"Tenang, ya. Lingga disini," tutur Lingga sedikit bergetar.
Dapat Lingga rasakan tubuh gadis yang kini berada dalam dekapannya itu melemas, bahunya bergetar.
Lingga mengeratkan dekapannya sambil mengusap lengan Renjana, berharap hal itu dapat memberikan sedikit kekuatan dan rasa tenang untuk gadis itu.
Kini, rasa takut Lingga atas reaksi Renjana yang sebelumnya Lingga pikirkan berubah menjadi rasa cemas setelah melihat secara langsung reaksi Renjana yang diluar perkiraan.
Lingga pikir, gadis itu akan marah besar bahkan memakinya saat mengetahui soal Lingga yang telah kembali dan Lingga akan sangat memaklumi juga menerima itu semua.
Tapi apa ini? Mengapa reaksinya seperti itu? Apa Renjana akan menerima kehadiran Lingga secepat ini bahkan disaat Lingga masih belum bisa memaafkan dirinya sendiri atas tragedi yang merugikan Renjana.
Setelah dirasa tenang, Lingga melonggarkan pelukannya dan memegang kedua bahu Renjana sambil menatapnya.
"Jangan nangis lagi, ya." Ibu jari Lingga bergerak mengusap pipi Renjana yang basah.
"Ngga nangis, ini cuma air mata," Lingga tersenyum mendengar penuturan Renjana.
Oh ayolah, apa bedanya menangis dengan hanya mengeluarkan air mata? Apa gadis di hadapannya ini masih menjadi Renjana kecilnya dalam wujud remaja?
Saat ini, Lingga tak ingin mewawancarai Renjana dulu tentang hal yang sekiranya sensitif. Mendapat respon seperti itu saja Lingga lebih dari bersyukur.
Ditengah perjalanan pulang, Lingga memilih diam dengan terus berada di samping Renjana.
"Lingga," panggil Renjana.
"Hm?" Lelaki itu menoleh pada gadis disampingnya.
"Lingga rumahnya masih yang dulu, kan?"
Kalau ia jawab bahwa rumahnya bukan yang dulu lagi, tidak mungkin. Agam bisa saja memberi tahu yang sebenarnya, lelaki itu juga tak segan untuk menarik kembali kepercayaan yang telah ia beri pada Lingga. Toh, Lingga ingin menjaga Renjana dengan baik kali ini.
"Iya," jawab Lingga.
Tak ada respon lebih selain helaan napas yang Renjana tunjukkan.
Sebenarnya, Lingga masih bingung dengan maksud dari respon gadis itu. Lingga lebih menginginkan gadis itu marah saja padanya, meluapkan semua emosinya dan menunjukkan pada Lingga bahwa selama ini Lingga telah membuat Renjana dalam kesulitan. Bukan seperti sekarang ini.
Justru Lingga lebih takut kalau Renjana terlalu kecewa.
"Istirahat, ya," ucap Lingga setelah sampai di depan pagar rumah Renjana.
Gadis itu hanya mengangguk dan membiarkan Lingga membantunya membuka pagar.
"Lingga,"
"Makasih, ya," lanjutnya.
Lingga bingung harus menjawab apa. Haruskah ia membalas ucapan terimakasih gadis itu yang tak seharusnya keluar? Karena Lingga pikir yang seharusnya berterimakasih adalah dirinya.
Dengan hati-hati Lingga mengulurkan tangannya lalu mengusap puncak kepala gadis di hadapannya sebelum berbalik.
"Lingga," Lingga mengehentikan Langkahnya lalu berbalik pada Renjana yang masih pada tempatnya.
"Kalau aku panggil Lingga, Lingga mau jawab, kan sekarang?" Lanjutnya penuh harap.
"Pasti," jawab Lingga membuat ujung bibir gadis itu tertarik.
Satu tangan gadis itu terangkat ke udara, lalu melambai percaya diri bahwa ia telah melambaikan tangannya pada Lingga.
Sakit. Lingga sakit melihat itu.
Lingga ikut melambaikan tangannya pada Renjana yang tak lama berbalik.
Setelah gadis itu benar-benar masuk ke rumahnya, Lingga juga ikut berbalik menuju rumahnya dan mendapati mobil Ratna telah terparkir. Artinya, Ratna pulang lebih awal hari ini.
***
"Kamu udah punya pacar, Ga?"
Lingga tersedak saat menelan makanannya karena pertanyaan dadakan dari Ratna.
"Belum." Jawab Lingga seraya menaruh gelas air yang isinya baru saja tandas.
"Belum apa belum." Ucap Dion sambil menyendok makan malamnya.
"Belum, dih,"
"Terus, itu yang tadi sore abang usap-usap kepalanya siapa?"
Oke, bocah delapan tahun itu memergoki kegiatan Lingga dengan Renjana sore tadi.
"Temen," jawab Lingga.
Untungnya makan malam Lingga telah selesai dengan cepat. Karena tak mau diintrogasi lebih dalam, lekaki itu segera mengisi air pada gelasnya lalu bangkit.
"Udah, ah. Lingga ke kamar, ya, mau ngerjain pr," ucap Lingga.
Pikirnya Ratna tak akan penasaran. Namun, ternyata salah. Sebagian besar orang tua akan selalu ingin tahu tentang percintaan anaknya.
Seperti sekarang ini. Seusai menyelesaikan makan malamnya, Ratna bukannya beristirahat tapi wanita itu justru semakin gencar mencari tahu tentang gadis yang tadi sore ia lihat di balik jendela bersama Dion.
"Ga." Ratna membuka sedikit pintu kamar Lingga lalu menyembulkan kepalanya.
Lingga yang tengah memainkan ponselnya di atas kasur menoleh pada Ratna lalu membenarkan posisinya menjadi duduk.
"Kenapa, Ma?" Lingga menaruh ponselnya pada nakas.
"Gapapa, udah selesai ngerjain prnya?" Tanya Ratna mengambil posisi duduk di tepi kasur.
"Belum, bukunya dipinjem temen,"
Ratna hanya mengangguk seolah percaya pada jawaban anak pertamanya itu.
"Ga,"
"Tadi sore, Dion teriak-teriak manggilin Mama. Mama kira kenapa, taunya dia liat kamu lagi sama perempuan yang rumahnya di depan situ. Mama juga liat. Kamu deket sama dia?"
Lingga bingung harus menjawab apa. Jika dikatakam dekat, ini adalah hari pertamanya dengan Renjana berbincang lagi setelah sekian tahun.
"Mama inget waktu Lingga umur delapan tahunan, Lingga punya temen perempuan?" Lingga memastikan.
Ratna tampak berpikir, lalu kedua alisnya terangkat ke atas. "Inget."
"Namanya?" Tanya Lingga lagi.
"Siapa, ya. Re ... Reina? Apa Renjan--"
"--Nah!" Potong Lingga membetulkan tebakan kedua Ratna.
"Renjana, bener?" Ratna memastikan.
"Iya, dia Renjana, Ma."
Ratna terdiam sejenak, memikirkan harus bertanya menggunakan bahasa seperti apa agar tak menyinggung.
"Yaampun, cantik banget, Ga. Tapi Mama liat, kayak ada yang beda. Dia megang tongkat untuk ... " Ucapan hati-hatinya tercekat saat mendapati Lingga mengangguk pelan.
Ratna tak bisa berkata-kata lagi bahkan sekedar melanjutkan ucapannya. Bagi Ratna atau mungkin bagi siapapun yang pernah mengenal seseorang yang dulunya ceria tanpa kekurangan, kemudian setelah bertahun-tahun tak bertemu akhirnya dipertemukan dengan keadaan yang betul-betul sulit dipercaya pasti akan terkejut. Begitupun dengan Ratna.
Lingga semakin di depan nih, jadi, terus semangatin Pal pake vote komen kalian ya, boleh?
Stay healthy && happy, darl
KAMU SEDANG MEMBACA
PETRICHOR [ END ]
Fanfiction[FOLLOW SEBELUM MEMBACA] "Petrikor itu lebih adil daripada hujan." Renjana menatap kosong pada gelapnya dunia. Kalausaja waktu bisa diputar semudah memutar jarum jam, maka akan ia ulang hari dimana awal mimpi buruknya terjadi. ©copyright by ruangaf...