Bagian Empat

2.4K 499 149
                                    

•••

T A N A H  P I R A U

•••

Indira

Gue udah gregetan parah ketika berhadapan langsung sama RT setempat. Pertanyaan yang dilayangkan pria paruh baya yang tubuhnya mengeluarkan wangi khas tembakau itu sukses membuat seluruh tubuh gue merinding dibuatnya. Pengantin baru ya? Kira-kira rencana di sini lama atau enggak? Kalau niat menetap, saya bisa bantu bikinin Kartu Keluarga ke kecamatan. Yang mana selalu dijawab secara natural oleh Patih seakan-akan dia memang pengantin baru sungguhan.

"Kamu sering pura-pura punya istri gini, ya?"

Patih menggelengkan kepalanya ketika kita berdua sudah dalam perjalanan untuk kembali ke rumah. "Baru kali ini, makanya kikuk juga." Kikuk? Kikuk katanya? Selancar dan semenjiwai itu ... dibilang kikuk?!

"Biasanya nyamar jadi apa?" Gue tertinggal dua langkah di belakangnya. Gak tau kenapa, gue males bersebelahan sama dia karena ogah kegelian gara-gara inget kejadian barusan. Sayangnya, Patih tidak bersuara untuk memberikan tanggapan sampai gue harus bertanya ulang. "Kok gak dijawab?" desak gue.

Kakinya berhenti bergerak, dengan cepat ia memutar badannya sampai kita berdua saling berhadap-hadapan. Cahaya matahari yang menyorot ke arahnya membuat lelaki itu harus menggunakan sebelah tangan untuk menghalangi sinar tersebut mengenai wajahnya. Sial, kenapa adegannya jadi dramatis kayak gini?

"No comment," kirain mau nyeramahin gue seperti biasanya, ternyata dia repot-repot balik badan cuma buat menyampaikan dua kata menyebalkan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"No comment," kirain mau nyeramahin gue seperti biasanya, ternyata dia repot-repot balik badan cuma buat menyampaikan dua kata menyebalkan.

"Ih! Emang harus dirahasiakan serapat itu, ya? Kayaknya tingkat kerahasiaannya masuk ke kategori terbatas. Dan dalam hal ini, saya rekan kamu. Pertanyaan ini normal dan jawabannya pun bisa terbuka, kan?"

Ketika menurunkan tangannya, gue salah fokus sama luka yang masih berwarna merah itu. Jadi ngilu, itu dia beneran lepas borgol dengan cara paksa? Ekstrim juga. "Saya gak mau ngasih tau aja, kenapa emang?" Si songong ini benar-benar .... "Kita gak sedeket itu ya, jangan terlalu ngorek informasi pribadi saya. Saya juga gak pernah bertanya hal-hal seperti itu ke kamu, kan?" Ke ceweknya gini juga gak ya? Pengen gue ketawain kalo misal dia jadi bucin banget depan pawangnya.

"Meski bukan rahasia, seenggaknya buat saya itu termasuk privasi. Lagian, tingkat kredibilitas kamu di mata saya cuma 10%." Gue tertawa paksa, agak kecewa sekaligus kesal dengan penilaian yang diberikannya. Berkat ucapannya itu, gue jadi gak bisa berkata-kata dan tidak mampu membalas perkataannya. Padahal, makian, sumpah serapah, sampai pembelaan sudah mengantri minta dikeluarkan.

Wajar untuk gue mencurigainya sampai harus membekuknya. Wajar juga untuk gue mengenalkan diri sebagai bagian dari Intelkam seperti tempo hari. Toh gue tidak biasanya membongkar identitas dengan mudah juga. Gue tidak seceroboh itu. Radar gue terbilang bagus karena gue cukup mahir membedakan mana muka kriminal, mana juga muka orang yang tidak pernah memiliki rekam kejahatan.

TANAH PIRAUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang