"Jadi, Apakah Salah Saya?"

11 2 0
                                    

"Jadi semua ini, apakah salah saya?" Dalam benaknya. Sepulang sekolah, Ani diseret ke belakang halaman sekolah oleh sekelompok temannya. Kehadirannya sebagai murid baru dipandang sebagai kutu kelas yang layak ditindas, bahkan setelah setengah tahun kepindahannya. Ani bagai samsak oleh teman-temannya. "Dasar tikus Bau!" atau "Hei anak Babi! Kemana orang tuamu pergi?!" ocehan dan tawaan teman-temannya itu sudah seperti makanan hari-harinya di sekolah.

Sekalipun, ia tidak pernah melawan. Sulit baginya untuk mengutarakan perasaan. Sebagai anak yang ditinggal mati oleh kedua orang tuanya. Ia sukar merasakan, menerima, dan memberi emosi kepada sesamanya. Ditambah hidup dengan pamannya yang pemabuk dan suka pukul, membuat dirinya seakan bisa mentolerir kebiasaan buruk manusia ini.

Seakan buta, guru-guru di sekolahannya pun enggan menolong gadis malang ini. Bahkan teman, tidak, ia tidak mempunyai teman. Tetapi satu orang pun di kelas tidak ada yang berinisiatif, yang manusia biasanya sebut "menolong." Hanya diam, itulah yang dilakukan gadis ini saat ditindas manusia jahat lain.

Lalu, "salah siapa?" Kerap kali pikiran abstraknya menjurus ke pertanyaan ini. Suatu hal yang tidak sepatutnya berada pada pikiran gadis yang bahkan belum pubertas. "Tidak ada yang patut untuk disalahkan." Jawaban sisi lain pikirannya. Ani tidak pernah berbicara, sekalipun berbicara hanya sebatas bergumam. Sampai-sampai orang-orang pikir kalau gadis ini bisu. Agama? Apa yang Anda harapkan dari seorang gadis yang dirawat oleh paman yang pemabuk? Namun begitu, ia masih hidup. Apakah patut dibanggakan? Kenapa Saya masih hidup? Apakah sepatutnya Saya bersyukur?

Suatu hari, ada bazar buku murah di Balai Desa. Ia sempatkan untuk berkunjung. Satu buku menarik perhatiannya. "Surga dan Neraka." Judul yang tertampang besar dan jelas dengan cover buku berwarna polos yang menyertainya. Ia membawa lari bukunya. Ya, dia tidak ada uang dan memilih untuk mencuri dibanding menerima pukulan dari pamannya karena meminta uang.

Jembatan di dekat perempatan kecil di desanya adalah rumah keduanya. Tempat ia menghabiskan waktu dan membuang rata-rata jam di kehidupannya. Dia memulai membacanya. Dengan pelan membaca dan memahami setiap kata dan kalimat yang buku itu coba komunikasikan. paragraf per paragraf dibacanya, tetapi ia tidak mengerti apapun tentangnya.

"Kenapa?" Pikirnya. "Kenapa Saya tidak bisa memahami buku ini?" Ia bingung. Membuka dan menutup buku itu berulang kali. Tuhan, adalah secuil kata yang ia lihat berkali-kali di buku itu. Berbagai pertanyaan muncul di benaknya. Apakah Tuhan dapat mengajakku berlari pergi dari tempat ini? Apa itu Tuhan? Siapa Dia? Apakah Dia jahat? Ataukah Dia baik?

"Ataukah Dia adalah tempat untuk disalahkan?"

Malam tiba. Waktu yang paling disukainya. saat jangkrik mulai mengerik, hembusan dingin angin, dan wangi malam yang menemaninya di bawah bintang di pinggir jembatan adalah hal yang paling disukainya. Tidak ada yang lebih membuatnya bahagia saat malam tiba. Tidak pernah gagal untuk membuatnya tinggal, adalah emosi yang hanya dapat ia pahami dan terima.

Tentu esoknya ia bersekolah, tentu ia ditindas. Tetap ia tidak peduli. Emosi manusia adalah hal yang mungkin tidak bakal pernah ia pahami. Rasa lega setelah menindas, rasa gembira dengan sesamanya setelah menginjak-injak sesama yang lain.

"Kenapa?" Tanyanya dalam benak. Ia mencoba membaca lagi buku yang ia curi kemarin. "Setan adalah makhluk yang membisikkan pikiran-pikiran buruk ke telinga manusia, saat imannya tidak kuat, manusia itu akan terhasut oleh setan." Salah satu kutipan dari buku itu.

"Tuhan adalah Maha Adil, manusia yang jahat akan mendapatkan balasan neraka, begitu juga sebaliknya." Frasa lain di buku tersebut. Jadi apakah Saya orang baik, atau jahat? Apakah Saya akan masuk neraka? Atau surga? Apakah Saya ingin mati?

Malam tiba. Senyuman dari gadis polos yang pucat itu serasa memantulkan cahaya dari bintang yang terang di malam hari itu. Tetapi ia kelaparan. Senyumannya tidak dapat menipu perutnya kalau ia lapar. Salah satu kedai makanan di kampung sebelah terkenal akan kelezatannya. Ia berkunjung. Dengan mencoba berkomunikasi dengan bahasa isyarat, pemilik kedai mengerti, ia langsung menyiapkan makanan untuk gadis lusuh pucat itu. Setelah kantong makanannya teraih tangan Ani, ia berlari pergi dari kedai itu secepat mungkin. Tentu ia dikejar. Tetapi seperti biasa, ia lolos.

Kembali lagi di jembatan, Ia memakan makanannya dengan lahap. Tidak ada seorang pun yang mengganggunya. Ditemani dengan bukunya disampingnya, ia merasa kalau ia tidak pernah merasakan emosi ini. Emosi baru yang baru saja dirasakannya. Bahagia. Ya, dalam hidupnya yang menyedihkan, ia sempat berbahagia, bersorak atas makanan curiannya malam ini.

Haus, tetapi ia tidak mempunyai minuman. Genangan air di kubangan samping jembatan adalah penyembuh kehausannya. Dan ya, ia masih sempat bersyukur atas air yang diberikan kepadanya.

Besok adalah hari libur, jadi ia begadang malam ini. Membaca bukunya tentu. Ditengah kehidupanya yang acak kadul, ia merenung membaca buku itu. Mencoba mengerti tentang Akhirat. "Surga adalah tempat bagi orang-orang baik. Di tempat ini, penghuninya akan hidup abadi bersama Tuhan dan segala permintaanya akan dikabulkan," "Setelah kematian Anda, Anda akan dituntun menuju tempat Penimbangan. Disini Anda akan ditimbang amalnya supaya bisa ditentukan Anda adalah penghuni Surga atau Neraka."

"Bagaimana caranya mati?" Pikirnya. Sekali lagi, pikiran-pikiran yang seharusnya tidak muncul di kepala seseorang yang tidak seharusnya.

Sekarang tengah malam. Gadis itu mencari bambu. Kebetulan di pinggir sungai ada beberapa bambu kecil yang terlihat mudah untuk dipotong. Tanpa penerangan, ia memotongnya dengan tangan. Setelah mendapat satu bambu, ia datang ke mulut sungai. Ia tancapkan bambu itu ke tanah. Mencoba mengukir namanya secara vertikal di bambu itu menggunakan batu seadanya. Lalu ia kembali lagi ke atas jembatan. Sekali lagi Ani membaca buku curiannya itu.

Ia tersenyum. Kali ini senyumannya lebih terang daripada bintang yang bersinar di langit, dan lebih jernih daripada bulan yang menyinari bumi. Tidak ada seorangpun yang bisa menyaingi seri senyum wajah gadis itu. Seakan malam rela meredup demi membantu senyum wajahnya bersinar di kegelapan malam. Seakan semesta rela berhenti untuk melihat sinar wajah gadis itu. Tidak ada kebohongan di senyuman gadis itu. Matanya yang menutup seiring dengan senyumnya seakan membuat bunga terenyuh.

"Tuhan, Saya ingin bertemu. Semoga Saya adalah orang baik yang bisa masuk surga supaya saya bisa hidup senang selamanya!" Ucapnya bersamaan dengan dia yang menjatuhkan dirinya ke sungai.

Dingin, adalah hal pertama yang dirasakannya sesaat setelah badan mungilnya menyentuh air sungai itu. Ia masih menutup matanya. Tetapi, semakin lama, hangat tiba. Seakan hangat hadir untuk mengalahkan dingin. Seakan air sungai memahaminya, dan mencoba memeluk tubuh gadis kecil itu.

Telinganya tidak mendengar apa-apa. Hanya suara tenang air yang menggema. Tidak ada rasa kesakitan. Tidak ada beban. Tidak ada masalah. Tidak ada rundungan. Tidak ada pukulan. Tidak ada kebohongan. Tidak ada apa. Hanya emosi lega bersamanya. Perasaan lega yang dibarengi dengan kegelapan pekat di matanya.

Waktu berlalu, ia membuka matanya. Di depannya ada bambu dengan ukiran namanya. Langit sekarang mendung. Banyak kabut di sekeliling. Matanya tertuju ke jembatan. Dia melihat dirinya. Dengan segera ia pergi dari mulut sungai, dan menghampiri orang itu.

Dia menatap orang itu. "Perkenalkan, Saya Ani!" Dia memperkenalkan diri dengan polosnya sambil menjulurkan tangannya. Orang itu menjawab jabatan tangan Ani dengan senyum manis lebar di wajahnya. Mereka bergandengan tangan, pergi dari jembatan itu. Bersama dengan Ani yang bercerita ngalor ngidul tentang kehidupannya, orang itu hanya mendengar sambil tersenyum mendengar cerita Ani. Mereka pun menghilang di kegelapan malam.

Jadi, Apakah Salah Saya?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang