7

1.2K 265 16
                                    

Hinata berdiri di depan pintu rumah besar itu, rumah orangtuanya. Terasa asing, mungkin karena dua tahun penuh dia tak pernah menginjakan kakinya di sini.

Perempuan itu menekan bel di samping kanan pintu dan menunggu seseorang membukanya.

"Hinata?" Hikari berlari ke depan pintu saat mendengar suara bel berbunyi, mungkin itu putrinya. Dia sudah menunggu sejak pagi di ruang tamu.

Hinata tersenyum tipis saat pintu dibuka dan melihat ibunya ada di sana. "Ibu."

Hikari lalu menarik anak itu ke dalam pelukannya dan mendekapnya dengan erat "Ibu rindu sekali, Hinata."

Hinata menenggelamkan wajahnya di pundak Ibu, rasanya masih persis sama seperti dulu. Hangat dan menenangkan, sandaran hidupnya sejak dia kecil. "Di mana Ayah?"

Hikari masih ingin memeluk putrinya dan membiarkan pertanyaan itu menggantung begitu saja. Perlahan air matanya turun ke pipi.

...

"Ayahmu ada di dalam, dia baru saja menolak makan siang." Hikari mengusap punggung tangan Hinata dengan lembut. "Bicaralah dengan ayahmu ya, dia sangat merindukanmu juga."

Hinata tersenyum lembut dan mengangguk sebelum mengetuk pintu dan melangkah masuk.

"Selamat siang, Ayah." Perempuan itu membungkuk di depan ayahnya, memberikan sapaan yang seharusnya setelah cukup lama tak bertemu.

"Hinata sudah datang?" Hiashi menoleh sekilas sebelum memalingkan wajahnya kembali ke arah jendela. Dia sudah diberitahu istrinya bahwa Hinata akhirnya mau pulang ke rumah.

Hinata mengangguk "iya, aku baru tiba." Dia lalu menghampiri ranjang dan berdiri di samping ayahnya yang terduduk sambil bersandar di sana.

"Osaka bukan kota yang begitu besar, kenapa harus menunggu ayah sakit dulu dulu baru kau mau menemui ayahmu hm?" Hiashi membuka perbincangan dengan pertanyaan sarkastik yang sebetulnya membuat dia sedih.

"Maaf, Ayah." Hinata tahu ini salah tapi dia harus melakukannya.

Hiashi lalu menepuk tepi ranjangnya dan meminta putrinya itu duduk di sana. "Kemari, Hinata."

Hinata lalu duduk di tepi ranjang dekat ayahnya. "Ayah kenapa tidak mau pergi ke rumah sakit?"

"Putriku seorang Dokter, kenapa aku harus pergi ke rumah sakit?" Hiashi tahu itu adalah pemikiran yang sangat kolot. Dirinya juga seorang Dokter namun dirinya juga seorang ayah yang ingin diperhatikan oleh anaknya.

"Bagaimana jika sesuatu terjadi?" Hinata berujar khawatir sambil menatap ayahnya.

"Tidak, Ayah hanya kelelahan dan stress." Hiashi tahu benar kondisinya dan juga gejala yang dia alami.

"Jangan terlalu lelah bekerja." Hinata mengusap lengan ayahnya dengan lembut.

"Ayah sudah pensiun, apa kau lupa hm?" Hiashi tersenyum simpul sambil mengusap kepala putri pertamanya. Gadis kecil itu sudah tumbuh dewasa sekarang.

"Ayah membuka bisnis furniture, aku tahu." Hinata dengar ini dari ibunya saat setahun lalu Ibu menelepon ke gereja.

"Hanya sekedar investasi untuk hari tua." Hiashi tak pernah berpikir bahwa dirinya akan menjadi seorang pebisnis, namun kesempatan datang padanya secara tiba-tiba setelah dirinya pensiun dari rumah sakit dan dia tak bisa melewatkan kesempatan itu secara cuma-cuma.

"Carilah seseorang yang bisa menggantikan Ayah, sudah saatnya beristirahat dan menikmati hari tua." Hinata berujar lembut pada ayahnya, dia ingin melihat ibu dan ayahnya menjalani hari tua yang tenang di rumah, tak kekurangan satu apapun.

The PrayerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang