03. Something

8 1 0
                                    

Happy Reading
***

Selepas kejadian kemarin, Ameira meminta Edrea untuk menjelaskan tentang permasalahan yang sebenarnya terjadi antara kedua orangtuanya.

Edrea mulai menceritakan semuanya dari awal, Ameira menyimaknya dengan serius. Gadis itu perlahan menyenderkan tubuhnya pada sofa.

"Mereka gak mungkin pisah 'kan, Re." Ameira memandang Edrea penuh harap.

Edrea mengendikkan bahunya. "I don't know. Permasalahannya terlalu berbelit, Ra. Gue sengaja kasih tau lo soal ini supaya nantinya lo gak terlalu sakit denger penjelasan yang sebenarnya dari mereka."

"Penjelasan apalagi, Re?" tanya Ameira.

"Lupain, intinya apapun yang terjadi nanti gue dan keluarga gue selalu siap bantu lo."

Edrea merentangkan tangannya.

"Do u wanna hug?"

Ameira mengangguk, dia mendekat ke arah Edrea kemudian memeluknya erat.

"Thanks, Re."

***

Setelah pertemuannya dengan Edrea, Ameira harus kembali berlatih bersama Semesta untuk persiapan acara konser keduanya nanti.

"Mata kamu sembab, Ra. Ada apa?" tanya Semesta.

Ameira menggeleng. "Gak ada apa-apa cuman masalah keluarga."

"Itu artinya ada apa-apa, Raa. Kalau kamu mau kita bisa ganti jadwal latihan biar kamu tenang dulu," saran Semesta

"Gak perlu, Kak," tolak Ameira memaksakan tersenyum.

Semesta hanya mengangguk, dia mengambil biolanya begitupun dengan Ameira yang sudah duduk di kursi depan pianonya.

Mereka mulai mencoba memainkan lagu medley yang membuat keduanya semakin terhanyut ke dalam permainannya masing-masing.

Ameira yang sedari tadi gelisah pun kini perasaannya sudah mulai membaik. Dia sangat paham tentang dirinya sendiri dan dia tau apa yang sebenarnya dia butuhkan ketika dunianya sedang tidak baik-baik saja.

"Saya sudah rekam musik yang tadi kita mainkan," kata Semesta.

Ameira mengangguk. "Latihannya sudah selesai 'kan?" tanya Ameira memastikan.

Semesta mengangguk. "Kamu pulang sama siapa?"

"Aku mau pesen taksi, Kak."

"Saya antar saja."

Semesta menarik lengannya dan membawa gadis itu menuju tempat mobilnya terparkir.

"Gak ngerepotin, kak?"

Semesta menggeleng. "Masuk, Ra. Kebetulan ada yang mau saya bicarakan sama kamu," jawab Semesta.

Ameira masuk ke dalam mobil dengan tangan Semesta yang berada di atas kepala gadis itu untuk melindunginya.

Setelahnya, Semesta berjalan kembali menuju kursi pengemudi dan langsung masuk ke dalam.

Sepanjang perjalanan tidak ada obrolan antara keduanya hanya suara musik terdengar.

Ameira berdehem. "Tadi kakak bilang ada yang mau dibicarain sama aku. Soal apa, Kak?" tanya Ameira, membuka percakapan.

Semesta menoleh sebentar pada gadis itu kemudian kembali fokus menyetir.

"Ra, saya ngerasa kalau kita pernah kenal sebelumnya atau mungkin lebih dari sekedar kenal."

Ameira mengerutkan keningnya.

"Alasannya apa?" tanya Ameira lagi.

"Semenjak kenal kamu sampai sekarang perasaan saya ingin menjaga kamu semakin besar setiap harinya," jelas Semesta.

Semesta memberhentikan mobilnya sejenak, ia menatap manik mata Ameira penuh arti.

"Eh, maaf Ra kalau tadi saya lancang bicara sama kamu."

Sebenarnya, Ameira pun merasakan hal yang sama. Awalnya dia pikir kedekatannya dengan Semesta hanya karena keduanya sama-sama memiliki minat di bidang yang sama.

"It's okay, aku hargain perasaan kakak." Ameira tersenyum hangat pada lelaki itu.

Hening sejenak.

Tetap tak jadian.
Tidakkah cukup yang engkau lihat?
Pertemanan ini sungguh berat.
Tidakkah indah bila kita bersama?
Tapi tidak di mimpi saja.

Lagu dari radio itu membuat mereka saling melirik dengan rasa yang tak karuan keduanya sama-sama melempar senyuman. Iya, mereka salting.

***

Ameira sudah berada di depan gerbang rumahnya ia menunggu Semesta untuk pulang tetapi lelaki itu malah menyuruh untuk masuk duluan baru setelahnya ia bergegas pulang.

"Yaudah, aku masuk duluan ya, Kak. Hati-hati nyetirnya." Semesta mengangguki ucapan gadis itu.

Ameira membuka gerbang rumahnya dan masuk ke dalam rumahnya.

"Rai, saya rasa hubungan kita sudah tidak sehat dan sepertinya untuk diperbaiki juga akan sulit jika seperti ini."

Samar-samar ia mendengar suara sang ibu yang sedang berbicara kepada ayahnya.

Ameira langsung membuka pintu rumahnya.

"Kalian mau pisah?" tanyanya langsung.

Sontak orangtuanya terkejut dengan kehadiran sang anak yang tiba-tiba datang.

"Hah? Kamu ngomong apa, Rainy?" Karin, ibunya itu berusaha menetralkan wajahnya agar tidak terlihat panik.

Ameira terkekeh.

"Udahan ya mainnya, Bun, Yah. Rain juga capek lama-lama kalau dibohongin gini."

Rai, ayahnya mendekat ke arah sang putri yang kemudian diajak untuk duduk di ruangan tersebut.

"Rain, kami tidak membohongi kamu apapun."

"Kalian yakin?" Mereka mengangguk.

Ameira tersenyum tipis.

"Kalau gitu Rain cuman mau titip satu hal jangan terlalu lama ngebohongin seseorang dengan hal yang seharusnya dia tahu."

"Sesakit apapun kenyataan lebih baik diketahui sejak awal daripada terus ditutupi sampai akhir yang hanya akan menambah rasa sakit itu dengan kekecewaan."

Setelah mengatakannya Ameira beranjak pergi meninggalkan orang tuanya yang masih terdiam mendengar ucapan anaknya.

Di dalam kamar, Ameira merebahkan tubuhnya di atas kasur dengan tangan yang ia silangkan ke atas kepalanya.

"Tuhan adil, Ra. Setiap kesedihan pasti akan dihadiahi kebahagiaan setelahnya," gumamnya sembari memejamkan matanya.

***
From Love
-A2537

GARIS TAKDIRTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang