12. Hari Belanja

393 3 0
                                    

Pagi itu udara cukup nyaman di luar, tetapi tak demikian yang dirasakan oleh Angelina. Dia justru merasa dingin—beku dan kaku—di sekujur tubuhnya, seolah-olah wanita itu baru saja dikurung dalam lemari pendingin selama beberapa jam dengan posisi tubuh yang salah. Punggungnya pun menjerit setiap kali dia melakukan gerakan kecil untuk aksi peregangan, sementara area selangkangannya turut serta mengambil posisi teratas yang menuntut perhatian agar disematkan ke dalam daftar khusus; kategori rasa nyeri yang sulit diabaikan.

Adam yang bajingan itu melakukannya dengan kasar tadi malam. Sikapnya seketika berubah menjadi buas—gempuran liar dan gila—sesuatu yang belum pernah Angelina rasakan karena memang dia merupakan orang pertama yang menidurinya. Wanita itu mencoba untuk duduk setelah pikirannya kembali jernih dari kenangan panas yang masih tertinggal. Namun, keputusan itu sontak membuatnya mengeluh sebab sensasi sakitnya juga ikut merayap ke sepasang betisnya.

Angelina menyandarkan punggungnya di kepala ranjang. Dia mendongakkan kepalanya ke atas—pandangannya mengarah ke bagian langit-langit—sambil mendesah putus asa. Wanita itu kemudian mengedarkan pandang ke sekeliling dan menemukan beberapa jenis hidangan yang sudah tersaji di atas meja ukuran sedang berbentuk persegi panjang di sudut ruangan.

Angelina lagi-lagi mendesah. Dia memang lapar, tetapi selera makannya mendadak hilang selepas ingatannya kembali menampilkan wajah Adam yang tengah disesaki gairah berhasil merenggut semua memori kosong dalam kepalanya. Pun mustahil untuk mengingkari bahwa Adam memberikan persepsi baru bagi dirinya. Perasaan yang membuatnya terus-menerus menggelepar tiada henti di bawah kendali pria itu.

Suara ketukan yang muncul di depan pintu melenyapkan seluruh bayangan Adam secara tiba-tiba dari lamunan Angelina. Dia tersentak, lantas meneriakkan kata “masuklah” pada seseorang di balik sana. Pintu itu pun langsung terbuka dengan segera. Seorang pelayan yang usianya jauh lebih muda daripada Angelina—mungkin sekitar enam belas atau tujuh belas tahun—menerobos masuk setelah mengucapkan salam sebagai basa-basi.

“Apa Anda butuh bantuan saya untuk mandi, Nona Wilson?” tanya pelayan itu dengan senyuman lebar pada Angelina memamerkan kawat giginya—yang mengilap—diterpa pantulan sinar lampu.

“Tidak. Terima kasih. Aku akan mandi sendiri.”

“Tolong, jangan merasa sungkan memerintah kami melakukan sesuatu, Nona Wilson. Tuan Ford telah meminta kami untuk menanyakannya pada Anda.”

Angelina yang mendadak kikuk kemudian menggeleng, “Tidak. Aku akan melakukannya sendiri.”

“Saya harus menyampaikan satu pesan lain. Kini Tuan Ford memberikan Anda sejumlah kebebasan untuk keluar dan pergi berbelanja. Anda boleh membeli barang-barang yang Anda sukai, tetapi masih tetap dalam pengawasan Tuan Ford saat Anda keluar nantinya.”

Sorot mata Angelina seketika berbinar-binar mendengarnya, “Benarkah?”

“Itu benar, Nona Wilson.”

“Baiklah. Itu berita yang membuatku lega.”

“Tuan Ford meminta Anda untuk menggunakan kartu miliknya,” lanjut pelayan itu sambil menyerahkan sebuah kartu yang didominasi oleh warna hitam.

Angelina mengulurkan tangan kanannya menerima benda yang dianggap sebagai simbol status istimewa itu dan memindainya dengan tatapan takjub, “Black card? Benarkah dia mengizinkanku memakainya untuk belanja?”

“Anda diperkenankan membeli apa saja, Nona Wilson.”

“Baiklah. Aku akan membersihkan diri dahulu sebelum pergi.”

“Tuan Hogue akan menemani Anda nanti.”

“Siapa Tuan Hogue? Mengapa aku harus dikawal?”

“Itu adalah kebijakan yang ditetapkan oleh Tuan Ford sendiri, Nona Wilson. Mengenai Tuan Hogue, dia merupakan asisten pribadi Tuan Ford di perusahaan. Samuel Hogue.”

Angelina ingat sekarang. Itu Samuel yang hadir dalam insiden kecil di antara Kate dan dirinya tempo hari. Dia lagi-lagi merasa canggung sebab harus memilih pernak-pernik wanita dengan seorang lawan jenis. Namun, di sisi lain dia juga tak punya pilihan. Dia membutuhkan sejumlah pakaian dalam baru. Normal, tanpa renda apalagi minim bahan seperti koleksi yang ada di lemari raksasanya atau lebih pantas disebut butik pribadi yang disediakan Adam untuknya.

“Tolong, tinggalkan aku sendiri. Aku akan bersiap-siap sebelum berangkat,” pinta Angelina yang mengangguk pada si pelayan.

“Baiklah, Nona Wilson. Panggil saja kapan pun Anda memerlukan bantuan dari saya.”

“Ya.”

Angelina segera beranjak dari ranjang dengan gerakan bersemangat—terlalu semangat malah, hingga membuatnya melupakan rasa nyeri di inti tubuhnya. Dia rindu suasana luar; matahari, kerumunan orang-orang, udara segar. Dia ingin merasakan kulitnya terbakar disengat bintang yang menjadi pusat tata surya itu. Dia juga ingin mendatangi toko favoritnya di pinggiran kota.

Tak butuh waktu lama bagi Angelina untuk menyelesaikan segenap aktivitasnya. Dia berharap perasaan yang menyenangkan itu akan bertahan sepanjang hari. Setidaknya hanya sampai Adam pulang dan merusak mood-nya lagi seperti yang biasa pria itu lakukan padanya.

Angelina keluar dari kamar yang sekaligus menjadi penjara baginya. Dia mengayunkan langkah dengan ringan sambil memandangi setiap ornamen yang terpahat di sudut-sudut tertentu, lukisan sampai semua benda yang dapat indra penglihatannya jangkau sepanjang area yang wanita itu lintasi.

“Apa Anda sudah siap, Nona Wilson?” sapa Samuel dari samping.

Angelina melemparkan senyum terbaiknya sebelum menyahut, “Tentu saja.”

“Baiklah. Kita akan berangkat sekarang.”

“Ah, tunggu sebentar. Aku melupakan ponselku,” ucap Angelina yang tiba-tiba teringat bahwa dia telah meninggalkan telepon selulernya di atas nakas kamar mandi.

Angelina sontak berbalik arah—setengah berlari—menuju ke kamarnya semula dan mengambil barang yang sempat dia lupakan sebelumnya, “Maaf, Tuan Hogue. Aku agak teledor.”

“Tidak apa-apa, Nona Wilson. Jadi, kita siap berangkat?”

“Ya, tetapi jangan memanggilku dengan sebutan Nona lagi. Cukup Angelina saja. Itu terdengar lebih nyaman bagiku.”

“Aku justru takut itu akan terdengar kurang sopan, Nona Wil—maksudku Angelina.”

“Tolong, panggil saja Angelina. Kau tidak perlu menganggapku seperti itu.”

Samuel lantas menyunggingkan senyumnya dan berujar, “Baiklah. Kau juga harus memanggilku dengan sebutan Sam, bukan Tuan Hogue.”

“Uh-huh. Kita sepakat,” sahut Angelina yang mengibaskan rok model terusannya dan berjalan mendahului Samuel dengan garis ekspresif yang masih bertahan di sudut bibirnya.

Mereka kembali membuka percakapan setibanya di dalam mobil. Samuel menanyakan tujuan Angelina serta memberikan referensi toko yang bagus untuk dikunjungi padanya.

“Apa kau yakin kita akan tetap pergi ke toko yang kau inginkan saja?”

“Ya. Mereka sering mengadakan diskon di pertengahan musim. Aku akan mendapatkan harga yang miring di sana.”

Kening Samuel spontan bertaut heran, “Aku tidak mengerti. Kau punya kartu kredit dengan akses VVIP di tanganmu. Mengapa kau harus memilih toko yang menjual produk-produk diskon? Kau bahkan boleh membeli tokonya jika kau memang mau. Aku bertaruh Adam tidak akan keberatan dengan itu.”

“Aku tidak dilahirkan sebagai anak dari pemilik grup korporat atau tuan putri yang mempunyai segalanya, Sam. Aku terbiasa untuk hidup hemat.”

Samuel kemudian mengangguk paham dan menyimpan pertanyaannya yang lain di dalam hati. Namun, kini dia tahu alasan Adam mengajaknya bicara seputar problematik jatuh cinta kemarin. Bosnya itu pasti sudah melihat ‘sesuatu’ yang berbeda mengenai wanita yang sedang duduk memandangi jalan raya lewat kaca jendela di sampingnya sekarang.

***

The Bastard CEOTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang