13. Vonis Mandul

387 8 1
                                    

Waktu berlalu dengan cepat bagi Adam. Hari-hari yang dilaluinya seperti terbang. Kalender bulan berganti menjadi kalender tahun, pun resolusi lama ikut berganti menjadi resolusi baru untuk sebagian orang. Satu tahun yang dia lewati bersama Angelina terasa menakjubkan. Pria itu—yang pernah menganggap cinta hanya sekadar dongeng bualan belaka—sangat menikmati petualangan liar mereka sepanjang malam.

Gairah Adam terhadap Angelina selalu tumbuh di setiap kesempatan seiring dengan menebalnya rajutan cinta itu juga hadir di dalam dirinya. Namun, mengakuinya secara terang-terangan sama sekali bukan karakter yang pria itu punya. Dia akan kehilangan seluruh harga dirinya sebab terpikat pada wanita itu merupakan sesuatu yang terlarang. Bukankah seharusnya singa memangsa buruannya?

Adam jauh lebih suka bersikap dingin dan menjaga jarak setelah mereka selesai bercinta daripada memperlakukan Angelina dengan tingkah manis. Dia akan langsung pergi meninggalkan wanita itu keesokan paginya, membiarkan Angelina melakukan apa saja yang dia sukai. Semuanya berjalan sempurna. Sempurna sampai Adam meluapkan rasa kesalnya pada Angelina malam itu.

“Mengapa kau masih belum hamil juga?” bentak Adam yang tampak berang selepas Angelina menyerahkan alat uji kehamilan itu dengan hasil negatif untuk yang ke sekian kalinya.

Angelina seketika tersentak dan menggeleng, “En-entah. Aku juga tidak tahu.”

“Kita selalu bercinta dengan frekuensi sering, Angelina. Hampir setiap hari malah, tetapi test pack-nya tetap menunjukkan garis satu lagi. Apa benda sialan itu sedang membuat lelucon?” hardik Adam yang langsung menyambar stik pendeteksi hormon hCG itu dari Angelina dan membantingnya ke atas lantai.

“Kita bisa mencobanya lagi,” balas Angelina yang mencoba meredakan emosi Adam yang terlanjur meletup membakar dadanya.

“Sudah satu tahun. Sudah satu tahun aku menidurimu, bukan hanya satu hari atau satu minggu.”

Angelina menelan ludahnya dengan susah payah. Dia belum pernah menyaksikan Adam berubah seemosional itu di depannya. Batas ketetapan kontrak yang mengikat mereka akan segera berakhir tahun depan, tetapi perutnya masih belum membuncit juga. Apa ada yang salah dengan mereka berdua?

“Apa kau telah meminum pil pencegah kehamilan secara diam-diam di belakangku?” damprat Adam sambil menudingkan jari telunjuknya ke wajah Angelina.

“Apa yang kau katakan? Mengapa kau menuduhku tanpa bukti?” jerit Angelina dengan nada satu oktaf lebih tinggi dari pria itu.

Adam sontak mengulurkan jemarinya dan mencengkeram tengkuk Angelina—membawa wajah wanita itu tepat ke hadapannya—dengan gerakan kasar, “Katakan padaku, Angelina. Apa kau telah melakukan sesuatu agar bayiku tidak dapat muncul di sana?”

“Lepaskan! Kau menyakitiku!” seru Angelina yang meronta-ronta dari rasa nyeri yang ditimbulkan oleh genggaman Adam di lehernya.

“Atau jangan-jangan kau bermasalah?” 

Sepasang mata Angelina spontan melebar, “A-apa?”

“Ya. Itu pasti kau. Kaulah sumber masalahnya.”

“Apa maksudmu?”

Sudut bibir Adam refleks mencebik membentuk ekspresi wajah yang mencemooh dan dia mendesis, “Kau tidak subur. Kau wanita mandul.”

Ucapan itu serta-merta membuat kedua lutut Angelina doyong. Ada sejumlah sensasi aneh yang menyesaki tenggorokannya—mengganjal dan menutup akses pernapasannya—dengan segenap perasaan yang terkoyak hancur. Dia merasa terluka sekaligus terhina oleh kalimat yang Adam lontarkan padanya.

“Mengapa kau menyalahkanku? Kau seharusnya juga memeriksakan kondisimu.”

Adam lantas menyentak tubuh Angelina hingga terguncang—lagi-lagi mendesis—jauh lebih lirih daripada sebelumnya, “Dengar baik-baik, wanita mandul. Aku tidak memerlukan tes untuk menguji seberapa layak benihku berkembang dan membuahimu. Aku seratus persen yakin bahwa aku adalah pria yang sehat. Kau seharusnya malu karena kau telah kehilangan kesempatan untuk menjadi seorang Ibu.”

Air mata Angelina seketika meleleh membasahi kedua pipinya setelah Adam menyebutnya sekeji itu. Dia menundukkan pandangan ke bawah, menatap tegel yang terlihat kabur dengan hati pilu, kemudian menggigit bibir. Wanita itu berusaha mati-matian agar menahan isak tangisnya tak berubah menjadi sesenggukan seperti bocah tiga tahun.

“Apa kau pikir aku akan luluh dengan air matamu, Angelina? Kau salah besar.”

“Aku tidak bermaksud me—”

“Berhentilah membantahku!”

“Kau bahkan tidak memberiku kesempatan berbicara.”

Adam kembali menyentak tubuh Angelina dan menarik wajahnya mendekat, “Kau masih ingin bicara? Tidak lagi sebab kau sudah kehilangan hakmu untuk bicara denganku.”

“A-apa maksudnya?”

“Maksudnya kini kau dan aku bukan partner lagi, Angelina. Perjanjian kita berakhir. Kau bebas.”

Bebas.

Bukankah itu yang selalu diimpikan oleh Angelina? Kontraknya habis—selesai. Mereka kembali menjadi orang asing seperti dahulu. Berjalan di takdirnya masing-masing. Namun, mengapa dia merasa seolah-olah ada seseorang yang tengah menyekop dan membuat lubang menganga di dadanya? 

Angelina menyeka air matanya. Dia pikir itu respons yang wajar. Pengaruh dari sederet ucapan kasar Adam sebelumnya. Dia tersinggung dan membuat perasaannya otomatis memberikan reaksi alamiah sebagai manusia normal. Wanita itu lantas berpura-pura kuat sambil menyunggingkan senyum terbaiknya.

“Ch! Apa kau tersenyum untuk merayakan hari kebebasanmu?” ejek Adam selepas menangkap lengkungan yang lebar itu di bibir Angelina.

“Tentu saja, Tuan Ford. Itu momen yang selalu kutunggu-tunggu.”

Angelina memanggil Adam dengan gelar Ford persis seperti pertama kali mereka bertemu. Asing. Formal. Kaku. Gambaran dari hubungan mereka yang sudah kandas sekarang.

“Aku senang kau tahu batasmu, Angelina. Ah, apa aku harus ikut menyebutmu Nona Wilson juga?”

Angelina lagi-lagi tersenyum pada Adam dan menjawab dengan suara yang bergetar, “Kau boleh memanggilku apa saja, Tuan Ford. Angelina, Nona Wilson atau wanita mandul pun tidak ada bedanya bagiku.”

“Kemasi barang-barangmu. Sisanya akan dikirim ke alamat barumu besok pagi,” tutur Adam yang berbalik memunggungi Angelina—menghadap ke arah balkon—menyembunyikan emosi yang sedang menaungi dirinya.

Cairan bening itu kembali menetes membasahi wajah Angelina tanpa disadari. Dia bekerja dengan lamban, membungkus sejumlah pakaiannya ke dalam koper, sementara punggung tangannya juga sibuk menghapus buliran asin yang kian lama kian deras menjatuhi kedua pelupuk matanya. 

“Kau akan tetap mendapatkan fasilitas sesuai dengan yang pernah kujanjikan padamu. Anggap saja sebagai ganti rugi keperawananmu meskipun sebenarnya akulah korban dalam kontrak kita,” ucap Adam yang masih enggan mengalihkan tatapannya dari tempat semula.

Aktivitas Angelina mendadak terhenti selepas mendengar rangkaian kata yang terakhir, “Aku tidak membutuhkannya, Tuan Ford.”

Tuan Ford.

Nama itu terdengar aneh bahkan di telinga Angelina sendiri. Dia sudah terbiasa melafalkan ‘Adam’—tanpa embel-embel Tuan—sepanjang waktu. Di setiap desahannya, di setiap interaksinya, di setiap mimpinya.

“Jadi, kau ingin berlagak sok kaya sekarang?”

“Sok kaya?”

“Kau menolak. Bukankah itu artinya kau merasa sudah tercukupi?” sahut Adam yang menoleh pada Angelina sekarang.

“Aku ti—”

“Pergilah. Aku tidak ingin kita berbagi udara di tempat yang sama,” sela Adam yang menabur lebih banyak garam pada luka wanita itu.

***

The Bastard CEOTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang