1. Upacara

6 3 2
                                    

Semua warga sekolah berbaris di lapangan utama, untuk melaksanakan upacara. Begitu pun dengan Gibran, laki-laki dengan tinggi 180 cm itu baru saja masuk barisan kelasnya.

Ekor matanya tak sengaja melihat gadis cantik yang tak jauh dari tempatnya berdiri, Kanaya Amalia Shabita atau di sapa akrab, Lia.

Dengan senyum yang merekah, Gibran menghampiri Lia yang kepanasan terbukti dari keringat yang membasihi pelipisnya.

Dengan tanpa rasa bersalah Gibran berdiri begitu saja di tengah-tengah perempuan, membuat gadis berkerudung berdecak kesal, sedangkan Lia tak terusik sama sekali ia fokus menatap kedepan.

"Lo, ngapain?!" Tanya Azna pelan sedikit emosi.

"Upacara," jawab Gibran santai

"Astaghfirullah! Maksud gue kenapa lo masuk barisan cewek! Bukan mahram junaedi!"

Gibran melirik Azna melalui ekor matanya yang tinggi hanya sebatas dada.

"Ssttt... lo mau di hukum terus berdiri di depan sana," ujar Gibran menakuti, "terus Si Ransha liat, eh dia malah makin gak suka lo."

Azna memilih mengalah dari pada Ia harus mempermalukan diri sendiri, apalagi hari ini upacara di pimpin oleh pujaan hati.

Kembali lagi pada Gibran, laki-laki itu terus saja menatap Lia yang tingginya hanya sebatas dagu. Cantik, itu lah yang terlintas di pikiran Gibran. Melepas topi yang Ia pakai, untuk menghalangi sinar matahari yang membuat Lia kepanasan.

Perbuatan Gibran tersebut membuat Lia menoleh matanya terbelalak kaget, melihat siapa yang berada di sampingnya. Ya, laki-laki yang akhir-akhir ini sering mampir dalam pikirannya, lelaki yang membuat jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya, dan perlakuan Gibran yang sederhana ini membuat pipinya memanas.

Keduanya masih saling menatap mengabaikan suara yang menginterupsi semua warga sekolah untuk bubar barisan. Waktu seolah berhenti, tatapan mereka seakan terkunci enggan untuk mengalihkan pandangan.

Bahkan mereka mengabaikan panggilan Azna juga Pak Ando. Dengan tidak punya perasaan Pak Ando menggeplak bahu Gibran kencang, membuat sang empu terperajat kaget.

"ANJI-" umpatannya terhenti ketika melihat siapa pelakunya.

Pak Ando mentap Gibran geram, "apa! Mau bilang apa kamu!!"

"A-anu pak buk-" belum sempat Gibran menjelaskan.

Guru sejarah yang terkenal killer itu pun menarik telinga, Gibran. "Bukannya, upacara. Malah asik pacaran, ya! Bagus!"

"Aawww... ampun Pak, s-sakit."

Pak Ando menarik Gibran menyisakan Lia dan Azna di tengah lapangan. Sedangkan Lia, gadis dengan jam tangan berwarna biru masih membeku di tempatnya, Lia malah memikirkan kejadian tadi, dimana senyum Gibran terlihat begitu manis tak sadar bibirnya pun terangkat membentuk senyuman.

"Heh! Malah senyum-senyum. Ayo, masuk kelas." Azna menarik Lia.

"Padahal cuman di senyumin doang," gerutu Azna tak habis pikir.

-GIBRAN-

Bel istirahat berbunyi dengan nyaring, semua murid kelas XI IPA 2 meninggalkan kelas untuk menuju kantin, termasuk Lia dan Azna.

Saat berjalan di koridor menuju kantin tiba-tiba saja Azna pamit untuk pergi ke toilet, dengan terpaksa Lia pergi seorang diri.

"Sendirian aja,"

Lia menoleh mendapati laki-laki tadi pagi siapa lagi kalau bukan Gibran Kenandra Hakim. Laki-laki itu tidak sendiri ada laki-laki dengan tatapan datar di sampingnya, Aransha sang pujaan hatinya Azna.

Entahlah bagainana bisa Azna menyukai laki-laki modelan Aransha.

"Oh, i-itu tadi sama Azna, tapi dia lagi ke toilet."

Mengangguk mengerti, Gibran pun memberi pendapat, " gimana kalo kamu gabung sama kita? Kantin kayanya penuh."

Menggaruk kepalanya yang tak gatal, Lia pun melirik laki-laki di samping Gibran, Aransha itu anti berdekatan dengan perempuan, itulah mengapa Azna pernah di tolak.

Gibran mengerti lantas meminta persetujuan sahabatnya Ransha. Laki-laki yang kemarin juara pertama MTQ di Madinah itu menganggukkan kepala setuju.

Dengan semangat Gibran menarik tangan Lia menuju tempat kosong. Sedangkan Ransha mengekor di belakang, sesekali kepalanya menoleh ke pintu kantin seolah menunggu seseorang.

-Gibran-

Ketika Azna memasuki kantin matanya menyebar ke sekeliling kantin mencari temannya, Lia. Netralnya menangkap sosok perempuan yang ia cari tengah duduk bersama Gibran, keduanya seperti asik mengobrol.

"Pantes, di temenin ayang." Sindir Anza ketika sudah duduk di sebelah Lia.

Membuat percakapan Lia dan Gibran terhenti.

"Kasian, gak punya ayang." Ledek Gibran disertai tawa kemenangan, melihat wajah Azna yang menahan kesal.

"Gue, udah di pesenin kan?"

"Udah, na."

"Makasih, Lia 'ku" ujar Azna sambari memeluk Lia dari samping.

"Heh! Lo, gak boleh peluk cewek gue. Enak aja maen peluk-peluk," sugut Gibran.

Tangannya pun tak tinggal diam dia memukul kepala Azna mengguna kerupuk, yang tersedia.

"Sakit!" Azna mengusap kepalanya dramatis, "belum jadian aja udah posesif, dasar Gibranda!" Cibir Azna

"Lia, kok kamu tahan sih temenan sama si banana?" Tanya Gibran dengan wajah yang di imut-imutkan

Membuat Azna yang melihatnya serasa ingin muntah.

Tak lama pesanan mereka pun datang berbarengan dengan kedatangan Ransha dan seorang perempuan berjilbab yang ada di belakang.

Mata Azna melirik perempuan di belakang Ransha, cantik, tinggi itu yang Azna nilai saat pertama kali melihat.

"Boleh geser?" Tanya perempuan yang datang bersama Ransha itu kepada Azna.

"Ouh, iya Kak, silahkan."

Akhirnya mereka pun makan dengan keadaan yang mencekam, udara di sekitar mereka seakan menipis membuat Gibran terus menarik napas.

-GIBRAN-

GibranTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang