan. Seperti rasa takut kehilangan, rasa khawatir berlebih, hingga perasaan minder yang entah alasannya apa. Untuk perempuan yang terkadang terjebak dalam zona nyaman, untuk melepasnya pasti sulit. Jadi jangan heran kalau masih ada perempuan yang bertahan dalam toxic relationship padahal dia tahu dia disakiti dan dia sering dikecewakan. Orang-orang seperti itu, meskipun butuh waktu yang lama tapi pasti bisa menemukan jalannya sendiri. Dia akan sadar hingga akhirnya dia bisa berpikir jernih dan mengambil resiko dalam perjalanan hidupnya. Resiko yang gue bilang adalah keputusan dia bertahan atau meninggalkan. Yang pasti dua-duanya berat buat dia yang merasa sudah berada di zona nyaman dan harus mencari zona baru yang bahkan belum pernah ia pikirkan sebelumnya."

Ten menggelengkan kepalanya. Membuat Cherry entah kenapa jadi terkekeh ringan.

"Kenapa? Gak paham sama penjelasan gue?" tanya Cherry.

"Paham, Mbak. Cuma ribet aja gitu. Udah tau disakitin, eh milih bertahan dengan alasan nyaman. Kalau nyaman ya gak bakal ngerasa sakit, Mbak."

"Bukan nyaman dalam maksud itu, Ten. Ya mungkin itu memang sisi gak nyaman buat dia. Tapi siapa tau si cowok ini baik sama dia sebenernya, tapi si cowok juga punya kebiasaan buruk yang dampaknya buruk juga. Si cewek yang ngerasa 'kalau gak ada cowok ini gue sama siapa' itu kadang yang bikin berat buat ngelepasinnya. Orang kayak gini perlu waktu buat sadar. Dan yang bisa nyadarin dia yang lingkungan sekitarnya dan terutama dirinya sendiri."

"Jadi ini jawaban kita udah bener gini aja? Gue kirim loh," ucap Ten.

"Kirim aja," kataku. "Saat ini, jawaban itu udah paling netral. Nanti kalau dia pengen curhat, sekalian biar curhat langsung ke Miko atau Mino. Mereka berdua pakar yang tanpa celah."

Miko dan Mino lantas kompak menoleh padaku. Mereka berdecak dan menggelengkan kepala.

"Oke," ucap Ten yang kulihat kemudian menekan simbol 'kirim' di e-mail.

Satu surat sudah terjawab, dan masih ada surat-surat lain yang akan kami bahas malam ini. Mungkin tidak semua. Hanya beberapa sampai kami merasa cukup. Cherry harus segera pulang juga. Dan Ten perlu mengerjakan tugasnya. Sisa aku, Mino, dan Miko yang mungkin akan bertahan di kafe sampai esok pagi.

[]

[]

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Hearing CafeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang