...
"...jadi aktivitasmu terganggu dengan kehadiran Aaron ?" tanya dokter Imelda psikiater pribadi Freya.
"Bukan begitu, mel." Freya menyandarkan tubuhnya ke sofa.
"Aku sudah berhasil melupakan masalahku dengan Aaron. Hanya saja, traumaku tertrigger setiap kali mengingat perbuatannya."
"Aku kembali teringat dengan pria itu. Pengkhianatannya sama seperti yang dilakukan pria itu. Bekas luka dihatiku seolah-olah gak pernah sembuh. Kecewaku dan sakit itu selalu disana." Freya menutup matanya. Hatinya terasa pedih dan ingin menangis, namun tak setetespun air matanya jatuh.
Imelda mengernyit melihat Freya yang mulai menepuk-nepuk dadanya seraya mengatur nafas dengan susah payah.
Dia menarik kursi tempatnya duduk agar bisa mengamati Freya lebih dekat.
"Heii, buka matamu. Lihat aku."
Kemudian Freya berusaha mengumpulkan fokusnya lalu menatap imelda yang kini sudah berada di hadapannya.
"Atur nafasmu. Kau bisa melalui ini, Frey. Kau sudah pernah di fase ini sebelumnya. Kau pasti bisa. Tarik nafas dan buang segala cemasmu pelan-pelan. Kau bisa." Imelda mengusap lengan Freya dan terus meyakinkannya.
Setelah merasa lebih baik. Freya memperbaiki duduknya dan dia yakin untuk melanjutkan ceritanya.
"Pria itu kembali. Aku bertemu dengannya."
"Aaron?"
"Bukan. Tapi William.." Freya tampak ragu menceritakannya. Tapi dia tak bisa terus-terusan menghindar untuk tidak menyebut nama itu apalagi membahasnya.
Imelda selalu mengingatkan, apapun yang menjadi akar dari kecemasan itu harus disuarakan meski sulit untuk dibahasakan.
Tidak baik mengurung pikiran itu sendiri apalagi kalau itu menyakiti perasaanmu. Dan Imelda selalu mengerti waktu yang tepat untuk membujuk Freya agar mau mengutarakannya.
Freya pun menceritakan semua peristiwa yang memberatkan pikirannya belakangan ini. Mulai dari kehadiran Aaron dan William yang secara bersamaan seolah membawanya kembali ketitik terendah dalam hidupnya.
Bahkan hingga kejadian buruk tadi siang saat dirinya terjebak dengan si tua Bernard yang membuat traumanya tertrigger karena ketakutan. Freya juga menceritakan perlakuan William saat menolongnya yang malah membuatnya bingung karena ketakutan dan kecemasannya karam entah kemana.
Imelda berhenti menulis di agendanya.
"Jadi pria itu kembali." Imelda menutup pulpennya.
"Iya. Aku pun tak menyangka ternyata dia meniduri temanku juga, Claudia." Freya tertunduk.
Imelda diam sejenak, dia memilah-milah kata yang hendak dikatakannya agar tidak terkesan menjudge apalagi menyinggung pasien rawat jalannya ini.
"Aku mengerti. Tapi kuharap kau jangan tersinggung. Aku akan melemparkan pertanyaan ini padamu."
"Dibandingkan dengan menutup diri berbalutkan dendam, rasa marah dan kecewa selama bertahun-tahun. Tidakkah kau pernah berfikir untuk keluar dan terbang, Frey?"
"Maksudku, apapun alasan William pada masa itu, aku setuju dia salah. Tapi Freya, apa saat itu kau juga bersalah hingga harus menutup diri selama ini? Enggak kan? Lalu untuk apa kau menghukum dirimu, menyibukkan diri bekerja setiap hari seolah-olah kau orang yang paling butuh uang di dunia ini."
Freya mencoba mencerna setiap kata yang diucapkan Imelda, "aku tidak." Freya mengalihkan tatapannya.
Dia memandangi langit-langit karena sedikit malu karena tuduhan Imelda memang benar, dia setengah mati berusaha membuat dirinya tetap teralihkan selama ini. Rupanya Imelda tahu maksud dibalik kesibukannya yang seperti orang gila kerja yang nyaris tak punya waktu libur setiap tahun.
![](https://img.wattpad.com/cover/12605761-288-k47804.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
North With (out) South
RomanceKita ini adalah cerita yang tak pernah usai. Benci aku sekuatmu, lupakan aku sejauh mampumu. Tapi jika kau gagal, jika kau lelah, atau jika apapun. Pulanglah, cintai aku kembali. * "Pintar, cantik, kaya mentereng dan jangan lupa dengan sikap jutekny...