Siang yang terik. Asap knalpot para wali murid bercampur di halaman SMA/MA Nurul Furqon, menjadi pulusi udara. Semua siswa berbondong-bondong keluar. Ada yang menunggu jemputan, membeli makanan, ada pun yang sudah dijemput dan perjalanan pulang, pulang sendiri atau bersama teman menaiki motor, sampai berganti baju olahraga atau pramuka bagi para OSIS.
Seorang remaja bernama Neysa menunggu jemputan. Ia duduk di teras masjid seraya memainkan ponsel. Sedikit kesal karena udara jika sudah siang tidak lagi sehat. Ia sangat membenci polusi.
Beberapa menit kemudian, seorang lelaki membunyikan klakson mobil. Sangat berisik. Neysa merasa terganggu. Ia mencari mobil tersebut, agar lengkap jika ia ingin mengumpat. Seorang lelaki menatapnya datar. Ia mmeberi isyarat kepada Neysa agar memasuki mobilnya. Neysa menunjuk dirinya sendiri, bingung. Lelaki tersebut mendengus pelan, tanpa niatan menghentikan suara klakson. Neysa berjalan sebal seraya menutup kedua telinganya.
Neysa memperhatikan sebentar siapa yang menyopir. Ia membulatkan mata karena sama sekali tak mengenalinya.
"Elo nyuruh gue masuk?" tanya Neysa tak kunjung masuk. Ia malah mengetuk kaca mobil bagian tempat duduk lelaki tersebut. Kaca perlahan turun, menampakkan seorang lelaki berpakaian resmi dengan kaca hitam nangkring di atas hidungnya. Kulitnya putih, memiliki rahang tegas, bibir sedikit merah muda, sangat tampak wajahnya mulus tanpa jerawat secuil pun. Sekejap, Neysa terperangah melihat lelaki tampan. Emosinya meluap begitu saja.
"Kamu Arindia Neysa, bukan? Masuk!" ujarnya dingin, merusak khayalan dalam otak Neysa. Neysa masuk mobil bagian belakang dengan tatapan kembali dengan emosi terkumpul. Lelaki tersebut ingin protes, namun dicegah dengan gertakan Neysa. Mau tidak mau ia menjalankan mobil tanpa protes.
"Elo siapa, sih? Dari tadi gak jelas, tau nggak? Lo bunyiin klakson kayak gitu, berisik! Udah polusi udara, ditambah polusi suara. Bikin dongkol aja! Terus, kenapa lo yang jemput gue? Jangan-jangan lo penculik, ya? Ganteng gini kok penculik? Gaya doang, aslinya-"
"Bisa diam?" ujarnya dingin. Neysa mendengus kasar. Ia membanting tubuhnya ke kursi dengan wajah sangat kesal. Ia tak lagi berkomentar. Sangat tidak mungkin lelaki ini penculik karena menggunakan mobil keluarganya. Ia hafal plat nomor setiap mobil keluarganya.
"Kau lihat aku di sini menunggumu
Menanti akan kehadiran dirimu
Berkali-kali ku menghubungi kamu
Berharap kau dan aku cepat bertemu."Lelaki tersebut tiba-tiba bersenandung kecil. Suaranya sangat lembut, membuat Neysa terbawa suasana. Lambat laun, ia ikut menyanyi dengan suara tak kalah merdu.
"Jujur aku tak sanggup bila kau jauh
Terasa berat dan rasa ingin mengeluh
Rasa ini sungguh membuatku jatuh cinta padamu." Mereka berdua menyanyi bersama."Kau ciptakan lagu indah
Kau senyum semanis buah
Satu tapi pasti dan sangat berarti
Kau takkan terganti." Untuk yang ini, lelaki itu membiarkan Neysa menyanyi sendiri."Senyum dirimu membuatku terlalu bersemangat
Jalani hari-hariku dengan hebat
Ku tahu hidup tanpamu itu berat
Denganmu aku kuat.
Dengan begitu ku berhenti untuk terus mencari
Karena ku telah temukan pawang hati
Mengisi kesempurnaan hidup ini
Jangan kau pergi lagi, oh...."Mereka begitu menikmati duet dadakan itu. Tanpa sadar, lagu favorit satu sama lain adalah lagu yang sama, Merindukanmu karya Dash Uchia.
Lelaki tersebut tampak tersenyum, membuat Neysa bergidik. "Lo kenapa?"
Ia menggeleng seraya tersenyum. "Tak apa. Suaramu bagus," ujarnya tulus. Mungkin itu kalimat paling tulus untuknya?
Neysa memegangi dadanya. Detak jantungnya mendadak susah dikendalikan. Jantung, Jantung, please jangan bikin gue gila!
"Punya pacar?" Lelaki itu bertanya saat sampai di lampu merah. Nada bicaranya kembali datar.
"E-enggak. Punyanya mantan," jawab Neysa gelagapan. Sebisa mungkin ia bergaya normal. Jangan sampai lelaki ini percaya diri telah membuat jantungnya tidak normal.
Lelaki itu ber-oh ria, tanpa beban apa pun. Seperti tidak punya salah.
"Kenapa?" Neysa penasaran.
"Nggak papa."
***
Semalaman Neysa terus memikirkan lelaki yang menjemputnya tadi siang. Saat ia bertanya pada sang Ayah, kata ayah itu anak temannya. Katanya sopir sedang cuti karena ada masalah keluarga. Jika ia lupa kegarangan ayah, ia sudah protes dan berdebat panjang sampai ia ngambek.
Tugas matematika ia abaikan sejenak hanya untuk memikirkan lelaki meresahkan itu.
"Dia siapa, sih? Sumpah, otak gue gak normal lagi gara-gara dia," Neysa bergeming pelan. Ia merebahkan tubuhnya atas ranjang dengan tangan memegangi dadanya yang bergemuruh. Pesona lelaki tadi benar-benar kuat. Ia tak pernah seperti ini di kala masih pacaran dengan kedua mantannya, Nicho dan Yudi.
Tadi siang ada yang menembaknya sebagai pacar. Ia belum menjawab karena masih menikmati masa sendiri. Ia ingin fokus dengan teman-temannya yang lebih baik daripada berpacaran sampai melupakan para sahabatnya.
Sebuah ide terlintas di otak pintarnya. Sangat berbeda dengan otaknya yang pintar, justru memikirkan hal konyol. "Kalau dia ngelamar gue, gue auto terima!" Neysa berguling-guling atas ranjang kegirangan, layaknya orang gila.
Orang tua Neysa diam-diam mengintip putrinya. Awalnya ingin mengomel karena ia tak belajar, namun dibatalkan karena sepertinya rencana mereka berhasil. Mereka melakukan tos dan bersiap menuju rencana selanjutnya. Apa yang mereka rencanakan?
Sementara, Neysa mulai melakukan video call dengan ketiga sahabatnya, Ghea, Jevina, dan Liana. Orang tuanya pun pergi untuk kencan sendiri.
"Dia idaman gue banget!" curhatnya heboh. Ketiganya hanya bisa menggeleng. Mereka hafal bagaimana sifat Neysa saat jatuh cinta.
"Tapi lo nggak capek gandeng-putus terus?" tanya Ghea dengan nada jengah namun sorot mata khawatir.
"Iya. Gimana pun juga, lo sahabat kita. Kita tau kok, lo pasti tertekan dengan hidup lo yang kayak gini," lanjut Jevina perhatian.
"Tadi siang lo ditembak lagi sama cowok, loh. Lo mau nolak?" Liana mengingatkan kejadian tadi siang. "Mana nembaknya di tengah lapangan."
Ketiganya tertawa. Neysa hanya diam, tidak ikut tertawa. Ia memikirkan perkataan ketiga sahabatnya. Tetapi yang ia maksud bukan untuk pacaran, tetapi menikah. Ya, mendadak dia ingin menikah muda.
"Tapi maksud gue bukan buat pacaran. Gue pengen yang lebih serius. Gue pengen nikah sama dia, asalkan bukan duda," ujarnya tiba-tiba, menghentikan tawa ketiga sahabatnya.
"Lo mau nikah muda?" Ghea bertanya memastikan. Neysa mengangguk. Dalam persahabatan mereka, Ghea memang paling banyak bertanya. Dari hal yang sama sekali tidak bermanfaat, sampai sangat bermanfaat.
"Belum tentu dia mau jadi suami elo, 'kan?" Ghea melanjutkan pertanyaan. Neysa menghela napas.
"Iya, emang. Tapi gue cuma mikir kalau dia ngelamar gue, gue terima. Udah, itu aja. Mau dia ngelamar atau enggak, itu bukan urusan gue. Yang penting otak gue udah halu," jelas Neysa, mencoba membuat mereka mendukung keputusannya. Ketiganya mengangguk paham. "Kalau tentang Rehan, gue bakal nolak dia. Gue masih menikmati masa sendiri ini. Gue pengen fokus sama pertemanan kita."
"Yaaahh, so sweet! Walaupun lo yang paling aneh di antara kita, tapi kita sayang sama lo, kok. Kita nggak bakal biarin seseorang rebut lo dari kita dan bikin kita terpecah lagi," ungkap Jevina dengan senyuman tulus. Neysa tersenyum. Jevina bisa dibilang paling naif di antara mereka. Terkadang ia menanggapi dengan datar, tapi untuk kali ini, semua masukan sahabatnya sangat berguna, termasuk Jevina.
"Thanks, ya, Friends! I love you all!"[]
KAMU SEDANG MEMBACA
KITA [ZN]
RomanceKehidupan pasutri yang abstrak. Tidak penuh lika-liku yang berat, tetapi tetap saja ada masalah sebagai pewarna rumah tangga mereka. Zayyan dan Neysa