Mama bilang aku bakal sehat. Pasti, katanya. Ia menggenggam tanganku seperti hendak mengajakku panco. Tanganku akhir-akhir ini gampang lemas dan aku menolak tawaran untuk bermain panco. Tapi Mama tidak mau melepaskan tanganku, dan sudah terlanjur menatap katupan tangan kami dengan tekad yang kuat, jadi aku mengalah.
Kukira Mama benar-benar kesusahan saat bermain panco denganku. Mulutnya terkatup rapat, Mama mengejan keras, suaranya seperti rock star. Heran dan takjub entah kenapa membuatku geli, apalagi melihat Mama mengeraskan ejannya; sesusah itu, ya, aku dilawan?
Setelah empat kali main panco, barulah kusadari bahwa Mama sedang menghiburku saja. Ia mengumbar wajah jenaka seperti para tokoh kartun yang sering aku tonton. Setelah kutahu apa yang ia coba sembunyikan dariku, aku menarik tangan. “Udah, Ma, Timi enggak kuat.”
Dilihat-lihat tanganku memang makin mengerdil saja. Masih mampu aku melambai saat Mama datang kemari, tapi selebihnya lebih sering terkulai di kasur. Mungkin salah satu hal lain yang membuatku bisa mengangkat tangan adalah saat membaca novel.
Mama ragu awalnya. Timi yang lebih suka bermain kok tiba-tiba mau baca novel (paling pol aku hanya mau baca cerita bergambar saja). Kubilang buku cerita anak-anak itu bagus, banyak gambar. Tapi tulisannya sedikit, jadi aku hanya bisa menghabiskannya kurang dari setengah jam saja.
“Enggak papa, Ma. Pasti kubaca. Acara kartun kesukaan Timi mainnya cuma pas pagi, abis itu acara orang dewasa–Timi engga ngerti!”
Lalu aku dibelikan novel yang tebalnya sejentik jari kelingking. Novel anak KKPK; Kecil-Kecil Punya Karya. Penulisnya masih seumuranku, ada pula yang satu dua tahun di atasku. Ia menulis fantasi dengan tema pertemanan. Singkat kisah seorang tokoh utama mendapat kotak ajaib, dengan kotak itu ia menyelamatkan anak-anak malang.
Seorang suster yang sudah lama mengurusku mengaku anaknya hobi mengoleksi novel KKPK. Saat anaknya beranjak remaja, ia bingung hendak dikemanakan koleksinya. Melihatku, suster itu langsung menaruh seplastik besar buku KKPK kepadaku.
Kubaca semua judul tanpa memandang siapa penulisnya. Saking lama membaca, sampai tak kira jam sudah menunjukan angka enam dan rumah-rumah sudah bertabur cahaya lampu. Kusimpulkan membaca semua novel ini adalah cara paling mudah membunuh waktu. Tapi setelah kuhabiskan seluruh novelnya, kusimpulkan lagi bahwa aku butuh novel baru yang lebih menantang.
“Kamu serius mau baca Frankenstein? Ini tebal, loh, ada 300-an halaman, terjemahan pula. Pasti ada kalimat-kalimat yang kurang enak dibaca.” Pasti Mama berpikir lompatan bacaanku terlalu jauh. “Mama belikan lainnya, jangan yang ini.”
Aku menggulir layar gawai lagi, mencari sebuah novel rekomendasi lainnya. “Ser … Serlohk Homes, Ma.”
Mama mengerutkan kening, ia menggeleng keras.
Aku menggembungkan pipi. “Bagaimana kalau Murderr on te Orien Epess?”
Mama menarik gawainya. “Mama yakin kamu enggak tahu arti yang barusan kamu ucapkan.”
***
Akhirnya Mama membelikanku yang bertulis Totto-Chan: Gadis Cilik di Jendela. Ceritanya tentang anak perempuan Jepang dan masa sekolahnya yang bahagia. Aku menghabiskan bacaan itu selama dua hari. Setelahnya aku mau istirahat membaca sebentar.
Kusisihkan novel Totto-Chan di samping bantal seakan-akan ia adalah boneka kesayangan. Kadang-kadang kubaca beberapa paragraf acak di sana–tapi jauh lebih sering aku berkhayal; andai saja bisa menjadi bagian dari kawan Totto-Chan yang ceria itu, kami pasti jadi kawan klop. Bersama kawan-kawan lainnya, kami akan saling berbagi makanan dan bernyanyi makan bersama, atau bermain petak umpet di gerbong yang disulap menjadi sekolah itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Lingkaran yang Terputus; Bagian 1
General FictionKehidupan adalah sebuah perputaran, bagai percikan yang memudar, atau roda yang terinjak-injak. Kehidupan berubah dengan absurd-nya dan berakhir dengan ketidakberdayaan. Setiap lembaran, terbuka dan tertutup, hampir seperti ketidakpedulian bagi peng...