SATU - Wanita Tua di Pemakaman

188 36 0
                                    

Jarang kutemui pelayat rutin menyambangi makam sanak saudaranya. Kebanyakan bakal ramai menjelang puasa Ramadhan atau Lebaran. Selepas didoakan, tidak lagi kudengar lantunan doa di pinggir nisan atau melihat orang-orang menabur sebakul kembang tujuh rupa.

Kuburan yang semula diwarnai kembang, akhirnya kalah lagi oleh pertumbuhan rumput-rumputan. Kalau nisan terbuat dari marmer mah tidak masalah, tapi jika nisan yang dipasang dari kayu lebih rawan. Yang namanya kayu kalau direndam air hujan, dihantam badai, dan dijemur terik matahari bakal cepat lapuk juga.

Semula catnya memudar, kemudian rayap malu-malu mengkrikiti ujung bawah nisan sebelum akhirnya menjarah sampai ke bagian terdalam. Kadang jika tidak sengaja kutendang bakal miring posisinya. Dan kalau teledor, bisa sampai remuk dan menghambur ke mana-mana.

Kadang aku kasihan. Keluarganya datang setahun sekali, itupun menjelang Ramadhan. Malahan di pemakaman seluas ini, tidak cukup banyak keluarga berdatangan. Banyak kuburan dibiarkan tenggelam dalam lebatnya rerumputan teki. Makam yang dikijing granit hitam mengkilat saja tidak pernah ditemui, apalagi yang ditanam patok kayu biasa.

Sebagai penjaga makam, memang sudah tugasku merawat mereka-mereka ini. Membersihkan tanah makam dari rontokan daun kamboja, memangkas rumput, sampai jaga tengah malam–takut-takut ada oknum menjarah makam untuk keperluan magisnya.

Pagi, siang, malam tidak ada bedanya. Sama-sama sunyi, sama-sama dingin, sama-sama sepi. Duduk lesehan di samping keranda tidak membuatku ngeri seperti yang dulu ada di pikiranku waktu kecil (aku sempat termakan omongan keranda terbang). Bila ada orang mati, aku bakal dihubungi lalu segera ditugaskan mengurus tanah kosong yang hendak dipakai, pun dengan kerandanya..

Melihat orang menangis histeris saat sesi pemakaman sudah biasa, melihat orang melayat juga bukan hal yang istimewa. Tetapi menyaksikan wanita tua yang rutin melayat tiap hari Jumat itu baru fenomena.

***

Tadi sudah kukatakan jarang ada pelayat datang ke pemakaman, palingan hanya berkunjung satu dua kali–itu pun minta doa atau memenuhi tradisi saja. Lain itu seperti di film-film Indonesia, makam akan menjadi salah satu tempat yang sepi pengunjung.

Seumur-umur mengemban tugas menjadi tukang jaga makam, sudah kutetapkan memang beginilah realita kalau orang sudah meninggal. Sama seperti daun yang setiap kali kusapu, mereka yang hidup akan jatuh, mengering, hancur, terbuang, lalu terlupakan.

Aku juga sudah berniat menyiapkan hati jika suatu saat makamku diratakan untuk kompleks perumahan. Tidak ada lagi ekspektasi yang sempat terpikirkan di kepala seperti cucu cicitku akan menyambangi–tidak, tidak perlu sudah. Biarkan saja aku mati alami dan menjadi penyubur tanaman.

Analogiku terdengar salah memang. Penyubur tanaman sering kukait-kaitkan dengan pupuk kompos yang dijual murahan. Apa mau dikata? Seandainya aku Firaun, sudah pasti tubuhku diawetkan, bermandikan harta kekayaan, bersemanyam di piramida. Praktis, aku jadi legenda satu dunia.

Wanita Tua itu menyengir kuda mendengar pendapatku, pasti aku dipandang suka berimajinasi di waktu senja. “Tidak salah dengan isi pikiranmu. Tentu saja kau bebas kepengin jadi Firaun.”

“Berandai-andai itu teknik mumpuni agar bisa lari dari kenyataan, Mbah. Capai juga kadang mengurus kuburan.” Entah pendengarannya yang kurang atau suaraku terlalu lirih, ia tidak menatapku lagi. Mata kecilnya tenggelam di tengah-tengah kendornya kelopak mata, tampak seperti tertutup atau menyipit kiranya. Yang manapun itu, ia jelas tidak terlalu mendengarkanku seperti yang sudah-sudah. “Mbah sendiri maunya dimakamkan bagaimana?”

Saat menoleh, tudung ungunya bersingkap. Rambutnya hampir memutih, mungkin tinggal satu dua helai masih bertahan dengan warna hitamnya. “Dimakamkan di sini saja bersama mereka–” Simbah terbatuk sebentar “--ditaruh di manapun tidak masalah.”

Padahal sepertinya dua tahun yang lalu masih banyak helaian rambut berwarna hitam. Aku masih ingat ia masih sehat walau sudah termakan usia. Bahkan ia sanggup membabat rumput-rumput di tiga makam sekaligus.

Dulu aku tidak tahu siapa yang datang. Tahu-tahu setelah jumatan, tiga makam sudah bersih dan ditaburi kembang. Dua kuburan bersebelahan yang terletak di tengah tampak ditata rapi bersih, lalu satu kuburan paling pojok juga dihiasi. Aku cukup kaget mengetahui makam paling ujung–yang tak pernah kuketahui dilayati oleh siapa pun–telah diberi kantil, mawar, dan melati. 

Bagiku kejadian itu sangat langka, waktu itu bulan puasa masih jauh. Sangat disayangkan tidak kuketahui siapa yang baru saja melayat. Saat kutanya warga sekitar, mereka malah tanya balik. Kukira itu hanya kebetulan–kau tahu, semacam orang yang mau mengadakan acara akbar. Agar acaranya aman terkendali, mereka meminta ‘restu’ ke makam.

Minggu esoknya, tepat pada hari yang sama, ada seorang wanita duduk di makam paling ujung. Kuketahui dua makam berdampingan yang terletak di tengah telah dibersihkan olehnya. Seperti yang kuduga, ia tinggal mendoakan makam paling ujung saja.

Kukira makam tidak akan dikunjungi selamanya. Melihat wanita itu menabur kembang, aku jadi mengira ia adalah salah satu keluarganya, yang artinya dua makam yang terletak juga masih satu keturunan pula dengannya.

“Kurang tepat,” kata Mbah pada kali kesekian ia menyambangi kuburan. “Dua makam di tengah sana adalah makam anak dan suamiku.” Mbah menyeruput air botolan. “Kalau paling ujung adalah makam orang yang pernah membahagiakan anakku.”

Aku hampir bertanya oh mantan suamimu yang kedua, Mbah? namun kukulum bibir untuk menggencet omongan yang hendak keluar. Aku sadar bukan pada tempatnya berkata frontal.

“Dulu aku pernah tinggal di sini, tapi suami dan anakku berpulang lebih dulu … jadi aku pulang ke rumah Bapak Emak. Saat mereka berdua sudah wafat pula, aku kembali lagi kemari mengurus yang bisa kuurus.”

“Yang sabar, ya, Mbah–”

“Tak perlu. Tidak perlu dikasihani,” ujarnya pelan tapi tegas. Sepasang manik mata kecil yang tertelan kendornya kulit itu menatap halus kepadaku. “Suatu hari nanti aku bakal mati juga. Ini hanya soal waktu sampai ajalku tiba.”

Mbah terkekeh kecil. Ia melanjutkan. “Aku ingat kecilku dulu takut setiap melihat pemakaman. Tapi masa uzur seperti sekarang tidak lagi aku gentar, sebab di sinilah kelak aku berpulang.”[]















Catatan publikasi:
Rabu, 27 April 2022

Lingkaran yang Terputus; Bagian 1Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang