1. Hujan Di Balik Jendela

50 3 6
                                    

Catatan Tahun Baru, bulan Januari.

"Entah langkahku yang gegabah atau diriku yang selalu mereka pandang salah. Akhirnya, semua kejadian ini dapat memberikan pelajaran, setidaknya bagiku. Aku tidak berharap mereka menyadarinya, karena sejak awal pun mereka sudah menutup semua indra. Ah sudahlah, tidak apa, lagipula karena hal itu aku menemukan sisi lain dari diriku. Keberanian ini, luar biasa. Aina! Tetaplah menjadi dirimu yang terus berusaha untuk membaik dari masa ke masa"

-Aina Fath Muneera-

***

Telah lama musim berganti. Rintikan air yang jatuh dari langit seketika menghanyutkan pikiran manusia, kemudian menghadirkan memori masa lalu, berkelebatan antara kenangan manis juga pahit. Kata rindu yang tidak sempat tersampaikan pun bisa terurai begitu saja, terangkai menjadi sebuah kalimat puitis yang berbau romantis.

Begitulah hujan, walau turun ditengah perasaan bahagia namun dapat merubah perasaan seseorang. Aroma alami petrikor yang terhirup, memicu ingatan emosional, seolah dibawa kembali ke masa lalu. Begitupun dengan yang dirasakan seorang gadis yang tengah terbawa hanyut dalam masa lalunya. Tangannya tengah menyangga dagu, pandangannya lurus nampak seperti memandangi air hujan yang jatuh, namun pada kenyataannya ia tengah merasakan seluruh emosi dari kilasan balik masa lalunya. Sesekali bibir tipisnya tersenyum, namun detik kemudian kembali terkatup rapat.

"Here comes the rain again," gumam seseorang disebelahnya.

Gadis itu hanya menoleh lalu kembali menikmati kenangan lamanya.

"I'm done, Na. Yuk balik!" seru orang itu sembari membereskan tumpukan naskah dihadapannya.

"Duluan, aku mau pergi ke tempat lain dulu," tanggap gadis yang bernama Aina itu.

"I'm heading off now! I'll catch you later, bye!"

"Bye, Dy!" tanggapnya sambil melambaikan tangan.

Suasana di area touch down mulai lenggang, satu persatu rekan kerja yang tadi memenuhi area tersebut berpamitan pulang, hanya tersisa Aina yang masih terdiam di tempatnya. Ia terbiasa mendatangi area tersebut saat pekerjaannya mulai senggang, pasalnya area ini memiliki posisi yang pas untuk sekedar melepas penat sehingga menjadi tempat persinggahan para karyawan lain, walau sebenarnya area tersebut diperuntukkan bagi para konsultan lapangan yang biasanya hanya singgah sebentar di kantor. Berbeda dengan ruangan tempat Aina bekerja, sebagai seorang Sekretaris Pribadi Direktur dari sebuah perusahaan real estate kenamaan itu , ia terkurung di ruangan yang hanya menyuguhkan pintu berukuran besar tepat dihadapan mejanya.

Aina menggeliatkan badan, pandangannya menyapu keseluruh area itu. Sepi, pikirnya. Ia pun beranjak pergi menuju ruangannya.

"Nana!" seru seseorang.

"Loh, Pak Beryl?" tanggapnya bingung, "Ko sudah pulang, Pak? Acaranya kan baru selesai nanti pukul 21.00" tambahnya lagi.

Beryl tertawa pelan, "Tidak, saya tidak jadi ikut sampai selesai," jawabnya santai, "Oh ya! Kamu bisa ikut saya? Atau ada acara?"

"Nothing. Memangnya Bapak mau pergi kemana?" tanyanya balik.

"Ritz Carlton. Kalau memang tidak acara, ayo kita berangkat" ujarnya sambil berjalan mendahului sekretarisnya itu. "Aina, kalau kamu tidak keberatan, bisa kita mampir ke J.Houston dulu?" tanyanya kemudian.

Tanpa bertanya apapun Aina mengangguk setuju. Ia terus berjalan mengikuti Beryl. Selama di dalam mobil pun ia tidak banyak bertanya, ia lebih tertarik menikmati pemandangan jalanan yang basah setelah diguyur hujan hingga ia tidak menyadari jika atasannya tengah memacu mobil dengan cepat.

Organisasiku bukanlah RumahkuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang