13

1.2K 260 16
                                    

Hinata merapikan velum yang dikenakannya seraya melangkah keluar dari kamar asrama. Langkahnya begitu ringan hingga sepertinya beberapa teman sesama postulan yang tengah berbincang di lorong tidak menyadari kehadirannya.

"Semalam aku melihat Hinata berciuman di dalam mobil dengan kekasihnya." Seorang postulan berujar setengah berbisik.

"Kurasa kau salah lihat, tidak mungkin dia begitu kan." Sanggah seorang perempuan yang tengah merapikan mantila di kepalanya.

Hari ini adalah minggu pagi, seperti biasa mereka harus bersiap pergi ke gereja untuk doa bersama. Namun sebelum itu, ada berita menghebohkan dari kejadian semalam, maka mereka berdiri di sana untuk membahasnya bersama-sama.

"Pria itu beberapa kali datang ke gereja untuk menemui Hinata, pria berseragam itu." Bisik seseorang dengan pelan.

"Bukankah mereka berlebihan? Pria itu pasti tahu kalau Hinata akan jadi Biarawati, lalu untuk apa masih sering datang kemari?" Postulan itu bertanya dengan keheranan. Tentu saja memiliki kekasih adalah hal tabu bagi para postulan karena mereka berada di sini untuk persiapan mengabdi kepada Tuhan secara utuh.

"Seorang pria tak akan bertindak begitu jauh jika perempuannya memberi batasan, mungkin Hinata tak sungguh-sungguh ingin jadi Biarawati."

"Em, kudengar ayahnya adalah teman dekat Pastor. Dia dikirim ke gereja untuk menenangkan diri pasca kematian adik kandungnya." Perempuan muda itu bersedekap, dia dengar berita ini dari Biarawati senior yang dia rawat.

"Tentu saja dia tidak serius menjalani postulat, dia adalah seorang Dokter muda. Tidak seperti kita semua yang berada di sini karena panggilan hati, dia di sini karena diminta ayahnya."

"Kudengar adiknya meninggal setelah dia mengoperasinya, mungkin dia depresi karena merasa bersalah." Sebenarnya berita cepat sekali menyebar di asrama. Baik Biarawati senior dan para postulan sering kali berbagi informasi pada satu sama lain.

"Ah, semua jadi masuk akal. Ayahnya mengirim dia kemari karena depresi atas rasa bersalahnya." Kini mereka bisa menarik kesimpulan.

"Lalu dia akan menyerah setelah kekasihnya membujuk, dia akan melupakan kematian adiknya karena seorang pria terus mendatanginya."

"Bukankah dia kejam pada mendiang adiknya?"

"Tentu saja, secara tidak langsung dia adalah penyebab kematian adiknya kan, bukan begitu?" Seorang postulan muda bertanya sambil menatap mata satu persatu rekannya yang tengah bergosip di lorong.

Hinata masih berdiri di sana, di depan pintu kamar asrama kala dia mendengar semua gunjingan tentang dirinya namun Hinata tak bisa menyangkal atau mengelak karena semua yang mereka ucapkan adalah kebenaran.

Perempuan bersurai indigo itu menundukan kepalanya, rasa bersalah itu kembali memenuhi relung hatinya yang sejak semalam begitu gelisah.

Tentu saja Hinata sendiri pun merasa bahwa dirinya begitu kejam pada Hanabi, bagaimana bisa dirinya bersenang-senang dengan Naruto kemarin, merasa begitu jatuh cinta, sedangkan adiknya mati di meja operasi karena dirinya. Setidaknya dirinya harus tetap melakukan penebusan dosa ini, dosa yang selalu menghantuinya ke alam bawah sadar.

Lagi-lagi tenggorokannya terasa tercekik dan untuk sepersekian detik jantungnya serasa di remas kuat-kuat, mengakibatkan detak jantung tak beraturan dan sesak beberapa saat. Tangannya kembali gemetar hebat dengan gumpalan air mata menggenangi pelupuknya.

Ah, sensasi ini masih sama seperti dua tahun lalu selepas keluar dari ruang operasi di mana adiknya mengembuskan napas terakhir.

"H-hinata?" Seorang postulan muda terkejut mendapati sosok yang sejak tadi mereka bicarakan sudah berdiri di belakang mereka, tepat di depan pintu kamar asramanya.

The PrayerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang