Selamat Membaca. ^-^
⚘⚘⚘
Dengan tergesa-gesa, Iris menghampiri seorang anak. Dia tadi melihat anak itu jatuh bersama sepedanya ke selokan. Iris langsung tergerak untuk menolong.
Anak itu merintih kesakitan saat berusaha naik. Bajunya basah kuyup. Beruntung selokan itu adalah saluran irigasi sehingga tidak begitu kotor. Hanya, sepertinya ada sedikit lecet di siku dan lututnya.
"Kamu tidak apa-apa?" tanya Iris setibanya.
"Hu-hu sakit ...," jawabnya sambil sesenggukan.
Iris menggaruk tengkuknya. Si anak malah menutup wajahnya dan menangis. Akhirnya, dia beriniatif untuk mengecek sendiri. Dia menemukan beberapa goresan di lengannya.
"Cup-cup, adik kecil, jangan menangis. Lukanya nanti bisa sembuh, kok."
"Hu-hu, sepedaku ...."
Iris melirik ke selokan. Ya, sepedanya masih berada di sana. Iris lantas menengok ke samping. Dilihatnya, Om Sabri baru memarkirkan motor.
"Om, sini!" panggilnya.
"Bagaimana, Ris?" Om Sabri gegas datang setelah memastikan motornya aman.
"Sepedanya, Om," kata Iris menunjuk ke selokan.
Om Sabri paham maksud Iris. Dia langsung turun untuk mengambilnya. Setelah berhasil diangkat, Om Sabri beralih ke anak itu.
"E ... de-de, ternyata Cika. Bagaimana kamu bisa sampai jatuh?"
Cika lantas mendongak. "Hu-hu, anjing. Gara-gara anjing."
Om Sabri menggeleng. "Eh, kenapa malah salahkan anjing? Kamu yang jatuh sendiri."
"Hu-hu, anjingnya bikin takut. Aku takut dikejar jadi balap, tapi malah jatuh, Om."
Iris mengernyitkan kening. Anak itu malah mendadak cerewet. Padahal, jawabannya singkat-singkat saat dia yang tanya. Iris mengakui bahwa dirinya masih asing.
"Eh, sudah-sudah, jangan cengeng. Begitu memang kalau naik sepeda, pasti jatuhnya ke bawah."
Cika menarik ingusnya. "Ish, Om ini malah bercanda."
"Ada yang sakit enggak?" tanya Om Sabri.
"Ini Om, lenganku lecet," jawab Cika, "lututku juga."
Om Sabri bertanya lagi, "Bisa jalan?"
Cika malah mencoba berjalan. Langkah pertama dan kedua masih aman. Langkah ketiga, Cika meringis. Lututnya ngilu.
"Om, bagaimana kalau kita anter Cika pulang?"
Cika langsung berseru, "Tapi sepedaku?"
"Itu biar aku yang bawa. Aku bisa naik sepeda, kok," balas Iris dengan senyuman yang meyakinkan.
"Oke, deh."
Om Sabri mengetuk kepala Cika. "Oke-oke aja, bilang terima kasih, dong!"
Iris terkekeh melihat tingkah omnya. Ternyata Om Sabri itu orangnya akrab dengan anak kecil. Sejak kemarin, Iris mengira omnya itu galak.
"Iya, iya, Om. Makasih, Kak ...," kata Cika tak selesai.
"Iris namanya, Cik."
"Oh, iya! Makasih Kak Iris."
Iris menjawab, "Sama-sama."
Tak membuang waktu lagi, Cika dituntun Om Sabri menuju motor. Sementara Iris mulai mengayuh sepeda. Dia yang memimpin jalan. Kata Om Sabri, rumah Cika berada tepat di sebelah kiri rumah Nenek. Jadi, dia tidak tahu tempatnya.
⚘⚘⚘
"Om bangga punya keponakan seperti Iris," kata Om Sabri menuju kios.
Iris tersenyum. "He-he, iya, Om. Iris juga senang punya Om yang ramah."
"Bundamu pasti senang punya anak seperti kamu. Suka menolong orang, baik yang dikenal maupun tidak."
Iris hanya tersenyum kecut. Dia berpikir apa pernah membuat bundanya bangga? Selama ini, Iris malah sering dimarahi karena kecerobohan yang dilakukannya.
"Kamu mau beli apa di kios?"
"Eh, iya, beli apa, ya?" Iris malah bertanya balik.
Om Sabri tertawa. "Bagaimana kamu ini, kok malah tanya balik?"
Iris merutuki diri yang pelupa. Dia mencoba mengingat. Ibundanya menyuruh apa. Setelah berusaha, Iris mengingat yang harus dibelinya.
"Aku udah ingat, Om."
"Apa itu?"
"Rahasia!" jawab Iris disambut tawa Om Sabri.
⚘⚘⚘
"Kenapa lama, Ris?"
Iris mengulum bibir. "Itu tadi ...."
"Habis nolongin Cika yang jatuh di selokan," sambung Om Sabri.
"Innalillahi," ucap Warda spontan. "Siapa itu Cika?"
Om Sabri menjawab, "Anak tetangga."
Warda membulatkan bibirnya. "Oh, keadaannya baik-baik saja?"
"Iya, Bun. Dia nggak apa-apa. Cuma lecet sedikit."
"Alhamdulillah." Warda mengelus dada. "Oh, iya, terima kasih, ya, Sayang."
"Sama-sama, Bun," jawab Iris. "Aku pamit ke kamar ya, Bun."
"Oke."
Iris buru-buru ke kamar. Dia baru teringat kalung neneknya. Sebelum lupa, dia mau memastikan kalung itu aman.
Barang pertama yang Iris periksa adalah tas rangsel jingga. Tangannya meraba-raba isinya. Dia tak menemukan kalung neneknya. Di tempat pensil pun tak ada.
"Duh, aku simpan di mana, ya?" Iris menggigit bibirnya. "Ayo, Ris. Masa kamu lupa, sih!"
"Iris," panggil Nenek Candang yang mendadak muncul di pintu.
Iris terkejut sampai jadi salah tingkah. "Eh, Nenek."
"Tadi Nenek sudah bilang ke ommu. Katanya, biar dia yang perbaiki saja."
"Anu, Nek. Kalungnya ...."
⚘⚘⚘
Publikasi: 18 April 2022, 10.16 WIB.
Salam manis sayang,
⚘Harni Aryana⚘
KAMU SEDANG MEMBACA
HUKUMAN BERHARGA [End]
Ficción GeneralRamadhan tahun ini, Iris lewatkan bersama keluarga besar dari ibunya. Iris sekeluarga mengunjungi Nenek Candang yang tinggal di Nabire. Iris sangat bahagia karena dia bisa berkunjung ke tanah Papua lagi. Akan tetapi, petaka hilangnya kalung Nenek me...