𝐈𝐕- looking for herself

933 73 4
                                    

Ashlyn's POV

Aku memasukkan beberapa pakaian serba hitam ke dalam tas ranselku. Sebenarnya hampir semua pakaianku berwarna hitam, kecuali kaus kaki. Aku sangat tidak suka dengan kaus kaki berwarna atau gelap. Kupikir kaus kaki putih akan mudah terlihat kotor dan berarti mudah untuk dibersihkan. Terakhir, aku mengelus permukaan senapan hitamku yang kesat. Sebelum memasukkannya ke dalam. Kututup rapat ranselku setelah memastikan semuanya lengkap. Kurasa semua yang kubutuhkan sudah ada di dalam.

Kakiku melangkah menuju kaca tembus pandang. Dari tempat ini aku dapat melihat hampir seluruh isi kota. Melihat peradaban yang begitu maju sekaligus membingungkan. Mesin dan robot serba canggih, manusia yang semakin individualis melewati tiap sudut kota dengan tatapan tak bersimpati. Hiruk pikuk kehidupanku yang sangat tidak menarik untuk dinikmati. Aku merasa hanya tumbuh secara bilogis. Tumbuh dalam tubuh yang kosong. Terlihat pantulan diriku pada kaca tebal tembus pandang itu. Tergambar samar karena didominasi oleh ramainya pantulan realita. Aku sangat yakin ini sama sekali bukan tempatku.

Semua pekerja istana berkarakter layaknya robot. Menunggu perintah Loddy, melaksanakan dan begitu seterusnya. Kenapa mereka mau menjadi seperti itu? Kenapa mereka tidak memilih untuk memerintah diri mereka sendiri? Bahkan untuk tersenyum saja sangat sukar. Oh, aku mengerti. Mungkin mereka sudah tidak lagi memerlukan nurani? Kota besar dan canggih seperti ini terasa seperti kota mati bagiku. Orang-orang terlihat begitu sibuk, bekerja, menciptakan teknologi baru, seperti tidak ada waktu untuk sekadar "hidup." Aku yakin, acara circus festival yang diadakan lusa akan semakin sepi. Kuharap mereka tetap mengadakan itu tahun depan agar Grey bisa menepati janjinya.

Sejujurnya aku masih belum tahu bagaimana cara untuk keluar istana seorang diri. Aku hanya bisa keluar dengan Tris, dia semacam kartu akses untukku. Gerbang samping akan sangat sulit untuk ditembus, itu berarti semakin mustahil untuk keluar dari gerbang utama. Jam menunjukan pukul satu pagi dan pabrik akan buka tiga puluh menit lagi. Aku menggigit bibir bawahku sembari berpikir keras.

Author's POV

Mobil Tris melewati gerbang utama lebih pagi dari biasa. Gerbang tidak akan terbuka sebelum identittas Tris terdeteksi. Kaca mobil terbuka dan robot penjaga mendekat. Robot yang dilapisi besi dari atas hingga bawah memiliki sensor kuat pada bagian mata. Dan saat ini dia sedang mendeteksi kami.

"Selamat pagi. Nona muda Ashlyn Azekiel dan.."

Robot itu tidak kunjung bersuara. Melainkan bergerak lebih mendekat. Ashlyn berusaha untuk tidak terlihat tegang. Yang ia inginkan hanya cepat pergi dari istana.

"..panglima tiga, Tris Skyler."

Gerbang bergerak terbuka satu bagian. Memang gerbang utama jarang terbuka lebar karena istana sangat tertutup. Tapi, tiba-tiba gerbang lain ikut terbuka. Kini gerbang utama terbuka lebar. Mobil Tris melewati gerbang bersamaan dengan truk pengantar mesin. Ashlyn melirik sekilas kendaraan besar yang melewatinya. Tidak salah lagi, pasti itu mesin baru untuk laboratorium. Entah percobaan apa lagi yang akan dilakukan orang-orang 'jenius' itu.

"Aku ingin kau mengantarku ke pabrik kain, lalu lakukan seperti yang ku perintahkan. Mengerti?" tegas Ashlyn pada orang di sampingnya.

Anggukan Tris membuat Ashlyn sedikit bernafas lega. Tidak, belum lega. Ia memejamkan matanya sejenak, mengingat ini akan menjadi hari yang panjang. Ia terlalu lelah menjadi seseorang yang dituntut dan diatur. Tadi malam ia bicara pada diri sendiri untuk memastikan bahwa jalan yang dipilihnya bukan hanya sekadar dari amarah. Ada satu keyakinan dalam dirinya yang memuncak hingga sorot mata tidak lagi teralihkan untuk pilihan lain.

Ia tahu ini bukan ide buruk dan bukan yang terbaik. Sama sekali bukan terbaik. Otaknya sekelibat memeragakan Loddy ketika mengamuk. Ayahnya memang tidak pernah membentaknya sekali pun. Tapi apakah itu juga berlaku ketika ayahnya tahu ia pergi. Orang sekitarnya jelas akan terkena imbas. Terutama Tris..

"Sial."

Ashlyn menyumpahi isi kepalanya yang terkadang begitu kontras dengan keyakinannya.

"Apa peduliku dengan orang-orang peliharaan itu. Bahkan kalau mereka dibantai oleh Ayah pun aku tidak peduli." batinnya.

Ia meyakinkan dirinya lagi bahwa ini tidak akan sia-sia. Sebentar lagi ia bisa menjadi dirinya sendiri. satu-satunya janji yang akan ia tepati.

Mobil berhenti tepat di samping pabrik. Sudah terlihat beberapa truk yang akan meluncur ke masing-masing tujuan.

Ashlyn memutar badan untuk menghadap Tris, "kau bisa kembali, lakukan dengan cepat sebelum pukul tiga pagi."

Tris mengangguk sebelum menoleh ke arah Ashlyn. Gadis itu menepuk dua kali lengan kanan Tris. Ia keluar dan berlari mengendap masuk pabrik. Mobil Tris melewatinya sangat kencang dari belakang. Menyisakan angin yang menerpa rambut bagian belakangnya.
-
Ashlyn's POV

Kurasa tembok pembatas sudah dilewati baru saja. Aku bisa melihatnya dari lubang ventilasi kecil bagian depan kontainer. Cahaya matahari mulai bangun dan masuk melalui selah ventilasi lain. Aku bisa merasakan iris coklat mataku yang tersentuh halus oleh sinar matahari, membuatku sedikit menyipit.

Aku kembali duduk di antara dua kubus yang berisikan kain dan baju bekas. Meluruskan salah satu kakiku dan memeluk lutut kaki yang satunya. Daguku menempel di atas lutut yang kupeluk. Tidak ada posisi yang lebih nyaman dari ini. Di dalam sini sudah tidak begitu gelap. Tidak seperti pagi hitam tadi, saat matahari belum muncul. Setidaknya sekarang aku bisa melihat setiap sudut kontainer yang penuh dengan kubus.

Tadi hampir saja terlambat. Kalau saja aku datang lebih dari lima menit, bisa-bisa pintu kontainer sudah terkunci dan truk menuju distrik pembuangan sudah berangkat. Kalau kupikir lagi, tadi itu salah satu aksiku yang paling mengejutkan. Maksudku, bagi diriku sendiri. Belum pernah terbayang kalau aku bisa melakukan hal se-gila tadi.

"Energi yang aku sendiri tidak tahu berasal dari mana," ucapku sembari tertawa geli.

Aku tidak tahu sampai berapa lama perjalanan ini akan berlangsung. Mataku terasa sangat berat, kubus sampingku seperti siap untuk dibebani oleh tubuhku. Benar saja, tidak lama kepalaku bersandar di kubus kanan ini. Beberapa helai rambut yang tidak ikut terkuncir menutup samar setengah wajahku.

The Battle Land: GlorymoorTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang