Lenyapnya Ayah

6.2K 147 7
                                    

Terdengar suara gemerisik dari arah pepohonan. Angin malam menghembus. Dingin menusuk tulang. Di tengah gelapnya malam, terlihatlah seorang gadis berambut hitam keriting agak berantakan duduk di sebuah bangku reyot. Ia menggigil. Sweater hitamnya tak mampu menahan kehangatan bagi tubuhnya. Tangannya meremas-remas saputangan putih yang sudah lusuh. Ia terlihat cemas. Ia terus-terusan memandang jalanan gelap di depannya. Berharap seseorang datang. Dan terdengarlah langkah-langkah dari arah jalan gelap itu. Semakin lama semakin dekat. Dan muncullah seorang laki-laki bermata hijau kebiru-biruan mendekatinya. Ia juga tak kalah cemas dengan gadis ini.

 “Apa yang terjadi, Kath?” tanya cowok itu panik. Air mata bergulir dari mata gadis itu. Ia masih menggenggam saputangan lusuh itu.                                                                                   

“Mereka... Mereka berteriak di depan rumah. Aku melihat mereka menjeritkan mantra-mantra yang entah apa gunanya. Tahu-tahu saja rumah terbakar. Aku panik, aku segera menggendong Bento. Membawanya keluar. Aku lupa ayah masih di dalam. Aku bahkan tak menghalangi mereka masuk ke dalam rumah dan menghilang di telan api. Ketika aku mendengar rintihan seorang pria, aku baru menyadari ayah terperangkap di kamarnya. Aku kembali dan api hilang dalam sekejap. Begitupun dengan ayah, ia... ia...”                         

“Ia mati dalam waktu sekejap?” lanjut laki-laki itu duduk disebelah adiknya. “Ini bukan salahmu, Katherina. Mereka memang sudah mengejar ayah dari waktu yang lama. Tidakkah kau membaca di koran atau menonton televisi? Ayah memiliki rahasia. Rahasia keluarga Thompson yang paling berharga. Diwariskan secara turun-temurun”                 

Katherina mengerjap. Ia menatap kakaknya dalam-dalam. Kemudian, laki-laki itu bangun. Katherina mencegahnya, “Kau mau kemana, Jonathan? Ayah sudah dibawa ke rumah sakit untuk diotopsi”                                                                                                           

 Jonathan memandang adiknya seakan-akan ia gila. “Apa kau bercanda?! Otopsi? Kau pikir dokter akan tahu kenapa ayah meninggal? Kau pikir polisi akan tahu kenapa rumah ini tidak memiliki bekas bakaran sedikitpun? Kau pikir mereka mampu, Kath? Pikir sekali lagi. Mereka tidak mampu”          Katherina berdiri diam. Ia hanya memandangi Bento yang kini menggeliat dibawah kursinya. Angin malam berhembus lagi. Katherina duduk dan mengambil Bento. Ditariknya kucing itu ke pangkuannya dan meletakkan selimut tipis pada mereka berdua.            

“Mereka hanya menambah beban kita, Kath. Apakah kau tidak kunjung sadar? Kita itu berbeda. Kita tak butuh mereka! Ayo, sebaiknya kita segera pergi dari sini”

Jonathan menarik tangan adiknya. “Jangan lupakan kopermu, Kath” kata Jonathan menggenggam tangan kanan adiknya. Katherina buru-buru menarik kopernya dan memberikan kepada Jonathan. Bento digendongnya dengan tangan kirinya yang bebas. Mereka mulai berjalan menjauhi cahaya. Menuju tempat yang semakin gelap dan dingin.

“Mau kemana kita, Jo?” tanya Kath yang mulai kedinginan. Bento tertidur lelap dalam dekapannya. Jo hanya diam. Mereka tetap berjalan dan berjalan. Hingga tiba di pinggir jalan raya. Jalanan ini sepi. Namun, terkadang satu atau dua mobil melintas. Jo menarik tangan Kath lagi. Mereka menyebrangi jalan tersebut dan menyusurinya. Mereka tidak berhenti. Terus berjalan menyusuri jalan yang seperti tidak memiliki ujung.

Hingga terdengar gemericik air sungai. Jo berbelok ke arah suara air tersebut. Melewati ilalang dan perkebunan kecil milik penduduk. Dan terihatlah sebuah sungai yang tidak terlalu besar dengan air yang sebening kaca. Jo melepaskan genggamannya pada Kath dan mengambil air sungai tersebut kedalam sebuah botol. Dan meminum air tersebut.              

AeryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang