Orang mati bukan urusanku, melainkan urusan Tuhan. Semisal orang hidup masih mengurus orang mati, tetap saja itu bukan urusanku. Salah satu rekan kerja bertanya, “Kalau kau mati siapa yang akan mengurusmu kemudian?” Kujawab begini: zaman sudah berubah, jasa profesional pengurus mayat pun ada, kuserahkan tubuhku pada mereka.
“Kalau matimu dadakan bagaimana?” sahut kolega lainnya.
Nah, kalau itu kuserahkan pada Tuhan. Tapi tidak kujawab itu, inilah sebagai gantinya: “Selamat tinggal para pria bontot bau tanah. Suatu hari kita mati, termasuk diriku. Kalian nikmati hari-hari kempot kalian, pun aku bakal meladeni sakit encokku yang tidak berkesudahan. Jangan hubungi aku lagi, urus hidup kalian sendiri-sendiri.”
Itu adalah obrolan terakhirku. Setelahnya aku menghabiskan hampir dua puluh empat jam di dalam rumah, menikmati acara olahraga dan drama gulat Amerika. Beberapa jam kuhabiskan di taman belakang, mengurus kembang-kembang warisan mendiang istriku, Helena.
Sebelum mati, istriku pernah berpesan, “Jangan selingkuh!”. Sudah tua ternyata mulutnya masih mampu bilang begitu. Untung aku tidak bilang: “Aku punya uang banyak! Terserahku mau booking siapa saja, Wanita Tua!”.
Tapi memang tidak pernah kukatakan hal itu kepadanya seumur hidup, bahkan dari awal menikah sampai matinya sekalipun tak pernah kudekati wanita montok yang suka tebar belahan dada–paling pol cuma curi-curi pandang.
Pada akhirnya aku menghabiskan masa tuaku dengan menciduk tanah kosong, meletakkan bibit-bibit kembang, menyiram bibit itu tiap pagi dan sore, lalu menunggu kembang kesukaan mendiang istriku mekar liar sampai ke halaman tetangga.
Dulu kembangnya sempat mangkir ke tetangga samping kiri. Si pemilik tanah tidak terima kembangku ada di wilayahnya, kubilang aku juga tidak terima kembangnya melewati batas teritoriku. Langsung kupangkas rantingnya; ia montab dan balik membalas. Maka terjadilah pembantaian antarkembang.
Pembantaian itu hampir kembali terulang saat aku sudah memasuki masa pensiun. Kali ini dengan tetangga sebelah kanan, Cerew namanya.
Cerew sering protes. Bunga-bungaku malang melintang sampai ke halamannya, menghambat tanaman milik istrinya. Kukatakan berkali-kali, “Gampang! Pindahkan saja potnya jauh-jauh dari kembang sepatuku!”
Meski kutahu bukan itu yang Cerew maksud, tetap saja aku tidak terlalu peduli ke mana atau di mana tangkai bunga sepatuku merayap. Telah kukatakan padanya, “Kalau keberatan, ya kau potong saja tangkai bunga sepatuku!”
Saat ia keluar rumah membawa gunting sebesar lengan orang dewasa, tanganku malah membogem wajahnya. Ia sama tua bangkanya dengan aku, jadi kekuatan kami seimbang. Akhirnya kami saling gebuk dan berakhir dikerumuni orang sekitar.
Melihatnya hendak memutilasi tanamanku rasanya seperti ia tengah membunuh apa yang disukai istriku. Aku bergerak untuk melindungi hasil semaianku selama ini, wajar saja tiba-tiba tanganku kesurupan dan membogem wajahnya.
Ia murka. “Kalau tidak boleh dipotong, kenapa tidak bilang dari awal?!”
“Kau pasti pikun! Sudah kubilang lipat saja rantingnya, terus geser tangkainya ke halamanku!”
“Ngarang kau!”
“Akui saja dirimu sudah pikun, Cerew!”
“Namaku Samsul Petrus! Siapa Cerew?!”
“Kau Cerew: Cerewet!”
Lalu kami bermusuhan selamanya. Ia memasang pagar kawat tinggi-tinggi untuk melindungi teritorinya, ditambah mendadak membeli anjing jenis bulldog raksasa, ditaruh khusus di halaman belakang. Anjing itu suka menyalak keras bila melihat siluetku di balik celah-celah pagar yang tidak rapat. Pintar sekali, Cerew melatih anjing itu agar baik ke semua orang kecuali diriku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Lingkaran yang Terputus; Bagian 1
General FictionKehidupan adalah sebuah perputaran, bagai percikan yang memudar, atau roda yang terinjak-injak. Kehidupan berubah dengan absurd-nya dan berakhir dengan ketidakberdayaan. Setiap lembaran, terbuka dan tertutup, hampir seperti ketidakpedulian bagi peng...