— 𝐀 𝐌𝐞𝐝𝐢𝐜𝐢𝐧𝐞 𝐟𝐨𝐫 𝐭𝐡𝐞 𝐁𝐫𝐨𝐤𝐞𝐧 𝐎𝐧𝐞 —
𑁍𑁍𑁍
Jika dikalkulasikan dalam tiga puluh menit penuh, barangkali ini adalah kali kedelapan ia mengembuskan napas gusar, menatap dengan kerjapan lembut pada kanvas langit yang tampak seringan kapas sebab gugusan bintang cemerlangnya tengah mencari tempat persembunyian di balik gulungan awan yang berarak pelan. Mengeratkan sweater rajut yang tengah dikenakan, Sarah bisa merasakan bagaimana semilir angin musim gugur berembus merobek lapisan epidermis, sukses buat tubuh ringkihnya gemetar di balik gemeletuk gigi yang saling bertubruk.
Namun di sana, seolah serabut akar telah tumbuh di balik punggungnya yang bersandar di tembok bebatuan, Sarah hanya mampu menggeleng lemah tatkala Harry mengulurkan tangan dan mengajaknya untuk kembali menuju asrama.
Sejemang pemuda itu ragu, tampak menimang-nimang sebuah keputusan sebelum mengangguk mengizinkan. Jika saja pemilihan kiper gim Quidditch terbaru bisa ditunda, barangkali ia akan tetap menemani Sarah hingga pagi menjelang, melakukan banyak hal seru secara bersama-sama dengan tawa renyah yang mengudara tanpa secuil rasa takut untuk melanggar puluhan aturan sekolah sekaligus. Jadi, memberi seulas senyum tipis dan tepukan halus di bahu si gadis, Harry beranjak dari posisi dan melangkah menembus kegelapan.
"Eum, Harry?" panggil Sarah pelan. "Boleh aku pinjam jubah tembus pandang milikmu?"
Pemuda itu menoleh, mengangkat bahunya ringan dan memberikan benda yang dimaksud tanpa ragu. "Pakailah, ini akan membuatmu jauh lebih aman."
Mengucapkan kata terima kasih yang dibalas dengan anggukan, kini presensi Harry benar-benar menghilang ditelan persimpangan. Sarah menegakkan punggung, mengembuskan napas—lagi, dan meraih gumpalan perkamen bekas yang nyaris berai dari dalam saku sweater cokelatnya. Mungkin benar apa yang pepatah katakan mengenai janji adalah utang, dan nyatanya, di sinilah Sarah sekarang, di belakang sekolah dan berkawankan kesunyian, berniat menagih hal tersebut di percobaan kedua kendati kecil kemungkinan pemuda itu akan datang.
Barangkali, dirinya saja yang terlalu banyak menempatkan harapan. Barangkali, dirinya saja yang belum menyadari kalau Draco hanyalah satu dari beratus ribu kicauan omong kosong. Akan tetapi, semuanya jelas sudah terlambat. Sarah harus menelan mentah pil pahit kekecewaan itu sekali lagi, menimbunnya jauh di dasar nadi sebab Draco tidak akan pernah memenuhi janjinya, tidak di saat malam kian menanjak dan ia telah kehilangan semua asanya.
"Cunningham? Itu kau?"
Sebuah suara serak menyambar dari arah belakang, terdengar familier sebab pagi kemarin mereka sempat bertukar sepatah-dua patah kata. Derap langkahnya menggema di sepanjang jalur kayu yang menghantarkan langsung pada gadis yang terpekur bersama nyanyian hewan noktural.
Merasa namanya diseru, Sarah segera mendongak, mendapati sosok pemuda bersurai pirang yang sejak beberapa jam silam merasuk ke dalam pikiran tahu-tahu saja sudah berdiri di hadapan. Dengan satu alis yang terangkat, Draco menukas asal, sekenanya, tidak berbobot, "Woah, sendirian saja? Jangan bilang kau sedang putus cinta?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Twisted Fate
Fanfiction[ON GOING] Kala itu langit tampak seperti daun kastanye, sementara tanahnya basah bersama harum petrikor. Derap langkah kaki yang menuju menara tertinggi bersama bahara di tepian pundak, tentu bukanlah suatu kebetulan, sebab mereka telah ditakdirkan...