1

5.3K 529 207
                                    

Pagi itu, suasana rumah tak serusuh biasanya, mungkin karena anak tengah yang biasa membuat kerusuhan kini belum juga menampakkan diri. Sejujurnya terlalu pagi untuk remaja-remaja itu bangun. Renjun, ibu dari tiga orang anak itu sibuk berkutat dengan bahan-bahan makanan. Menyiapkan setidaknya empat porsi sarapan pagi ini.

Hingga sepasang lengan melingkari tubuhnya. Bersemayam pada perutnya dengan usapan-usapannya yang halus. Sang ibu terbuai, hangatnya terasa hingga ulu hati. "Pagi, Ma," sapa sosok itu dengan suara yang sedikit rendah.

"Pagi, sayang." Renjun berbalik, menatap netra sipit yang juga menatapnya begitu lembut. Jemari lentiknya tergerak untuk merapikan rambut anak itu. Mengikat dasi yang masih menggantung begitu saja dileher si sulung. "Saudaramu mana?" tanyanya.

Jeno, putra kembar Renjun dan Jaehyun yang lahir paling awal. Anak tujuh belas tahun itu kini tumbuh dengan baik, menjadi remaja tampan dengan perawakan tegapnya. Renjun akui, bahwa Jenolah yang memiliki rupa paling mirip dengan ayahnya.

"Masih dikamar sepertinya. Tadi aku lihat Eric sedang sibuk mencari dasinya," balas anak itu. Tubuhnya kembali mundur sesaat setelah sang ibu selesai membantunya memasang dasi. "Harusnya Mama tidak perlu repot-repot memasak, Mama baru sembuh." Dengan perhatiannya anak itu berujar demikian.

"Kalian akan makan apa kalau Mama tidak memasak?"

"Makan dikantin sekolah."

"Mama tidak akan tenang jika itu terjadi terus-menerus. Sudah sana, tunggu dimeja makan. Makanannya sebentar lagi jadi," usir Renjun. Ibu yang tengah berbadan dua itu kembali melanjutkan pekerjaannya. Menghalau mual yang akhir-akhir ini menderanya begitu hebat. Harusnya di trimester awal ia merasakan morning sickness, tetapi siklusnya kali ini berbeda. Menginjak usia kandungan lima bulan ia baru merasakannya.

Anak itu menurut, duduk seraya mengawasi pergerakan ibunya. Tubuh ramping dengan perut menonjol tak urung membuatnya tak tega untuk terus merepotkan. "Dia tidak pulang lagi, ya?" Mulutnya bertanya menghentikan pergerakan Renjun.

"Tidak, mungkin kantornya sedang sibuk, jadi harus stay disana sampai urusan selesai." Renjun berbalik untuk sejenak guna memandang putranya. "Dan tolong sayang, berhenti memanggilnya dengan sebutan 'dia', kau tahu kan bahwa itu tidak sopan? Ayahmu akan marah jika mendengarnya," katanya.

"Iya, maaf."

Jeno bukan lagi anak kecil yang akan percaya begitu saja pada ucapan itu. Jelas-jelas dirinya merasakan kejanggalan perihal hubungan orang tuanya yang merenggang beberapa bulan terakhir. Pria berwibawa dengan segudang sifat hangat yang perlahan memudar, hanya sedikit eksistensi kehangatan itu dapat dirasakannya. Ia memang masih ayah yang penuh perhatian terhadap anak-anaknya yang beranjak remaja. Tetapi perhatian untuk sang ibu hanya sedikit tercurah.

Jika biasanya Jeno maupun adik kembarnya yang lain sering kali memergoki ayah dan ibunya bertingkah seperti anak muda baru mengenal cinta, kini pemandangan itu tak lagi tertangkap mata. Bukan sebab tak ada waktu, tetapi seolah ada jarak yang perlahan dibangun diantara keduanya. Semakin lama semakin tinggi dan tidak terpecahkan. Dindingnya terlalu kuat untuk ditembus tiga bocah seperti mereka.

"Mama, bisa tolong pasangkan dasi milikku?" pinta Jaeyun yang datang seraya menenteng dasi dan tas miliknya.

"Sebentar ya, Mama bawa ini dulu ke meja. Kau tunggu dulu bersama Kakak," balas Renjun. Ia membawa menu sarapan pagi itu untuk dihidangkan di atas meja makan. Dibantu Jeno yang sigap, juga Eric yang baru menampakkan batang hidungnya pagi ini.

"Pagi, Ma," sapa si anak tengah.

"Pagi, jagoan." Renjun mengusap pundak putranya itu sekilas. Lantas menyuruh ketiganya duduk ditempat masing-masing.

What If | JaeRenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang