15. Kegaduhan di Malam Hari
***
Perasaan gundah kini menghantui laki-laki berparas tampan yang baru saja memarkirkan motornya di garasi. Mobil ayahnya sudah terlihat, itu artinya sang pemilik rumah sudah kembali dari kantor. Dia berdiri, mengetuk-ngetuk kakinya seraya memikirkan alasan apa yang akan ia berikan pada sang ayah. Seketika, seseorang diatas sana membuka jendela kamarnya, membuat Juandra menoleh ke atas, ketika seseorang menyebut namanya dengan berbisik.
"Bokap udah ada di bawah anjir. Lo manjat aja sini, masuk lewat kamar gue," bisik Jerdian.
"Tinggi bodoh, kalo gue jatoh gimana?"
"Ya elah, payah amat sih lo! Jatoh ke bawah ini, bukan ke atas," balas Jerdian sekenanya.
"Gue juga tahu, jatoh itu ke bawah. Kalo ke atas, terbang namanya," sungut Juandra.
"Bacot anjir. Ini lo mau adu debat sama gue, atau mau masuk ke rumah? Gue kunci lagi nih jendela," kata Jerdian memperingati.
Namun siapa yang sangka, jika percakapan keduanya kini di dengar oleh laki-laki paruh baya yang saat ini berdiri di ambang pintu kamar Jerdian. Jemian menyadarkan tubuhnya di pintu, memasukkan salah satu tangannya ke dalam saku celana.
Ketika Juandra berhasil masuk, hal pertama yang ia lihat adalah ayahnya yang ada dibalik tubuh Jerdian. Sontak, ia terjengkit kaget, hingga hampir terjungkal ke belakang, kalau saja tangan panjang Jerdian tidak menahannya.
"Lo kenapa si? Kayak liat setan aja."
"Lo nggak bilang kalo ayah ada di sini," bisik Juandra seraya menatap tajam ke arah kembarannya.
"Mana ada. Orang tadi dia di— ayah." Kepala Jerdian menoleh, matanya membulat, ketika ia mendapati ayahnya yang kini hanya memasang ekspresi datar.
"Udah selesai kerja samanya?" tanya sang ayah, yang membuat jantung kedua anak kembarnya itu bekerja dua kali lebih cepat. Kedua orang dengan umur yang sebaya itu hanya terdiam kaku. Mereka bingung harus bagaimana menjawab pertanyaan ayahnya yang sudah terlihat marah.
"Bener, hari ini kamu nggak masuk sekolah, Juandra? Kamu nggak ikut ngisi formulir lomba, karena nama kamu nggak ada list siswa yang dikirim wali murid. Kalau kamu masuk, kenapa nggak ngisi itu?"
"Juandra masuk, yah. Tadi, Jerdian yang bolos," kata Juandra yang membuat cowok di sampingnya langsung menoleh. Lagi? Juandra lagi-lagi berusaha memperburuk citranya di hadapan sang ayah.
"Terus, kamu dari mana, baru pulang jam segini?"
"Juandra lupa ngisi, karena sibuk ngejar materi buat lomba, yah. Ini aja baru balik, soalnya abis kerja kelompok sama temen," kilah Juandra. Seketika, rasa bersalah hinggap di hatinya. Kebohongan klasik macam apa itu, kerja kelompok. Bahkan, ia saja tidak tahu hari ini ada tugas apa. Biarkan saja, toh sudah kepala tanggung ia berbohong pada sang ayah.
"Sekarang ayah yang tanya ke kamu Jerdian, maksudnya bolos sekolah apa? Mau jadi jagoan? Nggak bolos aja, nilai kamu acak-acakan."
"Yah, bukan gitu—"
"Harus pake cara apa biar kamu kapok?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Dua Sisi (Selesai)
Teen FictionJerdian dan Juandra, si kembar yang berlomba-lomba untuk menutupi lukanya masing-masing. Terlihat saling ingin menjatuhkan, padahal mereka saling sayang. Mereka hanya tak tau bagaimana caranya menunjukkan rasa sayang seperti orang pada umumnya. Mamp...