•••
T A N A H P I R A U
•••
Indira
Stamina orang-orang ini beneran bukan candaan. Dari sejak datang ke rumah pada pukul satu pagi, mereka nggak istirahat dan lanjut membahas tugas. Gue sesekali hilang konsentrasi gara-gara ngantuk. Mau tidur serba salah, yakali gue ngorok di tengah-tengah obrolan mereka berempat? Meski kontribusi gue tidak begitu penting, gue tetap gak boleh menunjukkan sikap tidak profesional soalnya nanti makin dibully sama Patih.
"Kita mau subuhan berjamaah, kamu ikut, Ndi?" Mbak Cahaya ramah, ramah banget. Dia lebih tua tiga tahun dari gue. Meski begitu, gue sempat berpikiran kalau dia lebih muda. Mukanya nggak sesangar itu, terkesan mirip orang biasa yang tidak berasal dari latar belakang kemiliteran.
"Dia kayak Dimas, Ya." Patih memberitahu. Gue nggak melakukan yang lima waktu, KTP baru berisikan data palsu karena di KTP asli, gue seorang penganut Kristiani.
"Oh, maaf, saya nggak tau. Kalo gitu ngopi aja sama Dimas, kita gak lama, kok." Dia kelihatan nggak enak karena salah nebak. Gue sih udah biasa dikira muslim, soalnya kata orang muka gue sholeha banget. Dan karena hidup di lingkungan muslim juga, gue kadang suka keceplosan bilang Ya Allah, Istighfar, dan lain sebagainya.
Patih, Mbak Cahaya, serta Niko meninggalkan ruang tengah. Tersisa gue dan lelaki yang baru selesai menyeduh lima gelas kopi dari dapur. Para agen yang katanya pernah tergabung dalam sebuah tim bernama Krisan Putih ini memiliki karekter unik masing-masing. Kesan yang gue tangkap dari Mbak Cahaya itu periang, ramah, namun serius di saat yang bersamaan. Kalau Letda Dimas, dia ceria, humoris, dan cenderung kekanak-kanakan. Sementara lelaki yang merupakan bagian dari satuan cyber milik TNI itu ... gimana, ya? Terlalu pendiam, gak banyak omong, sehingga gue masih belum bisa banyak menyimpulkan.
"Mas Dimas agen rekrutan BIN juga?" Gue bertanya, niatnya untuk mengusir suasana sepi yang melanda. Laki-laki yang tampak kaget karena rasa panas dari air kopi yang diseruputnya itu uring-uringan sebentar sebelum memberikan jawaban.
"Astaga, panas. Padahal udah di Banten, masih aja belom kebal sama aer panas." Begitu kira-kira isi rutukannya. "Eh, gimana, Di? Bukan, saya bukan agen BIN. Saya mah anggota Denjaka. Yang BIN Mas Patih doang, kita-kita ini Intelijen Strategis sebetulnya."
Buset, Denjaka. Detasemen Jalamangkara. Pantes badannya berotot kayak si Thor.
"Ngomong-ngomong, gak usah panggil Mas. Dimas aja. Biar kayak seumuran gitu, akrab." Tukasnya. Padahal dia sama Patih itu cuma beda setahun, yang mana masih lebih tua daripada gue. "Gimana pengalaman kerja sama Mas Patih?" Ada senyum mengejek di wajahnya sekarang.
Gue menghela napas, "Baru empat hari, tapi kayak udah empat bulan. Emang gitu ya, Dim?"
Lelaki itu terkekeh, "Iya, emang nyebelin. Saya pas satu tim sama dia, tiap hari dibikin naik darah. Jangan berulah deh kalo sama Mas Patih mah, usahakan hindari keributan. Gak pernah kalah soalnya." Saat mengatakan kalimat terakhir, dia setengah berbisik karena tiga orang lainnya berurutan keluar dari dalam kamar.
"Gue denger semuanya ya," Patih nyelepet Dimas pake sarung yang baru dilepasnya. "Emang saya ngapain, hah? Nyebelin gimana? Kamu kali yang ngeselin duluan."
"Emang ngeselin, ngeganggu momen mulu. Untung sekarang mau nikah. Kalo enggak, pasti saya udah memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan karena kita satu tim lagi, Mas."
Patih kelihatan frustrasi, sementara Mbak Cahaya hanya mampu berdecak tatkala menyaksikan pertikaian tersebut. Niko juga, dia cuma geleng kepala dan duduk di lantai sambil memainkan dua laptop miliknya.
KAMU SEDANG MEMBACA
TANAH PIRAU
Fanfiction[Diadaptasi menjadi Audioseries oleh Noice x KaryaKarsa, dengarkan secara gratis hanya di aplikasi Noice] Sebelum masa jabatannya berakhir di tahun 2023, Dirgasatya Kalingga- Presiden Republik Indonesia bergerak untuk menguak aktor intelektual dibal...