10. Jatuh Cinta

417 3 0
                                    

Siang itu semuanya kembali berjalan dengan ‘normal’. Adam tetap menjadi pribadinya yang angkuh nan dingin setelah dia lepas dari pengaruh alkohol yang sempat menguasainya. Pria itu bahkan sama sekali tak menyadari insiden yang telah terjadi tadi malam. Tidak dengan ucapannya. Tidak juga dengan sikap manisnya pada Angelina.

Pengakuan yang seketika mengejutkan wanita itu pun langsung Adam lupakan dalam sekejap selepas sepasang iris abu-abu yang memikat miliknya lagi-lagi terfokus pada lembaran dokumen yang menggunung di atas meja kerjanya. Ada beberapa berkas yang harus ditandatangani, ada sejumlah rapat penting, ada begitu banyak hal lain yang langsung menyita seluruh perhatiannya dari kejadian semalam.

Adam memang dikenal sebagai penggila kerja. Dia akan berkutat dengan urusan perusahaan sampai melupakan waktu, melupakan dirinya sendiri, melupakan Angelina yang terkurung di kediaman megahnya. Sementara jam terus berdetak menunjukkan suasana sore yang mulai bergulir di kaki langit. Dia berhenti sejenak setelah Samuel masuk dan mengingatkannya untuk mengambil jeda agar dapat beristirahat.

“Kupikir waktu berjalan lebih cepat dari biasanya,” komentar Adam yang menyugar rambutnya dengan jemari sambil memandang ke arah Samuel.

“Anda harus meluangkan waktu untuk memperhatikan diri Anda, Tuan Ford. Melewatkan makan siang selama berkali-kali itu bukan sesuatu yang baik,” tegur Samuel yang membetulkan letak kacamata minusnya yang melorot ke pangkal hidung.

“Aku akan menggabungnya sekalian di makan malam saja. Aku terbiasa dengan cara itu.”

“Menjaga diri juga penting, Tuan Ford.”

Adam menerbitkan seringai lebar di sudut bibirnya—dia merasa geli, “Aku tahu itu. Pulanglah, tetapi sebelum kembali ke rumah pastikan kau mengantar agenda yang sudah dijadwalkan ke divisi empat.”

“Baiklah, Tuan Ford. Apa ada hal lain yang harus kukerjakan?”

Adam mendongakkan kepalanya pada Samuel—tatapannya ragu-ragu, lantas berujar, “Apa kau punya kekasih sekarang?”

Samuel berusaha untuk menahan kedua alisnya menyatu. Namun, dia gagal. Ekspresi wajahnya yang semula bingung sebab sang atasan yang selalu cuek pada orang lain justru mendadak bertanya mengenai hubungan romansa si asisten, kini berubah menjadi datar seperti sebelumnya.

“Maksudku, apa kau pernah jatuh cinta?” koreksi Adam yang lagi-lagi berhasil membuat guratan lain timbul di kening pria itu.

“Ya, Tuan Ford. Aku pernah mengalaminya dua kali.”

“Dua kali? Aku tidak menyangka kau pria yang berpengalaman.”

“Berdasarkan sebuah riset yang pernah kubaca di situs website, setiap orang akan merasakan jatuh cinta paling tidak satu kali dalam hidupnya, Tuan Ford.”

Adam menaikkan satu alisnya ke atas dan mendengus, “Ha. Benarkah? Kau juga pandai dalam teori.”

“Apa ada sesuatu yang terjadi pada Anda?” korek Samuel yang spontan mengendus perilaku berbeda dari Adam.

“Tidak juga. Maksudku, aku baik-baik saja. Hanya...”

Adam enggan melanjutkan. Dia menghela napas dan menghempaskan punggungnya ke sandaran kursi. Pikirannya kembali mengingat wajah Angelina serta menggali perasaan ganjil yang bersemayam di dadanya, seolah-olah wanita itu telah memantrainya dengan ilmu sihir.

“Apa Anda sedang jatuh cinta?” tebak Samuel yang sontak membuat Adam menegakkan posisi tubuhnya.

“Jangan konyol, Sam! Cinta bukan untuk orang sempurna sepertiku,” seloroh Adam yang membanggakan dirinya sendiri.

Samuel kemudian berdeham-deham membersihkan tenggorokan sebelum menyahut, “Cinta akan dirasakan oleh semua orang, Tuan Ford. Entah makhluk itu sempurna atau tidak.”

“Kau membuatku tercengang dengan keahlianmu menjalin hubungan pada lawan jenis.”

“Anda harus jatuh cinta agar punya kemampuan seperti saya.”

Adam menggaruk ujung hidungnya, lantas berkata, “Beritahukan padaku rasanya.”

“Rasanya?”

“Ya. Bagaimana rasanya seseorang jatuh cinta? Aku sering mendengar mereka akan jadi tolol dan jarang menggunakan akal sehatnya.”

Samuel mengulum senyumnya dan mengangguk, “Kadang-kadang manusia akan berubah seperti idiot demi mendapatkannya, tetapi hasilnya sepadan. Bukankah nilai perjuangan itu juga jadi seimbang?”

“Well, aku terkesan padamu. Kau cukup bijak,” puji Adam yang memainkan bolpoinnya—menggoyang-goyang ujungnya ke kiri dan kanan—dalam tempo cepat.

Samuel hanya menanggapinya dengan senyum, kemudian pamit undur diri selepas Adam menyuruhnya untuk segera pulang dan mengakhiri obrolan mereka. Setelah asistennya pergi, Adam pun bangkit dari tempatnya. Dia berdiri di dekat jendela tanpa sekat yang ukurannya memanjang hingga mencapai area langit-langit. Pandangannya otomatis tertuju ke arah panorama yang membingkai sebagian kota dari lokasinya berada sekarang.

“Apa aku memang jatuh cinta pada wanita itu? Jika benar, maka itu sama saja dengan aku mencelakai diriku sendiri,” bisik Adam sambil menyipitkan mata ke corak oranye yang mencair di antara jejeran bangunan tinggi di ujung sana.

Godaan untuk mengetahui kabar Angelina terbit selepas adegan wanita itu mengerang justru menjejali benaknya. Dia merogoh telepon selulernya dari saku celana dan melakukan panggilan. Sahutan terdengar di dering kedua, kepala pelayan di kediamannya mengangkat—melaporkan segenap kegiatan yang dikerjakan Angelina sepanjang hari—lengkap tanpa kecuali.

“Minta dia untuk bersiap-siap dan mengenakan gaun yang indah,” perintah Adam yang merencanakan ide acara makan malam secara tiba-tiba di kepalanya.

“Baik, Tuan Ford.”

“Pastikan dia memilih navy atau hitam, Gerald. Aku ingin melihatnya memakai pakaian berwarna gelap.”

“Kami akan mengurusnya, Tuan Ford.”

“Aku akan menjemputnya dua jam dari sekarang,” sambung Adam lagi.

Percakapan itu terputus setelah Adam selesai menyampaikan seluruh permintaannya. Dia mengalihkan pandangan ke diorama yang sama. Senja menggeliat turun dengan rona memukau di sana. Pria itu pun terlihat menikmati setiap pesona yang dia tonton. Sementara sosok Angelina dalam balutan mini dress yang menawan lagi-lagi muncul di pikirannya dan sukses menciptakan segaris senyum di wajahnya tanpa dia sadari.

“Aku akan membuatnya terkesan dengan upayaku,” gumam Adam yang berkeyakinan penuh pada daya tariknya.

Kini dua jam terasa berlalu sangat lambat bagi Adam. Dia menunggu jarum peranti yang melingkari pergelangan tangan kirinya berputar dengan gusar. Pria itu mondar-mandir di sekeliling jendela, mengecek beberapa dokumen yang sudah diperiksanya sebanyak tiga kali sampai bolak-balik memandangi tanaman palem indoor dalam wadah pot keramik yang disusun di dekat pintu.

“Apa yang terjadi padaku?” geram Adam yang mendadak kesal dengan tingkahnya sendiri.

Detik berikutnya, Adam menyambar kunci mobilnya dari rak gantung. Langkahnya memburu seperti para atlet pacuan kuda yang berlomba-lomba menjadikan hewan tunggangannya keluar sebagai pemenang. Dia turun melalui lift khusus miliknya—menekan tombol di dinding dengan tak sabar, lantas masuk ke dalam ruang terbatas itu segera.

Mesin beroda empat Adam melaju kencang di tengah-tengah lalu lintas. Dia tak ingin terlambat. Tepat waktu merupakan moto hidup yang telah dipegangnya sejak lama, apalagi pria itu juga ingin cepat bertemu dengan Angelina—melihat wanita itu melenggang turun dari anak tangga serta menyaksikan pinggul seksinya meliuk anggun—untuk dipeluk.

“You make me crazy, but I love it,” desis Adam di antara angka spidometer yang terus melesat ke arah kanan.

***

The Bastard CEOTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang